Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dampak Kenaikan PPN 12%: Respon Masyarakat, Ekonom, dan Pandangan Pemerintah
17 November 2024 17:32 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari widya kartika dan evita nadia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kilas Balik Kenaikan PPN
Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada Januari 2025 memicu polemik dari berbagai kalangan masyarakat. Kebijakan ini, yang merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tidak hanya menambah beban pajak bagi konsumen, tetapi juga memicu perdebatan sengit tentang dampaknya terhadap daya beli masyarakat, sektor usaha, dan sektor perekonomian.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Indonesia telah menerapkan tarif PPN sebesar 10% kemudian naik ke 11% pada tahun 2022 dan beranjak ke 12% di tahun 2025. perubahan tarif ini dianggap sebagai langkah penting dalam meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai berbagai program pembangunan. Namun, meskipun tujuan pemerintah adalah untuk memperkuat ruang fiskal negara, kebijakan ini mendapat berbagai respon kontra dari sebagian besar pihak. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN dianggap sebagai langkah yang tidak tepat di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, yang masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam meningkatkan daya beli masyarakat yang tertekan inflasi dan biaya hidup yang semakin tinggi. Di tengah pro dan kontra tersebut, penerapan PPN 12% bagaimana dampak yang mungkin ditimbulkan dan seperti apakah tanggapan pihak-pihak yang terdampak
ADVERTISEMENT
Dampak penerapannya bagi sektor perekonomian seperti apa?
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa memberikan dampak positif bagi sektor perekonomian, meski mungkin tidak langsung terasa. Dengan bertambahnya penerimaan pajak, pemerintah punya lebih banyak anggaran untuk memperbaiki infrastruktur dan mendanai proyek-proyek pembangunan, yang pada gilirannya akan membuka lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kenaikan PPN ini juga bisa mendorong sektor formal untuk lebih taat pajak, karena pajak yang terkumpul akan lebih banyak digunakan untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional. Meski ada dampak kenaikan harga barang dan jasa, jika dikelola dengan baik, tambahan pendapatan dari PPN ini bisa mendukung stabilitas ekonomi dalam jangka panjang dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih sehat dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan kenaikan tarif tersebut tidak dapat dipungkiri juga dapat membawa dampak negatif, terutama bagi sektor perekonomian yang langsung berhubungan dengan konsumen. Salah satunya, harga barang dan jasa yang semakin mahal akibat kenaikan PPN bisa menurunkan daya beli masyarakat. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih setelah pandemi, banyak orang yang sudah terbebani dengan biaya hidup yang tinggi. Hal ini bisa membuat konsumsi masyarakat turun, karena orang cenderung lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka. Selain itu, pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), bisa kesulitan menyesuaikan harga jual mereka, yang mungkin membuat mereka kehilangan pelanggan.
Lantas, seperti apa tanggapan pihak yang terkena dampak kenaikan PPN? Mulai dari Pengusaha hingga Konsumen
ADVERTISEMENT
Tanggapan Konsumen
Barang-barang yang berpotensi mengalami kenaikan harga memicu keluhan dari konsumen, yang merasa terbebani oleh dampaknya terhadap harga barang dan jasa. Sebagai pihak yang paling langsung terkena dampak, banyak konsumen mengungkapkan kekhawatiran mereka, terutama terkait dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. "Kenaikan PPN ini membuat harga barang-barang yang saya beli setiap hari, seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, jadi lebih mahal. Padahal pendapatan saya tidak naik," kata seorang ibu rumah tangga di Tangerang Selatan.
