Konten dari Pengguna

Menimbang Regulasi AI di Ruang Operasi

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
23 Desember 2024 10:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“AI di ruang operasi menjanjikan peningkatan presisi dan efisiensi bedah. Namun, hal ini menimbulkan tantangan etika, hukum, dan sosial. Regulasi yang komprehensif dan adaptif harus dapat menyeimbangkan inovasi dengan keselamatan pasien serta etika. Regulasi harus dapat meminimalisir diskriminasi dan pelanggaran privasi serta memaksimalkan potensi AI untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.”
ADVERTISEMENT
Perkembangan AI di bidang kesehatan mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir. AI tidak lagi sekadar konsep, tetapi telah diimplementasikan pada berbagai prosedur bedah. AI menawarkan potensi untuk meningkatkan akurasi, efisiensi, dan personalisasi pengobatan. Awalnya, AI di ruang operasi terbatas pada tugas-tugas sederhana seperti analisis citra medis dasar. Kini, AI telah berkembang menjadi sistem yang lebih kompleks, mampu melakukan perencanaan operasi, memandu robot bedah, memprediksi risiko komplikasi, dan bahkan memberikan rekomendasi real-time kepada dokter bedah selama operasi. Perkembangan AI di ruang operasi didukung oleh kemajuan teknologi lain seperti robotika, computer vision, dan big data analytics. Integrasi ini memungkinkan terciptanya sistem yang lebih canggih dan terintegrasi. Tren utama dalam penggunaan AI di ruang operasi adalah fokus pada peningkatan presisi dan personalisasi pengobatan. AI memungkinkan operasi yang lebih minimal invasif, mengurangi risiko kerusakan jaringan, dan mempercepat pemulihan pasien. Selain itu, AI juga memungkinkan perancangan rencana operasi yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik unik setiap pasien. Contoh penggunaan AI dalam operasi adalah robot bedah, analisis citra medis, dan prediksi risiko.
ADVERTISEMENT
Robot bedah, seperti sistem da Vinci, dilengkapi dengan lengan robotik yang dapat dikendalikan oleh dokter bedah melalui konsol. AI berperan penting dalam meningkatkan kemampuan robot ini. AI memungkinkan robot untuk melakukan gerakan yang lebih halus dan presisi dibandingkan tangan manusia, mengurangi risiko tremor atau kesalahan kecil lainnya. Hal ini sangat penting dalam operasi yang membutuhkan ketelitian tinggi, seperti bedah saraf atau bedah mata. AI dapat menganalisis citra medis pasien (CT scan, MRI) untuk membuat model 3D organ dan jaringan. Berdasarkan model ini, AI dapat membantu merencanakan jalur operasi yang optimal, menghindari struktur penting seperti saraf dan pembuluh darah, serta meminimalkan trauma jaringan. AI dapat dilatih untuk mengenali dan membedakan berbagai jenis jaringan, seperti jaringan sehat, jaringan tumor, atau jaringan yang meradang. Kemampuan ini membantu robot dalam mengidentifikasi target operasi dengan lebih akurat dan menghindari kerusakan jaringan sehat. Selama operasi, pasien mungkin mengalami pergerakan kecil, misalnya karena pernapasan. AI dapat memantau pergerakan ini dan secara otomatis mengkompensasi gerakan robot, memastikan instrumen bedah tetap berada pada target yang tepat. Penggunaan AI dalam operasi menawarkan potensi besar untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan efektivitas prosedur bedah. Dengan mempersingkat waktu operasi, mengurangi risiko komplikasi, dan mempercepat pemulihan pasien, AI dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi pasien dan sistem kesehatan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Penggunaan AI dalam bidang kesehatan, khususnya di ruang operasi, menawarkan banyak manfaat, tetapi penting juga untuk menyadari potensi risiko yang terkait, terutama kegagalan teknis dan serangan siber. Sistem AI bergantung pada perangkat keras seperti komputer, server, dan sensor. Kerusakan pada perangkat keras ini dapat menyebabkan sistem tidak berfungsi atau memberikan data yang salah. Bug atau kesalahan dalam kode perangkat lunak dapat menyebabkan sistem AI mengalami crash, memberikan output yang tidak terduga, atau bahkan merusak data. Sistem AI sering diintegrasikan dengan sistem lain di rumah sakit, seperti sistem rekam medis elektronik atau sistem informasi laboratorium. Kesalahan dalam integrasi ini dapat menyebabkan masalah kompatibilitas atau hilangnya data. Jika AI memberikan informasi yang salah atau tidak akurat, dokter bedah mungkin membuat diagnosis yang salah atau merencanakan operasi yang tidak tepat, yang dapat membahayakan pasien. Jika sistem AI mengalami downtime, proses diagnosis atau pengobatan dapat tertunda, yang dapat memperburuk kondisi pasien. Sistem AI yang terhubung ke jaringan juga rentan terhadap serangan siber. Beberapa jenis serangan yang perlu diwaspadai antara lain adalah peretasan data, serangan malware, serangan ransomware, manipulasi data, dan serangan Denial-of-Service (DoS).
