Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Diaspora, Eksil, dan Krisis Identitas
18 Juni 2024 16:41 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Victoria Astrid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2024 ini, sebuah film dokumenter yang mengusung isu tentang para eksil di beberapa negara Eropa yang terjebak dan tidak bisa kembali ke tanah air Indonesia hingga detik ini akhirnya hadir ke layar lebar. Film ini sebenarnya sudah dirilis untuk umum sejak tahun 2022 lalu, namun sayangnya tidak semua orang bisa mengaksesnya dan hanya tersedia di beberapa bioskop di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan topik yang diusung, film berjudul ‘Eksil’ karya Lola Amaria ini berhasil meraih penghargaan sebagai film Indonesia terbaik pada penayangan pertamanya di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada tahun 2022 dan juga Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2023.
Tragedi eksil yang terjadi pada tahun 1960-an dapat dikatakan salah satu sejarah Indonesia yang hampir terlupakan karena saya menyadari selama saya mempelajari sejarah di bangku sekolah, sedikit hampir tidak pernah ada buku sejarah yang membahas tentang para eksil.
Sehingga menurut saya, hadirnya film dokumenter ‘Eksil’ sangat membantu saya dalam menambah wawasan dan membuka perspektif akan apa yang terjadi sebenarnya pada era Orde Baru yang dianggap disembunyikan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Film yang berdurasi hampir 2 jam ini mampu mengungkapkan aspek baru dari sejarah Indonesia dengan jelas dan padat. Berisikan wawancara langsung dengan 10 eksil yang direkam langsung di rumah mereka masing-masing, sehingga menurut saya dapat dikatakan sebagai sumber sejarah yang kredibel dan tidak difabrikasi karena berasal dari sudut pandang atau memori yang bersangkutan.
Film dokumenter yang sudah diproduksi sejak tahun 2015 ini berfokus pada kisah kehidupan para eksil yang terjebak di luar negeri dan tidak dapat kembali ke Ibu Pertiwi. Kesepuluh eksil yang menjadi narasumber dalam dokumenter ini adalah Hartoni Ubes, I Gede Arka, Kartaprawira, Sarmadji, Tom Iljas, Waruno Mahdi, serta para eksil yang sudah menutup usia sebelum dokumenter ini sempat ditayangkan yaitu, Alm. Sardjio Mintardjo, Alm. Asahan Aidit, Alm. Chalik Hamid, dan Alm. Kuslan Budiman. Mereka secara tidak langsung ‘terusir’ dan tidak dapat kembali akibat situasi politik yang terjadi pada tahun 1960-an.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 1950 hingga 1960 awal, pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno memberikan beasiswa dan mengirimkan sejumlah mahasiswa ke luar negeri–khususnya Uni Soviet, dan China–untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka diharapkan akan menjadi kekuatan besar dan dapat kembali ke Indonesia dengan menggunakan keahlian yang mereka pelajari untuk berbakti kepada negara.
Dokumenter ini mengangkat sejarah kelam yang terjadi pasca tragedi Gerakan 30 September 1965. Pada saat itu terjadi peristiwa pembantaian, pembunuhan massal, pemenjaraan, dan penangkapan para anggota serta simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun sebenarnya, orang-orang yang dituduh sebagai pengkhianat negara (para ‘komunis’) adalah korban sebenarnya dari kekejaman yang dilakukan pemerintah pada rezim Orde Baru.
Peristiwa G30S PKI pada tahun 1965 mengubah semua realita dan keadaan yang terjadi di Indonesia. Pemerintahan Soekarno yang akhirnya jatuh akibat kudeta Jenderal Soeharto menghadirkan Orde Baru yang dikenal khalayak umum sebagai era kediktatoran Indonesia. Efek G30S PKI rupanya tidak hanya dialami oleh warga yang berada di Indonesia, namun juga di luar negeri khususnya mahasiswa yang dikirim Soekarno dan tengah menjalani pendidikan tersebut.
ADVERTISEMENT
Mereka terjebak karena dituduh sebagai simpatisan PKI tanpa adanya parameter yang objektif. Mereka tidak diperbolehkan untuk pulang kembali ke Indonesia jika tidak menandatangani surat pernyataan dan menjalani interogasi yang juga akan mencelakai keluarga mereka di Indonesia. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa, dilema yang mereka hadapi tersebut mengakibatkan mereka kehilangan status kewarganegaraan Indonesia dan menjadi eksil di berbagai negara.
