Konten dari Pengguna

Indonesia Siap Pemilu Elektronik 2024? Membandingkan dengan Korsel dan Estonia

Raden Roro Bhatari Naivandra
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara di Universitas Indonesia.
20 Mei 2023 11:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raden Roro Bhatari Naivandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Persiapan Pemilu 2024 merupakan salah satu agenda yang paling penting bagi negara dalam rangka menjaga kestabilan demokrasi dan kelancaran pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Beberapa persiapan teknis penting yang harus dilakukan dalam Pemilu 2024, seperti penyusunan kerangka hukum yang memadai, penyusunan daftar pemilih yang akurat, peningkatan pengawasan pemilihan umum, dan kampanye dan sosialisasi yang luas kepada masyarakat.
Selain persiapan teknis tersebut, terdapat satu hal yang patut dipertimbangkan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, yakni sistem pemungutan suara berbasis elektronik.
Saat ini, rencana penyelenggaraan Pemilu 2024 masih menggunakan sistem pemungutan suara dengan kertas. Meskipun penggunaan teknologi telah berkembang secara masif, penggunaan kertas dalam pemilu masih menjadi metode yang umum digunakan di Indonesia sejak era demokratisasi di awal tahun 2000-an.
Dalam prosesnya, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berupaya untuk meningkatkan kualitas dan keamanan sistem pemilihan kertas, salah satunya dengan memperketat prosedur dan memperkuat pengawasan terhadap proses pemilihan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, masih terdapat masalah-masalah pada sistem pemungutan suara dengan kertas. Salah satunya, yakni tingginya risiko kesalahan penghitungan suara dan manipulasi suara oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pemilihan umum yang masih menggunakan kertas membutuhkan waktu yang lama untuk menghitung suara dan memverifikasi hasil pemilihan umum sehingga meningkatkan risiko kesalahan dalam penghitungan dan peluang kecurangan.
Selain itu, kelemahan penggunaan kertas dalam pemilihan umum yakni limbah kertas yang dihasilkan. Setiap pemilihan umum membutuhkan jutaan lembar kertas untuk surat suara, formulir dan dokumen lainnya.
Setelah pemilihan selesai, limbah kertas yang dihasilkan cukup besar. Jika limbah tersebut tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, seperti pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan ekosistem.
ADVERTISEMENT
Metode penyelenggaraan pemilihan umum bergantung pada kemampuan finansial pemerintah atau negara. Penggunaan kertas dalam pemilu dapat menimbulkan biaya yang sangat tinggi dan kurang efisien.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa di antaranya seperti biaya pembuatan surat suara, biaya pengiriman surat suara, biaya penyimpanan surat suara, biaya transportasi untuk memindahkan surat suara ke tempat penghitungan, dan biaya honorarium untuk petugas penghitung suara.
Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk mengatasi permasalahan penggunaan kertas dalam pemilihan umum dan meningkatkan integritas, transparansi, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilihan umum.
Pemilu yang berbasis elektronik dapat menjadi solusi karena memiliki keunggulan yang mengedepankan prinsip efisiensi. Keunggulan tersebut yakni di mana pemilu elektronik dapat dilakukan di rumah dengan privasi dan keamanan yang lebih terjamin dibandingkan ke tempat pemungutan suara pemilu konvensional yang masih menggunakan kertas. Selain itu, pemilu yang berbasis elektronik juga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menghitung suara karena dapat ditambahkan fitur e-counting di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Penerapan pemilu berbasis elektronik pun harus dirancang sedemikian rupa agar asas-asas pemilu terpenuhi dan juga menghindari faktor pemicu kegagalan sistem. Namun mengingat perkembangan teknologi yang masif, kecurangan juga mungkin dapat terjadi di dalam pemilu yang berbasis elektronik. Program komputer yang rentan memungkinkan terjadinya manipulasi oleh program berbahaya melalui hacking yang dilakukan oleh seseorang.