Banyak konsumen, terutama dari kalangan menengah ke bawah, merasa semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka mengeluhkan bahwa meskipun pemerintah mengklaim kenaikan PPN akan meningkatkan pendapatan negara untuk pembangunan, dampak langsungnya adalah peningkatan biaya hidup yang cukup signifikan. "Bagi kami yang penghasilannya terbatas, kenaikan harga barang akibat PPN ini benar-benar menyulitkan. pengeluaran tambah besar, bahkan untuk barang-barang yang dulu dianggap kebutuhan dasar," ungkap Pak Ahmad yang merupakan seorang ojol. Konsumen juga merasa khawatir bahwa kenaikan PPN ini bisa memicu inflasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan menambah beban ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
Tanggapan Pengusaha
Kenaikan PPN yang signifikan dari 11% menuju 12% menimbulkan kekhawatiran baru bagi para pengusaha. Adanya penambahan pada tarif PPN membuat biaya faktor input produksi, yaitu bahan baku produksi, menjadi semakin mahal. Bertambahnya biaya tersebut akan membuat pengusaha mempertimbangkan untuk melakukan penambahan harga jual produk mereka di pasar.
Perusahaan-perusahaan yang terdampak kenaikan PPN akan memperhitungkan keberlangsungan usaha mereka di masa mendatang. Para pengusaha dihadapi pada dua pilihan utama, yaitu menanggung beban kenaikan PPN, atau menaikkan harga jual produk mereka untuk menyeimbangkan dengan pajak masukan pembelian bahan baku produksi.
Tentu saja hal tersebut bukanlah pilihan mudah bagi perusahaan. Perusahaan yang memutuskan untuk menanggung beban kenaikan PPN harus mempersiapkan cashflow dengan baik agar tidak mengalami kemerosotan. Sebaliknya perusahaan yang memutuskan untuk menaikkan harga jual akan dihadapi dengan tantangan dalam menjaga volume penjualan di lingkungan masyarakat yang mengalami penurunan daya beli. Kedua pilihan tersebut membawa perusahaan pada peningkatan beban usaha yang dikhawatirkan memaksa pengusaha untuk mengurangi tenaga kerja. Oleh karena itu pengusaha mengharapkan pemerintah dapat memberikan insentif tambahan untuk membantu kondisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Tanggapan Ekonom
Ekonom di Indonesia, seperti pada INDEF (Institute For Development of Economics and Finance), memberikan tanggapan negatif pada kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Mereka menyatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang tidak berada dalam kondisi yang mampu untuk menanggung dampak kenaikan PPN tersebut.
INDEF menyampaikan bahwa seluruh faktor perekonomian di Indonesia menurun signifikan apabila menerapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada Tahun 2025. Faktor perekonomian tersebut seperti upah masyarakat, daya beli masyarakat, IHK (Indeks Harga Konsumen), serta pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto).
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda dalam laporan Kumparan.com, Minggu (13/10), mengatakan "Kebijakan menaikkan tarif PPN mengurangi pendapatan disposable masyarakat yang pada ujungnya kontradiktif dengan pertumbuhan ekonomi. Demikian juga dengan daya beli masyarakat yang akan tergerus,"
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa dalam meningkatkan penerimaan negara, tidak semata-mata membutuhkan peningkatan pada besaran tarif pajak. Peningkatan penerimaan negara dapat dilakukan dengan mendukung perkembangan perekonomian sehingga kemampuan membayar pajak pun ikut terdorong. Apabila menerapkan peningkatan tarif pajak saat ekonomi tidak menyanggupi, maka kebijakan peningkatan tersebut hanyalah menjadi pisau bermata dua, karena pajak yang terlalu tinggi dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dalam wawancara Kumparan.com, Sabtu (12/10), merespon positif terhadap peningkatan PPN menjadi 12% bahwa peningkatan tersebut tidak akan terlalu menekan masyarakat selama penerimaan negara dialokasikan dengan baik. "Kenaikan PPN tidak terlalu memberatkan masyarakat. Kuncinya, kenaikan penerimaan PPN digunakan untuk program-program yang bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah, seperti MBG (Makanan Bergizi Gratis), sekolah gratis, perbaikan layanan dan coverage kesehatan, subsidi rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” Apabila dilengkapi dengan kebijakan penumbuhan ekonomi nasional, kenaikan PPN dapat mendorong penerimaan negara dengan signifikan, serta membantu mengatasi pengelolaan utang negara.