Lebih dari 30 tahun perjalanan para eksil untuk bertahan hidup secara terlunta-lunta, berpindah-pindah negara dalam agenda mencari kewarganegaraan, hingga terpaksa bekerja sebagai pekerja paksa/kasar/serabutan yang bahkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Tak hanya itu, para eksil juga mengalami trust issues atau kesulitan mempercayai orang-orang yang ditemui karena terdapat intel yang ditugaskan untuk memata-matai mereka. Hal yang menurut saya memilukan adalah dampak pemutusan status kewarganegaraan tersebut membuat para eksil kehilangan kontak dengan keluarga mereka di Indonesia yang tidak sedikit juga ikut menjadi korban dari rezim Soeharto akibat dituduh sebagai simpatisan PKI.
ADVERTISEMENT
Setelah menonton film dokumenter ‘Eksil’, saya menjadi bertanya-tanya apakah mungkin masa kediktatoran seperti apa yang terjadi pada rezim Soeharto akan terulang kembali di masa depan? Penayangan film yang bersamaan dengan momentum pemilihan umum Indonesia tahun 2024 seakan-akan memperkuat pertanyaan dan kecemasan saya tersebut.
Melihat hilangnya Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara jelas ditunjukkan dalam film ‘Eksil’ membuat saya semakin khawatir. Hal ini dikarenakan pada saat saya menulis ulasan ini, calon presiden Indonesia sudah terpilih dan beliau dikenal sebagai sosok yang memiliki track record buruk terkait penanganan Hak Asasi Manusia (HAM) dan terlihat dalam tragedi pembantaian 1998 yang juga terjadi pada rezim Soeharto.
Tidak hanya itu, diketahui bahwa terdapat permasalahan mengenai penayangan film di Samarinda di mana acara nobar (nonton bareng) film ‘Eksil’ dibatalkan oleh pihak berwenang dengan dalih “tidak memiliki surat izin keramaian”. Namun, orang-orang yang telah membeli tiket untuk nobar tersebut memiliki pendapat berbeda.
ADVERTISEMENT
Mereka berpikir bahwa pembatalan acara tersebut diduga memiliki kaitan dengan dinamika pilpres 2024 yang memanas akibat peluncuran film ‘Dirty Vote’ 3 hari sebelum pencoblosan berlangsung. Kedua film ini dianggap sebagai film yang mengekspos dosa-dosa atau ‘aib’ negara dan pemerintah.
Padahal, mereka yang telah membeli tiket tersebut menganggap bahwa apa yang disuguhkan dalam film ‘Eksil’ merupakan bagian dari sejarah dan harus diketahui semua orang entah seberapa baik atau buruknya sejarah yang ditampilkan tersebut sehingga tidak pantas jika harus dibatalkan secara sepihak. Sikap aparat birokrasi yang secara tidak langsung menunjukkan pembungkaman kebebasan berpikir dan berekspresi dianggap sebagai bibit-bibit permulaan hadirnya kembali praktik Orde Baru dan kediktatoran.
Film ‘Eksil’ menunjukkan kepada publik seberapa besar trauma yang dihadapi atau dimiliki para eksil yang diakibatkan ketidakadilan kediktatoran penguasa. Melalui film ini juga, kita dapat melihat bahwa para eksil memiliki pandangan liberal atau progresif yang berbeda dan tidak selaras dengan pemerintahan otoriter rezim Soeharto.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan pendukungnya yang konservatif tidak memperbolehkan mereka untuk kembali karena dianggap sebagai penganut paham komunis dan seperti yang sudah kita ketahui bahwa pemerintah Indonesia semenjak tragedi G30S PKI sangat menindas komunis dan mereka yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan sosial.
Konservatif dalam konteks ini dapat diartikan menggunakan pengertian Edmund Burke yaitu mempertahankan tatanan sosial dan tradisi yang sudah ada, serta menolak perubahan radikal untuk memastikan stabilitas dan keberlangsungan negara. Menurutnya, perubahan yang terlalu cepat dan radikal dapat mengancam keseimbangan sosial dan politik yang telah dibangun, hal ini dicerminkan bagaimana Soeharto berusaha menjaga stabilitas negara dengan menolak ideologi komunisme pasca tragedi G30S PKI.
Berita dibatalkannya nobar film ‘Eksil’ di Samarinda juga memperlihatkan kekonservatifan negara yang belum siap untuk menunjukkan kegagalan mereka sebagai sebuah institusi demokrasi. Keputusan pembatalan yang diambil oleh para aparat birokrasi tersebut menjadi indikator bahwa demokrasi di Indonesia masih rapuh.