Pemilihan Umum Elektronik di Korea Selatan

Proses perhitungan suara pemilu di Korea Selatan Foto: REUTERS/KIM HONG-JI
Pemilu elektronik di Korea Selatan (Korsel) dimulai pada tahun 2013 dengan tujuan meningkatkan kecepatan dan akurasi penghitungan suara serta mengurangi risiko kecurangan. Pada tahun 2020, sekitar 26 persen dari total pemilih menggunakan sistem pemilu elektronik.
Meskipun begitu, implementasi pemilu elektronik di Korsel masih menghadapi beberapa tantangan seperti masalah keamanan dan privasi data, kesenjangan teknologi, serta integritas dan ketidaknetralan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Keamanan dan privasi data menjadi perhatian utama dalam implementasi sistem pemilu elektronik di Korsel karena teknologi yang digunakan rentan terhadap serangan siber dan pelanggaran privasi data. Oleh karena itu, diperlukan penguatan keamanan pada sistem tersebut dan perlindungan privasi data pemilih.
Selain itu, kesenjangan teknologi juga menjadi masalah dalam penggunaan sistem pemilu elektronik karena masyarakat yang kurang mahir atau tidak memiliki akses ke teknologi mengalami kesulitan dalam penggunaan sistem tersebut. Dalam hal ini, perlu dilakukan upaya untuk memperkuat literasi digital dan meningkatkan akses teknologi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Meskipun ada beberapa masalah dalam implementasi sistem pemilu elektronik di Korsel, pemerintah terus melakukan upaya perbaikan dan pengembangan pada sistem tersebut. Para ahli siber dilibatkan untuk memastikan keamanan data dan melakukan simulasi serangan siber untuk menguji keandalan sistem.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi terhadap sistem pemilu elektronik di Korsel dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas sistem tersebut. Evaluasi pemilu elektronik di Korsel menunjukkan bahwa penggunaan teknologi dalam pemilihan umum dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi penghitungan suara.

Pemilihan Umum Elektronik di Estonia

Bendera Estonia Foto: Pixabay
Estonia adalah negara pertama di dunia yang mengadakan pemilihan umum yang mengikat secara hukum melalui internet. Estonia mulai menggunakan sistem pemungutan suara elektronik pada tahun 2005.
Pemilu pertama di Estonia yang menggunakan sistem pemungutan suara elektronik, yaitu proyek pilot untuk pemilihan kotamadya pada tahun 2005 dengan total 9.317 (1.9 persen) pemilih secara online. Sistem pemungutan suara elektronik dinyatakan berhasil oleh petugas pemilu Estonia.
Sejak saat itu, pemungutan suara elektronik telah digunakan dalam beberapa pemilihan di Estonia, termasuk pemilihan parlemen tahun 2007. Dalam pemilihan parlemen 2019, 44 persen pemilih menggunakan pemungutan suara elektronik. Pemerintah pada saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Mart Laar, yang dikenal dengan sikap pro-teknologinya. Estonia menerapkan pemungutan suara elektronik untuk membuat proses pemungutan suara lebih efisien dan nyaman bagi warganya.
ADVERTISEMENT
Istilah i-Voting digunakan di Estonia untuk merujuk pada pemungutan suara elektronik guna mengurangi kebingungan antara lokasi pemungutan suara tetap dan pemungutan suara elektronik jarak jauh.
Sistem i-Voting memungkinkan pemilih untuk mencoblos surat suara mereka melalui internet menggunakan komputer dengan koneksi internet dan KTP atau KTP mobile dengan sertifikat yang sah. Meskipun telah diakui sebagai salah satu sistem pemilihan elektronik yang terbaik di dunia, masih terdapat kekhawatiran tentang keamanan dan privasi dalam pemilu elektronik Estonia.
Salah satunya, yakni kemungkinan terjadinya serangan siber atau kebocoran data. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran keamanan yang signifikan dalam sistem pemilu elektronik Estonia.
Namun, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa masih ada kekurangan dalam sistem pemilu elektronik di Estonia, seperti kekurangan transparansi dalam proses verifikasi suara dan ketidakmampuan sistem untuk mengatasi adanya pemilih yang memilih lebih dari satu kali.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, e-voting di Estonia telah mendapat banyak kritik dan evaluasi positif. Meskipun masih ada kekhawatiran tentang keamanan, privasi dan transparansi sistem, tetapi e-voting telah meningkatkan partisipasi pemilih dan efisiensi dalam pemilihan umum.

Pembelajaran untuk Indonesia

Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
Implementasi sistem e-voting di Korea Selatan dan Estonia dapat dijadikan pembelajaran oleh Indonesia dalam merancang sistem e-voting yang optimal di Indonesia. Kompilasi atas permasalahan dari kedua negara tersebut yang perlu dijadikan pembelajaran, yakni terkait keamanan dan privasi, kesenjangan akses teknologi, transparansi dan sistem untuk mendeteksi duplikasi data.
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus terus meningkatkan standar keamanan dan privasi data dalam e-voting dengan menerapkan teknologi dan prosedur yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembangunan infrastruktur digital yang inklusif, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan menggunakan sistem rekapitulasi yang dapat menampilkan hasil perhitungan suara secara online.
ADVERTISEMENT
Solusi untuk mengatasi ketidakmampuan sistem dalam mengatasi pemilih yang memilih lebih dari satu kali dapat dilakukan dengan memperkuat keamanan dan validasi identitas pemilih saat mendaftar dan memberikan suara.
Penggunaan teknologi blockchain juga dapat menjadi alternatif untuk mengatasi masalah ini, karena teknologi ini memungkinkan untuk mencatat setiap transaksi secara terdesentralisasi dan tidak dapat diubah, sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pemilihan elektronik.