ADVERTISEMENT
Respons Pemerintah terhadap Tanggapan Masyarakat
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, menunjukkan bahwa tingkat rata-rata PPN atau VAT (Value Added Tax) di dunia adalah sebesar 15%, angka tersebut masih jauh lebih tinggi daripada PPN yang diterapkan di Indonesia sebesar 11% menuju 12%. “Rata-rata VAT di dunia itu ada di 15%, Kalau kita lihat OECD dan yang lain. Indonesia ada di 11% dan nanti 12% akan naik pada tahun 2025”
Menurut Sri Mulyani, penerapan PPN dengan tarif 12% sudah tepat dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian negara Indonesia saat ini. Kebijakan tersebut tidak akan memberikan dampak negatif signifikan pada perekonomian dan tidak berimplikasi pada inflasi jangka panjang. Hal itu dibuktikan dengan peningkatan PPN sebelumnya dari 10% menuju 11% yang mampu meningkatkan penerimaan negara tanpa mengganggu peningkatan ekonomi dan menjaga inflasi tetap stabil.
ADVERTISEMENT
PPN 12% mampu meningkatkan jumlah penerimaan negara karena 53% dari PDB Indonesia Tahun 2023 terdiri atas tingkat konsumsi rumah tangga. Hal ini menunjukkan masih tingginya konsumsi di Indonesia meskipun terdapat peningkatan tarif sebelumnya yaitu 11%. Itu disebabkan oleh tingginya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Indonesia.
Penerimaan pajak dari PPN akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik dan subsidi terhadap masyarakat lapisan menengah ke bawah. Sehingga kenaikan tersebut dapat diimbangi dengan insentif yang diterima. Pemerintah juga telah memitigasi beban masyarakat dengan tidak mengenakan PPN pada bahan kebutuhan pokok, edukasi, pelayanan kesehatan, dan sosial.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang akan diberlakukan pada 2025 memicu berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, langkah ini diharapkan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan, yang pada akhirnya dapat membuka lapangan kerja dan memperkuat perekonomian nasional. Namun, di sisi lain, konsumen khawatir akan peningkatan harga kebutuhan sehari-hari, yang bisa menekan daya beli, terutama di kalangan menengah ke bawah. Para pengusaha, khususnya UKM, menghadapi dilema dalam menentukan strategi bisnis yang berkelanjutan di tengah penurunan daya beli. Para ekonom memperingatkan bahwa kenaikan ini dapat membebani ekonomi yang masih rentan, kecuali diiringi dengan kebijakan pengimbang seperti subsidi dan program yang bermanfaat bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Demi tercapainya keseimbangan antara penerimaan negara yang meningkat dan kesejahteraan masyarakat, kebijakan kenaikan PPN harus diimplementasikan dengan hati-hati dan disertai langkah-langkah mitigasi yang tepat. Transparansi dalam penggunaan dana pajak serta program subsidi yang ditujukan bagi kelompok rentan sangat penting agar dampak negatif dapat diminimalkan. Dengan manajemen fiskal yang bijak dan proaktif, kenaikan PPN ini bisa menjadi fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa yang mendatang.
REFERENSI
https://www.tri.or.id/wp-content/uploads/2024/08/Apr-2024-Dampak-Kenaikan-PPN-12-Bagi-Pengusaha.pdf
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20241115125105-532-1166952/sederet-dampak-jika-ppn-naik-jadi-12-persen-tahun-depan
https://ekonomi.republika.co.id/berita/sjwefv490/pemerintah-bakal-naikkan-ppn-jadi-12-persen-ekonom-kondisi-ekonomi-makin-tertekan
https://katadata.co.id/finansial/makro/66e3aa9a191f9/ekonom-ingatkan-pajak-ppn-naik-jadi-12-bisa-ganggu-pertumbuhan-ekonomi