ADVERTISEMENT
Para pejabat pemerintah menunjukkan sikap konservatifnya dengan menganggap bahwa film ‘Eksil’ ini merupakan sebuah film yang tabu dan tidak pantas ditayangkan. Berbeda dengan generasi muda yang lebih liberal dan terbuka untuk mencari tahu kebenaran. Sifat generasi muda yang liberal ini didefinisikan melalui teori liberalisme milik John Locke di mana ia menyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak dan kebebasan untuk mengkritisi institusi yang ada tanpa takut akan represi dan intervensi dari pihak mana pun.
Tidak hanya di Samarinda, bukti pembungkaman demokrasi dan hak kebebasan berekspresi terkait film ‘Eksil’ dapat kita lihat di Plaza Mulia CGV pada tanggal 22 Februari 2024 di mana penayangan film tersebut dibatalkan dengan kedok harus mengurus izin keramaian dari kepolisian terlebih dahulu. Namun jika kita melihat respons positif dari generasi muda, kita tetap memiliki harapan bahwa di masa depan pemerintah akan semakin proaktif dalam merangkul serta mengurus para eksil.
ADVERTISEMENT
Fenomena dalam film ‘Eksil’ memiliki beberapa persamaan dengan unsur-unsur pendekatan post-marxisme. Post-marxisme yang lebih menekankan pentingnya faktor-faktor seperti identitas, budaya, dan kekuatan pengetahuan dalam menjelaskan dinamika sosial dan politik dapat kita kaitkan dengan fenomena eksil ini.
Salah satu aspek penting dari post-marxisme adalah penekanannya pada kritik terhadap otoritarianisme yang dapat kita lihat dari respons para eksil terhadap represi politik yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto. Maka dari itu, dapat kita lihat bahwa para eksil juga merasakan konflik identitas yang kompleks.
Di satu sisi, mereka masih menganggap diri mereka warga negara Indonesia, namun di sisi lain, mereka terpisah dari negara dengan dicabutnya status kewarganegaraan Indonesia. Sehingga hal ini dapat memunculkan diaspora dan memunculkan pertanyaan tentang identitas nasional mereka. Berdasarkan premis post-marxisme, krisis identitas yang dihadapi para eksil mencerminkan konflik antara identitas pribadi mereka, nilai-nilai yang dianut, dan represi politik yang dialami pada saat masih di bawah rezim otoriter Soeharto.
ADVERTISEMENT
Post-marxisme menegaskan bahwa identitas tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh aspek-aspek budaya dan politik yang lebih luas yang secara langsung terlibat dalam pembentukan dan pengalaman individu dalam masyarakat yang terlibat dalam politik seperti situasi di Indonesia pada masa itu.
Film ‘Eksil’ mampu mengundang penonton untuk merasakan sakit hati, trauma, dan pilu yang dirasakan para eksil yang hingga saat ini masih terjebak dan tidak bisa kembali. Detail yang diberikan secara alami juga mampu menyentuh hati para penonton, hal ini juga didukung dengan adanya chain of equivalence, milik Laclau dan Mouffe, dimana penonton mengaitkan penderitaan para eksil dengan isu Hak Asasi Manusia yang lebih luas.
Meskipun setiap eksil mungkin memiliki nasib hidup yang berbeda-beda, pengalaman mereka mampu bersatu dalam konteks ketidakadilan sosial dan politik yang lebih besar. Penonton pun dapat merasakan solidaritas emosional saat menyadari bahwa penderitaan ini bukan sekadar kasus individual melainkan mencerminkan pola ketidakadilan yang lebih luas dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Semua bagian yang diperlihatkan dalam film ‘Eksil’ mampu membuat saya kagum, namun titik di mana saya meneteskan air mata adalah saat saya menyadari bahwa meskipun mereka telah diusir dari negara tercinta, mereka masih menyimpan tekad yang kuat untuk kembali pulang ke tanah air dan mempertahankan rasa cinta yang besar pada Indonesia hingga maut mengakhiri perjuangan dan penderitaan mereka.
Menurut saya film dokumenter ‘Eksil’ dibuat dengan cara yang sangat apik tanpa adanya unsur dramatisasi dan tetap memusatkan fokus mereka pada kesaksian atau pengalaman langsung para eksil. Terlebih lagi, para eksil tersebut pada dasarnya hanya mengharapkan keadilan dan permintaan maaf dari para pemimpin negara. Namun, sayangnya harapan sederhana tersebut tidak kunjung terwujud hingga sebagian dari mereka akhirnya menutup usia tanpa permintaan maaf.
ADVERTISEMENT