Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keadilan dan Kepastian Hukum: Mana yang Lebih Diutamakan?
19 September 2024 15:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memulai tulisan ini dengan sebuah ungkapan berbahasa Belanda yang berarti “Hukum itu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya”. Ungkapan ini memang menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Namun demikian, dapat ditarik benang merah dari ungkapan tersebut bahwa hukum kerap kali kontras dengan realitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam merealisasikan hukum, tentu akan berhadapan dengan kehidupan masyarakat. Permasalahannya, kondisi hukum di Indonesia saat ini berada pada titik yang cukup kritis. Kompleksitas problema penegakan hukum kemudian menjadi sorotan, sebab kerap terbentur dengan berbagai kepentingan.
Penegakan hukum kadangkala dihadapkan dengan tuntutan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun di sisi lain, penegakan hukum juga harus menjamin kepastian atas suatu persoalan hukum. Perdebatan antara dua kepentingan inilah yang disebut sebagai antinomi dalam hukum.
Pada dasarnya, sistem hukum tidak menghendaki adanya konflik antar unsur. Sistem hukum itu sendiri justru menjadi pemecah konflik melalui mekanisme yang secara umum terdapat dalam asas-asas hukum. Hal ini merupakan potret dari sifat mengatur dalam hukum yang menjadi penengah antara sifat individualistis dengan sifat kolektivistis manusia.
ADVERTISEMENT
Secara konseptual, antinomi merupakan pertentangan antara satu unsur dengan unsur lainnya, namun pertentangan yang terjadi tidak dapat menegasikan satu di antara unsur lainnya tersebut. Artinya, unsur-unsur yang saling bertentangan dianggap sama-sama penting, sehingga tidak dapat dikecualikan dan dihilangkan.
Dalam konteks penegakan hukum, kerap kali terjadi antinomi. Mengutip pendapat Gustav Radbruch, paling tidak terdapat tiga unsur utama dalam hukum, yaitu: keadilan (gerechtigheit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Ketiga unsur ini seringkali berada pada posisi konflik, terutama antara keadilan dan kepastian hukum.
Jika berupaya menegakkan keadilan, maka kepastian hukum akan terabaikan. Demikian juga dalam mewujudkan kepastian hukum, seringkali bertabrakan dengan keadilan. Namun yang pasti, keadilan dan kepastian hukum merupakan unsur penting dalam penegakan hukum yang tidak dapat ditiadakan.
ADVERTISEMENT
Melihat konflik antar unsur ini, bagi Radbruch, hukum merupakan pengemban nilai keadilan dan keadilan menjadi dasar bagi tegaknya hukum. Tidak pantas suatu aturan menjadi hukum jika tidak dilandasi nilai keadilan.
Menurut Radbruch, keadilan dapat bersifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan bersifat normatif karena ia menjadi landasan moral dan tolak ukur terhadap sistem hukum positif, dan bersifat konstitutif sebab keadilan merupakan unsur mutlak suatu aturan dapat menjadi hukum.
Sementara itu, Geny secara ekstrim menyebut bahwa keadilan merupakan satu-satunya tujuan hukum. Maka, hukum tidak memiliki arti apa-apa tanpa adanya keadilan. Pandangan ini kemudian ditolak oleh L.J. van Apeldoorn sebab terlalu mendewakan unsur keadilan dalam hukum.
Nampak jelas bahwa Radbruch dan Geny, dalam menanggapi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, lebih mengutamakan unsur keadilan dibanding kepastian hukum. Dengan demikian, Radbruch dan Geny memandang hukum itu sebagai sesuatu yang normatif.
ADVERTISEMENT
Jika melihat realitas penegakan hukum, terdapat kecenderungan hakim untuk mengedepankan apa yang terdapat dalam undang-undang. Boleh jadi juga, hakim memutus suatu perkara yang sejalan dengan kepastian hukum, namun kontras dengan keadilan.
Dalam perspektif hakim, suatu putusan harus dilandasi pada argumentasi hukum yang jelas berdasarkan undang-undang. Potret inilah yang dimaksud dalam pepatah lex dura sed tamen scripta yang berarti undang-undang (hukum) itu kejam, tetapi seperti itulah yang tertulis.
Kecenderungan terhadap pengutamaan kepastian hukum tidak terlepas dari tuntutan praksis bagi hakim untuk melaksanakan perintah undang-undang. Maka, tak syak lagi jika hakim terkadang disebut sebagai “corong undang-undang”.
Perlu diperhatikan bahwa pengutamaan atas satu unsur tidak boleh berlaku secara absolut setiap saat, yang berujung pada glorifikasi terhadap satu unsur tertentu. Artinya, unsur yang diutamakan pada setiap kasus hukum akan berbeda-beda, tergantung dari sejauh mana kondisi kasus hukum tersebut.
ADVERTISEMENT
Kadangkala, terdapat desakan untuk memenuhi aspek kejelasan, ketegasan, dan ketertiban dalam penyelesaian kasus hukum. Dengan kondisi demikian, seharusnya lebih diutamakan kepastian hukum dibanding keadilan dalam penyelesaian kasus hukum.
Pengutamaan unsur keadilan, sebagaimana argumen Radbruch atau bahkan Geny, nampaknya tidak realistis untuk menengahi kasus hukum seperti itu. Ini karena keadilan bersifat subjektif, yang mana titik fokusnya adalah pemenuhan tuntutan hak para pihak secara proporsional.
Upaya menggali apa yang dianggap adil melibatkan sudut pandang yang sangat beragam. Tidak ada satupun tolak ukur yang pasti untuk disebut sebagai keadilan. Kompleksitas ini membuat pengutamaan unsur keadilan menjadi tidak relevan untuk diterapkan pada kasus hukum yang memerlukan ketegasan dan keteraturan.
Namun keadilan, bagaimanapun juga, merupakan guidance bagi hukum. Maka, sudah sepantasnya pengutamaan atas unsur keadilan dilakukan selagi tidak ada desakan berarti untuk mendahulukan kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Jika berkaca kembali, pengutamaan unsur keadilan ala Radbruch dilatarbelakangi tragedi kemanusiaan akibat pemberlakuan UU Nuremberg oleh rezim Nazi. Radbruch kemudian mematrikan kembali unsur keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum.
Dapat dilihat, terkadang substansi undang-undang kontras dengan pemenuhan dan perlindungan hak masyarakat. Tidak jarang juga undang-undang justru dijadikan sebagai alat untuk memuluskan kepentingan penguasa. Pada titik inilah keadilan menjadi penetralisir tata hukum dari kepentingan pihak tertentu.
Berdasarkan gradasi pemahaman tersebut, unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan semestinya ada dalam penegakan hukum, walaupun tidak diaplikasikan secara proporsional. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir potensi kesewenang-wenangan penguasa, dan pastinya guna mencapai tujuan hukum yang ideal bagi masyarakat.
Wahyu Nugroho, Mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ADVERTISEMENT