Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hak Perikanan Tradisional: Dapatkah Jadi Dasar Kepemilikan Suatu Wilayah?
3 November 2022 18:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Vania Alexandra Lijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini ramai pemberitaan di media terkait Pulau Pasir / Ashmore Reef. Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan pernyataan bahwa Pulau Pasir milik Australia, di mana Australia menerima Pulau Pasir dari Inggris melalui Acceptance Act tahun 1933. Sementara itu, Hindia Belanda tidak pernah memiliki Pulau Pasir. Maka berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris, Indonesia tidak pernah memiliki Pulau Pasir.
ADVERTISEMENT
Meskipun Pulau Pasir bukan milik Indonesia, nelayan tradisional Indonesia masih bisa melakukan aktivitas perikanan tradisional di perairan sekitar Pulau Pasir. Hak tradisional tersebut dijamin dalam perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia tahun 1974 (MoU Box 1974), yang diperbaharui dengan MoU tahun 1981 dan Persetujuan Petunjuk Teknis pada tahun 1989.
Mengapa Australia mengakui hak-hak nelayan tradisional Indonesia? Apakah praktik tersebut lazim dilakukan oleh negara lain?
Pertanyaan menarik selanjutnya, apakah hak perikanan tradisional dapat dijadikan dasar untuk mengeklaim kedaulatan atau kepemilikan atas suatu wilayah?
Hak Perikanan Tradisional
Hukum internasional mengakui hak perikanan tradisional masyarakat tertentu di wilayah tertentu. Apa yang dimaksud dengan hak perikanan tradisional? Mengapa hukum internasional mengakui hak tersebut?
Hak penangkapan ikan tradisional telah menjadi praktik negara sebelum lahirnya UNCLOS pada tahun 1982 dan secara umum diterima oleh masyarakat internasional serta menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. UNCLOS, khususnya pasal 47(6) dan pasal 51 memuat ketentuan tentang hak penangkapan ikan secara tradisional dalam konteks perairan kepulauan, tetapi tidak mendefinisikan secara eksplisit mengenai konsep dan kriteria hak tersebut secara lebih rinci.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan beberapa literatur, hak penangkapan ikan secara tradisional biasanya diartikan sebagai hak menangkap ikan yang diberikan kepada kelompok nelayan tertentu dari suatu negara tertentu yang telah melakukan kebiasaan menangkap ikan di wilayah tertentu dalam jangka waktu yang lama. Hak-hak tersebut didasarkan pada kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan diwariskan dari generasi sebelumnya.
Karena kegiatan perikanan tradisional sudah dipraktikkan oleh suatu kelompok masyarakat sejak lama, dari generasi ke generasi, maka hak tersebut harus dihormati. Akses terhadap wilayah atau perairan tempat masyarakat tradisional biasanya mencari ikan juga perlu dijamin, untuk menjaga kelangsungan kegiatan penangkapan ikan mereka.
Lebih lanjut, seiring pertumbuhan populasi dan pesatnya perkembangan industri penangkapan ikan, kelangsungan hidup perikanan tradisional juga menjadi semakin bergantung pada pengakuan dan perlindungan atas hak tradisional tersebut.
ADVERTISEMENT
Pengakuan terhadap hak perikanan tradisional ini lahir dari adanya kewajiban suatu negara dalam konvensi internasional, seperti UNCLOS, maupun melalui perjanjian bilateral, peraturan domestik/nasional suatu negara, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ ICJ).
Praktik Indonesia
Indonesia mengakui hak perikanan tradisional dari suatu kelompok masyarakat negara lain, di antaranya Malaysia. Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian di tahun 1982, yang memuat pengakuan Malaysia atas rezim hukum negara kepulauan Indonesia dan pengakuan Indonesia atas hak-hak dan kepentingan Malaysia di perairan Indonesia, termasuk hak perikanan tradisional dari nelayan tradisional Malaysia di wilayah tertentu dalam wilayah perairan Indonesia.
