Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
“Masa Edar” Media Cetak Habis?
8 November 2018 13:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Ilustrasi media cetak & online. (Foto : estudosnacionais.com)
Barangkali terlalu sarkas kalau disebut habis, tamat. Tapi, faktanya media cetak sudah tidak lagi jadi pilihan untuk mencari berita dan informasi.
ADVERTISEMENT
Oleh : Tuji Tok
MENGULANG data yang diungkap Dewan Pers, pada 2017, sedikitnya 47 ribu media ada di Indonesia. Dari jumlah itu, lebih 44 ribu termasuk dalam media online (daring/dalam jaringan), selebihnya terbagi diantaranya televisi (523), cetak (2.000) dan radio (674).
Mengutip JawaPos.com, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam Konvensi Nasional Media Massa di Aula Hotel Inna Muara Padang, Kamis (8/2/2018) mengatakan, media online rata-rata menjamur dan menyasar hampir di semua ibu kota provinsi hingga kabupaten/kota di Indonesia.
Hanya saja, jika dirujuk penjabaran dari buku Data Pers 2015 hasil pendataan sebelumnya, media online yang memenuhi syarat dan bisa dikatakan sebagai perusahaan pers profesional, berjumlah 168 media massa.
Saya tidak mencoba menyoal atau mengurai kredibilitas puluhan ribu media yang diungkap tersebut. Bahkan juga tidak menengok profesionalitas dan kompetensi wartawannya.
ADVERTISEMENT
Bahwa dari seluruh media di Indonesia, dapat diungkapkan, lebih 90% berbentuk media online. Barangkali, dengan modal relatif kecil, ditunjang mudahnya membuat media online, jadi jawaban, kenapa media online tiba-tiba merajai hingga kemudian menggeser eksistensi media dengan platform cetak, atau lumrah disebut surat kabar ini.
Mengukur pergeseran perilaku penikmat berita, dari cetak ke media online, ukuran saya sederhana. Coba saja cermati, apakah banyak terlihat, orang menikmati kopi pagi sambil memegang lembar surat kabar dan membacanya? Kayaknya, gambaran itu sudah jarang dijumpai, karena lembar kertas berisi berita itu, kini berganti dengan smartphone. Dengan cangkir kopi pagi (atau malah tak terbatas waktu), mereka justru kian sibuk “pentengin” smartphone. Klik sana klik sini (taruh sebentar, smartphone digenggam lagi) dan baca sana baca sini. Terus bergitu berulang.
ADVERTISEMENT
Boleh saja kalau ada yang bilang ukuran saya melihat perubahan perilaku menikmati sajian berita atau konten lain, cetek. Karena itulah adanya.
Ada sih data diagram perkembangan menurunnya perkembangan media cetak di dunia dibandingkan dengan media lain, terutama disandingkan dengan media online. (cuman, maaf saja, file nguap, entah kemana. hehehe).
Saya juga tak sanggup mendapatkan data oplah surat kabar, setiap hari, minggu atau bahkan tiap bulan, berapa eksemplar yang berhasil diecer atau dijual ke pelanggannya.
Namun, yang cukup mencengangkan, justru ramai-ramai media cetak ditutup. Apalagi kalau bukan karena sudah tidak ada pelanggan.
Seperti yang terjadi pada tabloid Bola yang harus mengumumkan bakal menerbitkan dua edisi terakhirnya, karena harus menghentikan cetakannya.
Kepastian akhiri perjalanannya itu, diketahui bermula dari cuitan Managing Editor @BolaSportcom Firzie A. Idris di akun twitter miliknya, Rabu (17/10/2018). Begini tulisannya:
ADVERTISEMENT
“Berhubung sudah banyak yang nanya. Dua terbitan terakhir @TabloidBOLA adalah Jumat (19/10) dan Selasa (23/10) di mana edisi terakhir merupakan publikasi pamitan kami…”
Padahal tabloid di bawah naungan Kompas Gramedia Group (KKG) ini sudah 34 tahun berjaya.
Ternyata, tabloid Bola bukan yang pertama. pada Desember 2016, KKG menutup sejumlah media cetak langsung, mulai KawanKu, Sinyal, Chip Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Turning Guide, dan Motor.
Begitulah, tinggal saat ini bagaimana lalu-lalang media online itu dapat ditertibkan, baik dari sisi lembaga, konten hingga para keberadaan dan kemampuan para pewartanya.
Ehmm… tinggal ngupi dan kerja lagi yuuk. stop HOAX.