ADVERTISEMENT
Penggunaan AI dalam bidang kesehatan, meskipun menawarkan banyak manfaat, juga memunculkan kekhawatiran tentang potensi berkurangnya interaksi manusiawi antara dokter dan pasien. Interaksi yang hangat dan empatik merupakan bagian penting dari pengalaman perawatan kesehatan yang berkualitas, dan hilangnya aspek ini dapat berdampak negatif pada kepercayaan dan kepuasan pasien. Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, penting untuk menyadari potensi dampaknya terhadap interaksi ini.
Kebutuhan mendesak akan regulasi yang komprehensif di Indonesia untuk mengatur penggunaan AI dalam kesehatan, khususnya di ruang operasi, sangat krusial mengingat pesatnya perkembangan teknologi ini dan potensi dampaknya yang signifikan bagi pasien dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Tanpa regulasi yang memadai, potensi manfaat AI tidak dapat dimaksimalkan, sementara risiko dan dampak negatifnya sulit dikendalikan. Regulasi diperlukan untuk menetapkan standar yang jelas untuk validasi dan pengujian sistem AI sebelum diimplementasikan di ruang operasi. Hal ini memastikan bahwa sistem AI telah teruji secara ketat dan memenuhi standar keamanan dan efektivitas yang dipersyaratkan. Regulasi harus mengatur secara ketat pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan data pasien oleh sistem AI. Hal ini mencakup persyaratan persetujuan pasien (informed consent), anonimisasi data, dan langkah-langkah keamanan siber untuk mencegah kebocoran atau penyalahgunaan data. Regulasi dibutuhkan untuk memperjelas tanggung jawab jika terjadi kesalahan atau insiden yang melibatkan AI dalam operasi. Hal ini mencakup penentuan tanggung jawab antara dokter, rumah sakit, pengembang AI, dan pihak-pihak terkait lainnya. Regulasi harus mengacu pada prinsip-prinsip etika yang relevan, seperti otonomi pasien, manfaat, non-maleficence (tidak membahayakan), dan keadilan. Regulasi harus dirancang secara fleksibel agar dapat mengakomodasi perkembangan teknologi AI yang pesat, sambil tetap memastikan keamanan dan etika. Regulasi di Indonesia perlu diharmonisasi dengan standar internasional yang relevan, seperti pedoman yang dikeluarkan oleh WHO atau negara-negara lain yang telah lebih dulu mengembangkan regulasi terkait AI dalam kesehatan. Hal ini penting untuk memastikan interoperabilitas dan memfasilitasi kerjasama internasional.
ADVERTISEMENT
Dibutuhkan kolaborasi yang erat antara dokter, ilmuwan, pengembang teknologi, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk merumuskan regulasi yang efektif serta memastikan bahwa AI digunakan untuk kebaikan bersama. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, maka dapat dipastikan bahwa kehadiran AI di ruang operasi benar-benar menjadi anugerah, bukan ancaman.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/tangan-ruang-operasi-tim-pembedahan-4566532/