Contoh lainnya, dengan Papua Nugini (PNG). Indonesia memberikan perlindungan terhadap hak-hak tradisional masyarakat PNG yang hidup di perbatasan RI-PNG. Sebaliknya, PNG juga menjamin hak-hak tradisional masyarakat Indonesia yang hidup di perbatasan. Jaminan perlindungan ini dituangkan dalam perjanjian bilateral RI-Australia tahun 1973 dan perjanjian RI-PNG di tahun 1980. Hak-hak tradisional yang dijamin ini termasuk hak menangkap ikan/perikanan tradisional.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kita telah ketahui bersama, hak nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia (sekitar Pulau Pasir) juga diakui dan dijamin oleh Australia, melalui perjanjian bilateral kedua negara (MoU Box).
Praktik Negara Lain
Praktik pengakuan terhadap hak tradisional masyarakat asing juga dilakukan di banyak negara. Sebagian besar pengakuan hak tradisional tersebut dimuat dalam perjanjian delimitasi batas maritim antar dua negara, misalnya Eritrea dan Yaman, di mana melalui perjanjian bilateral, Yaman memberikan akses kepada nelayan tradisional Eritrea untuk menangkap ikan di wilayah perairan Yaman. Contoh lainnya, perjanjian bilateral antara Trinidad dan Tobago – Barbados (1990), yang memberikan akses bagi kapal-kapal nelayan tradisional Barbados untuk menangkap ikan di kawasan ZEE Trinidad dan Tobago.
Tidak hanya melalui perjanjian bilateral, pengakuan terhadap hak perikanan tradisional juga diberikan melalui putusan Mahkamah Internasional. Contohnya kasus Inggris – Islandia (1974) terkait klaim unilateral Islandia atas zona penangkapan ikan eksklusif, di mana Islandia memberlakukan pembatasan kegiatan penangkapan ikan dari negara-negara lain di wilayah tersebut. Hal ini berdampak terhadap hak perikanan tradisional nelayan Inggris. ICJ kemudian memutuskan bahwa Islandia wajib menghormati hak perikanan tradisional Inggris yang telah lama dilakukan di wilayah perairan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hak Perikanan Tradisional Tidak Dapat Menjadi Dasar Klaim Kedaulatan dan Hak Berdaulat
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah hak perikanan tradisional tersebut dapat menjadi dasar klaim kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara?
Mahkamah Internasional dalam berbagai putusannya telah mempertegas bahwa hak historis / tradisional (termasuk hak perikanan tradisional) tidak dapat dijadikan dasar untuk mengeklaim kedaulatan maupun hak berdaulat suatu negara. Contohnya dalam sengketa Sipadan Ligitan (2002), ICJ dalam putusannya menyebutkan bahwa aktivitas nelayan tradisional Indonesia di wilayah tersebut tidak mencerminkan Act of State yang dapat dijadikan dasar klaim kedaulatan di wilayah tersebut.
Contoh lain dalam kasus landas kontinen Libya – Tunisia (1982), di mana ICJ memutuskan bahwa Tunisia tidak dapat menjadikan hak historis perikanannya sebagai dasar untuk mengeklaim zona perikanan eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. Dalam kasus Qatar – Bahrain (2001), ICJ kembali menegaskan bahwa klaim hak historis / tradisional tidak dapat dijadikan dasar untuk mengeklaim kedaulatan / hak berdaulat negara di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya putusan ICJ, putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam kasus RRT – Filipina (2016) juga mendukung putusan-putusan ICJ sebelumnya dengan menegaskan bahwa RRT tidak dapat mendasarkan klaim kedaulatannya di Laut Cina Selatan dari hak historis (termasuk hak perikanan tradisionalnya) di kawasan tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional dan praktik banyak negara mengakui hak perikanan tradisional masyarakat tertentu di suatu wilayah tertentu. Namun demikian, hak tradisional tersebut tidak dapat dijadikan dasar yang sah oleh suatu negara untuk mengeklaim kepemilikan atas suatu wilayah.