Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Glorifikasi Kulit Putih, Standar Kecantikan, dan Warisan Kolonialisme
31 Januari 2024 20:16 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya tumbuh menjadi perempuan yang terbiasa menerima gambaran kecantikan ideal yang begitu rasis dengan mengagungkan kulit putih dan meremehkan kulit gelap. Dulu ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya masih ingat ketika salah satu di teman di kelas di bully karena memiliki kulit hitam, bahkan kadang ia dipanggil dengan sebutan burik.
ADVERTISEMENT
Meski hanya verbal, saya menyadari sebutan itu mempengaruhi kehidupan kawan saya hingga sekarang dan tentu itu sangat melukai perasaannya. Sejak lulus dari SMP ia mencoba mengubah penampilannya secara total, saat ia pindah ke kota dan bekerja sebagai pelayan di toko, mulai dari rambut yang lurus hingga aktif pergi ke salon kecantikan.
Saya mengamati perubahan kawan saya di media sosial dan perubahan itu sangat drastis, saya melihat kawan saya dengan versi yang berbeda, secara fisik ia sangat berbeda dan berhasil mengubah dirinya secara total. Pada suatu ketika saya mencoba mengirimkan pesan DM melalui Instagram, ia tetap menjadi gadis yang masih sangat ramah.
Saya mengajaknya bertemu karena kami berada di satu kota yang sama, saya juga mengatakan pangling dengan perubahannya yang sekarang. Sontak dia menjawab “wayahe tampil glowing ben ora di bully mbk,” dalam bahasa Indonesia artinya “Saatnya tampil glowing agar tidak dibully.
ADVERTISEMENT
Dari ucapannya itulah saya menyadari, bahwa ucapan sembilan tahun lalu yang dilontarkan teman SMP sangat membekas dalam hatinya dan mempengaruhi hidupnya yang sekarang. Rupanya ia telah banyak melakukan usaha menggunakan produk kulit pencerah untuk wajah dan tubuh dari yang harga murah hingga mahal.
Bagaimana kebanyakan orang meyakini bahwa memiliki kulit putih atau keturunan Kaukasia menjadikan seseorang lebih cantik? Mengapa kebanyakan wanita di Indonesia menggunakan produk pemutih agar kulit menjadi lebih cerah? Apakah kesalahpahaman ini bermula dari industri kecantikan, ataukah mereka hanya berusaha memenuhi permintaan pasar? Dari mana sebenarnya kesalahpahaman ini berasal? Jawabannya adalah kolonialisme.
Berawal dari abad ke-16, Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonialisme selama lebih dari 350 tahun. Saat Perusahaan Hindia Timur Belanda (Dutch East India Company) tiba di Indonesia pada awal abad ke-17, mereka menciptakan hierarki sosial dalam upaya mengendalikan populasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mereka menempatkan warga Belanda sebagai kalangan atas, warga Tionghoa di tengah, dan warga Pribumi di strata terbawah. Struktur ini akhirnya semakin mengukuhkan superioritas orang berkulit putih dalam segala hal tak terkecuali dalam standar kecantikan. Preferensi akan kulit Putih ini tidak kunjung hilang hingga saat ini, meski Indonesia tidak lagi di bawah penjajahan Belanda.
Glorifikasi kulit putih diakui atau tidak masih menjadi kebanggaan bahkan mentalitas bangsa Indonesia. Hal tersebut bisa dibuktikan pada fenomena-fenomena sosial seperti berfoto bersama bule asing berkulit putih yang masih sangat diminati ketika berlibur ke Bali atau Yogya, memamerkan teman dari luar negeri, dan keinginan memiliki pasangan bule demi memperbaiki keturunan masih lumrah ditemui di tengah masyarakat bahkan sering mendapatkan apresiasi positif di media sosial.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikuatkan oleh penelitian Alawi (2020). Dalam penelitian tersebut ia mengkaji perilaku di situs internet bernama Desi Sachiko, sebuah situs yang ditulis seorang perempuan Indonesia yang memiliki pasangan laki-laki kulit putih dari Prancis. Hasilnya ditemukan banyak pengunjung yang mayoritas perempuan Indonesia, terobsesi untuk menjadikan laki-laki kulit putih sebagai pasangan hidup. Hal ini terjadi karena laki-laki kulit putih memiliki stereotipe berpikiran terbuka, lebih menghargai perempuan, cerdas dapat memperbaiki keturunan dalam segi fisik, serta berbagai atribut superior lainnya.
