Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mahalnya Harga Obat dan Lemahnya Regulasi
17 Desember 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Lemahnya regulasi telah menciptakan monopoli, membatasi persaingan, dan menghambat akses masyarakat terhadap obat-obatan esensial. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan kerja sama yang kuat dengan melibatkan Pemerintah, industri farmasi, akademisi, dan masyarakat sipil agar terbangun sistem kesehatan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Secara umum, harga obat di Indonesia cenderung lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara tetangga seperti Malaysia. Perbedaan harga ini bisa mencapai beberapa kali lipat. Hal ini diakui oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyatakan bahwa harga obat di Indonesia 3-5 kali lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Beberapa faktor yang menyebabkan harga obat di Indonesia lebih mahal antara lain adalah karena proses registrasi obat yang panjang dan birokratis, perlindungan paten yang terlalu lama, serta pengawasan harga yang lemah. Prosedur registrasi obat yang rumit dan memakan waktu lama membuat obat baru sulit untuk masuk ke pasar, sehingga pilihan obat menjadi terbatas dan harganya cenderung tinggi. Paten yang melindungi obat-obatan inovatif selama periode yang panjang menghambat produksi obat generik yang lebih murah. Kurangnya pengawasan terhadap harga obat membuat industri farmasi leluasa menetapkan harga yang tinggi. Selain itu, biaya produksi obat di Indonesia relatif tinggi karena adanya ketergantungan pada impor bahan baku. Panjangnya rantai distribusi obat dari produsen hingga ke konsumen semakin memperkokoh harga obat.
ADVERTISEMENT
Mekanisme penetapan harga obat yang kurang efektif menjadi akar masalah tingginya harga obat. Penetapan harga seringkali tidak didasarkan pada studi ekonomi farmasi yang komprehensif, sehingga harga yang ditetapkan tidak selalu mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Harga obat di Indonesia seringkali mengikuti harga obat di pasar internasional, tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan proses penetapan harga tidak melibatkan para pemangku kepentingan seperti asosiasi pasien, ahli farmasi, dan akademisi. Kurangnya transparansi dalam proses penetapan harga membuat masyarakat sulit mengetahui alasan di balik tingginya harga obat. Informasi mengenai biaya produksi, margin keuntungan perusahaan farmasi, dan perhitungan harga akhir tidak dipublikasikan. Negosiasi antara pemerintah dan industri farmasi dilakukan secara tertutup, sehingga masyarakat tidak dapat mengetahui detail kesepakatan yang dicapai. Rendahnya daya tawar Pemerintah dalam bernegosiasi dengan industri farmasi menyebabkan perusahaan farmasi dengan mudah menetapkan harga yang tinggi. Ketergantungan pada impor bahan baku obat dan terbatasnya pilihan produsen obat menyebabkan industri farmasi memiliki posisi tawar yang kuat.
ADVERTISEMENT
Durasi perlindungan paten merupakan jangka waktu di mana sebuah penemuan, termasuk obat-obatan, dilindungi secara hukum dari diproduksi atau dijual oleh pihak lain tanpa izin dari pemegang paten. Di banyak negara, termasuk Indonesia, durasi perlindungan paten untuk obat-obatan umumnya adalah 20 tahun. Selama periode perlindungan paten, perusahaan farmasi pemegang paten memiliki monopoli atas produksi dan penjualan obat tersebut. Perusahaan farmasi pemegang paten berpotensi untuk menetapkan harga obat setinggi mungkin tanpa adanya persaingan. Durasi perlindungan paten yang panjang juga menghambat produksi obat generik. Perusahaan farmasi hanya dapat memproduksi dan menjual obat generik setelah paten obat bermerek berakhir sehingga masyarakat harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan obat generik dengan harga yang terjangkau.
Proses registrasi obat adalah serangkaian tahapan yang harus dilalui oleh sebuah obat sebelum mendapatkan izin edar dan boleh dipasarkan. Di Indonesia, proses ini panjang dan birokratis serta berdampak pada keterlambatan masuknya obat baru ke pasar. Proses registrasi melibatkan beberapa lembaga pemerintah, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perdagangan. Setiap lembaga memiliki persyaratan dan prosedur yang berbeda. Kurangnya koordinasi antar lembaga yang terlibat dalam proses registrasi menyebabkan keterlambatan dalam proses ini.
ADVERTISEMENT
Rantai distribusi obat adalah jalur yang dilalui obat dari produsen hingga ke tangan konsumen. Jalur ini panjang dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pabrik farmasi, gudang farmasi, distributor besar, distributor kecil, hingga apotek. Jumlah titik distribusi yang banyak membuat pengawasan obat menjadi sulit dan kompleks. Hal ini ditambah dengan keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh serta kurang efektifnya koordinasi antara lembaga pengawas dengan pihak terkait, seperti kepolisian dan pemerintah daerah.
Regulasi yang tidak efektif atau lemah dalam industri farmasi dapat menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi untuk menetapkan harga obat yang tinggi. Mahalnya harga obat memiliki dampak yang signifikan terhadap akses kesehatan masyarakat. Harga obat yang tinggi membuat masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu, kesulitan untuk membeli obat yang dibutuhkan. Akibatnya, mereka menunda atau bahkan menghentikan pengobatan sehingga dapat memperparah kondisi kesehatannya. Keterbatasan akses terhadap obat-obatan dapat berdampak serius pada kesehatan masyarakat, salah satunya adalah meningkatnya angka kematian akibat penyakit yang sebenarnya dapat diobati. Pengeluaran untuk obat-obatan menjadi beban tambahan bagi keluarga, terutama jika ada anggota keluarga yang sakit kronis. Hal ini menyebabkan keluarga mengorbankan kebutuhan pokok lainnya seperti makanan dan pendidikan. Regulasi yang tidak mendukung dapat menghambat pertumbuhan industri farmasi dalam negeri karena perusahaan-perusahaan kecil kesulitan bersaing dengan perusahaan besar yang memiliki kekuatan finansial yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara telah menerapkan beragam strategi untuk mengatasi masalah regulasi yang lemah dalam industri farmasi dan memastikan akses masyarakat terhadap obat-obatan yang terjangkau. Uni Eropa menerapkan sistem pengawasan obat yang terintegrasi (European Medicines Agency - EMA) untuk memastikan keamanan dan kualitas obat. Selain itu, Uni Eropa juga memiliki mekanisme penetapan harga obat yang transparan dan melibatkan negosiasi dengan perusahaan farmasi. Inggris memiliki badan pengawas obat yang independen (Medicines and Healthcare products Regulatory Agency - MHRA) dan menerapkan sistem tender untuk pengadaan obat di rumah sakit. Amerika Serikat mempunyai Food and Drug Administration (FDA) yang bertugas untuk memastikan keamanan dan efektivitas obat sebelum dipasarkan. FDA memiliki wewenang untuk menegosiasikan harga obat dengan perusahaan farmasi untuk program pemerintah seperti Medicare dan Medicaid. Di Kanada terdapat Health Canada yang bertanggung jawab atas regulasi produk kesehatan, termasuk obat-obatan. Kanada menerapkan sistem paten yang lebih pendek untuk mendorong masuknya obat generik ke pasar. Sedangkan India mempunyai lembaga yang bernama Central Drugs Standard Control Organization (CDSCO) yang bertugas untuk mengatur manufaktur, penjualan, dan distribusi obat. India dikenal dengan industri farmasi generiknya yang besar dan mampu memproduksi obat-obatan dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan negara-negara lain. Untuk mengatasi permasalahan regulasi diperlukan komitmen politik yang kuat dari Pemerintah. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi kepentingan masyarakat dan memastikan akses yang adil terhadap obat-obatan. Kerjasama yang baik antar sektor juga harus diwujudkan. Perlu adanya kerjasama yang baik antara Pemerintah, industri farmasi, akademisi, dan masyarakat sipil. Badan POM perlu diperkuat dan diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengawasi seluruh aspek industri farmasi, mulai dari produksi hingga distribusi. Pemerintah harus melakukan negosiasi harga obat terutama untuk obat-obatan yang masuk dalam daftar obat esensial nasional dan mendukung pengembangan industri farmasi generik dalam negeri. Dari tataran regulasi, regulasi yang ada perlu terus dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dibalik mahalnya harga obat di Indonesia tersembunyi masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Penguatan Badan POM, transparansi informasi, negosiasi harga obat, dan dukungan terhadap industri farmasi dalam negeri adalah langkah-langkah penting untuk mengatasi masalah ini.