Glorifikasi kulit putih yang mengakar dalam nadi bangsa Indonesia dapat dijelaskan menggunakan kacamata poskolonialisme (Mahattir dkk. 2021). Saat kolonialisme datang ke Hindia Belanda, para penjajah tidak hanya membentuk tatanan ekonomi di tanah jajahan demi meraup keuntungan finansial belaka, tetapi juga menyusun ulang tatanan politik, sosial, dan budaya. Hal ini termasuk penyusunan strata sosial masyarakat berdasarkan ras dan etnis yang menempatkan kedudukan bangsa penjajah di tingkat paling tinggi dan bumiputra pada tingkat paling rendah.
ADVERTISEMENT
Dengan perasaan inferior yang mereka alami, masyarakat bangsa terjajah berusaha untuk tidak dipandang rendah oleh penjajah. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadi putih.
Memiliki kulit putih dan cerah bak wanita Kaukasia pun menjadi impian banyak wanita Indonesia saat ini. Survei yang yang dilakukan ZAP Beauty Index 2020 terhadap 6.460 wanita Indonesia pada 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa pada 2018, 73,1% responden menganggap definisi cantik secara fisik adalah memiliki kulit yang putih dan/atau glowing.
Jumlah wanita yang menganggap kulit putih dan/atau glowing sebagai standar kecantikan fisik naik pada 2019 menjadi 82,5%. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia merupakan ras Mongoloid dan Austromelanesoid yang memiliki ciri-ciri kulit kuning langsat hingga hitam.
Akan tetapi, banyak wanita Indonesia yang justru merasa lebih percaya diri ketika memiliki kulit putih dan cenderung rendah diri dengan kulit yang lebih gelap. Bukan hanya itu, konstruksi kecantikan warna kulit ini membawa permasalahan yang lebih jauh bagi pemilik warna kulit yang tidak sesuai dengan standar. Data ZAP Beauty Index membuktikan bahwa sebanyak 23.3% atau 1.505 responden dari total 6.460 wanita pernah mengalami body shaming ‘celaan fisik’ akibat berkulit gelap.
ADVERTISEMENT
Menilik sejarah ke belakang ketika penjajahan di Jawa, muncul beragam jenis penindasan; seperti penyebutan pribumi, penanaman nilai negatif seperti pemalas, dan perendahan status intelektual yang digelarkan kepada pribumi, Selain itu, muncul kebijakan dari pemerintahan Hindia Belanda melalui Regerings Reglement yang mengatur urutan kelas sosial ras-ras yang hidup di Hindia Belanda saat itu.
Klasifikasi tersebut berisikan tiga golongan yang menempati struktur piramida dengan golongan Eropa pada tingkat pertama, golongan Timur asing di tingkat kedua, dan golongan bumiputra (inlander) di tingkat paling rendah. Penggolongan tingkatan ras ini menunjukkan bahwa ada ras penjajah yang lebih superior dan ras terjajah yang lebih inferior .
Masyarakat terjajah memercayai dan menerima pandangan penjajah terhadap mereka. Akibatnya, masyarakat terjajah selalu mencoba untuk memastikan jati diri mereka dan mengikuti sudut pandang penjajah. Tindakan-tindakan yang berasal dari tatapan rasis inilah yang akhirnya terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat terjajah dan terekspresikan melalui perasaan-perasaan inferior.
ADVERTISEMENT
Akibatnya warna kulit dianggap sebagai penentu harga diri, pengendalian diri, kualitas diri, dan daya tarik seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki warna kulit yang ideal sangat mungkin merasa lebih rendah dan tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Tanpa sadar, perasaan ini muncul pada bangsa terjajah. Mereka berusaha meniru fisik bangsa penjajahnya agar dapat diterima secara sosial (Fanon 2008).
Terlebih, media sosial menciptakan suatu tekanan untuk tampak menarik. Media sosial memberikan fasilitas untuk menyesuaikan dan mengedit tampilan diri penggunanya. Aneka macam filter untuk mengubah bentuk dan warna kulit pun telah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan siapa saja yang merasa rendah diri, yakni mereka yang merasa tidak sesuai dengan standar diri yang ada. Kebanyakan orang akhirnya menggunakan topeng dan kehilangan jati diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT