Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ni Hao: Kata Sapaan dari Afrika
17 Juli 2018 7:49 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari wied kiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ni hao (ni hao / nĭ hăo) kata sapaan dalam Bahasa Mandarin yang artinya “Halo” atau “Hai” dalam Bahasa Indonesia ini penulis temui bukan di Tiongkok, bukan pula di negara-negara Asia. Sapaan yang terlontar dengan aksen setempat ini dapat ditemui di negara yang jaraknya lebih dari 9.900 kilometer jauhnya dari Negeri Tirai Bambu. Ya, sapaan ni hao ini terlontar kepada penulis ketika berkunjung ke beberapa negara Afrika Sub Sahara.
ADVERTISEMENT
Awalnya penulis mengira karena kulit yang cenderung terang sehingga penduduk lokal mengira penulis adalah orang Tiongkok. Ternyata ketika penulis pergi dengan beberapa teman Indonesia yang berkulit agak gelap, sapaan ni hao pun tetap terlontar dari penduduk lokal. Tidak bermaksud membeda-bedakan warna kulit, namun ini adalah pengalaman menarik yang dialami sendiri oleh penulis.
Penduduk lokal di Zimbabwe, Zambia, maupun Botswana sering menyapa orang asing yang berasal dari Asia dengan sapaan ini. Usut punya usut, ternyata mereka kurang dapat membedakan orang-orang Asia dan rata-rata menganggap orang yang berkulit lebih terang, namun bukan kulit putih (bule) adalah orang Tiongkok.
Suatu waktu, ketika penulis dan beberapa teman memasuki sebuah toko di kota dekat perbatasan Zimbabwe-Zambia, si penjaga toko menyapa dengan “Ni hao?”. Lalu penulis pun menghampiri dengan tersenyum dan menyampaikan kepada si penjaga toko bahwa kami bukanlah orang Tiongkok. Tiba-tiba saja si penjaga membalas dengan bertanya “Oh jadi kalian orang Jepang?”
ADVERTISEMENT
Tentu saja kami pun tertawa mendengar tebakan itu. Melihat kami tertawa, si penjaga pun mulai menebak-nebak kembali. “Jadi kalian bukan orang Tiongkok, bukan pula orang Jepang. Hmmm, tapi wajah sebagian kalian mirip orang Jepang.” Dia pun bersikeras untuk menebak asal kami ini. “India…ya..ya…kalian dari India” Kami pun tertawa kembali. Aksen Bahasa Inggris orang India cukup kental, yang tentu saja tidak dapat kami tiru. Akhirnya si penjaga itu pun mengalah dan bertanya asal negara.
Penulis menyampaikan bahwa kami adalah orang Indonesia, memang wajah kami bermacam-macam. Warna kulit dan bentuk wajah ada kemiripan dengan Tiongkok, Jepang, India, maupun negara-negara di Pasifik. Jadi kami tidak seratus persen menyalahkan jika dia kurang tepat menebak. Ya penduduk Indonesia itu memang campuran dari mana-mana loh.
ADVERTISEMENT
Si penjaga kemudian bertanya apa sapaan seperti “ni hao” dalam Bahasa Indonesia. Penulis kemudian memberikan kuliah super singkat kepadanya tentang “Apa kabar” dan bagaimana cara menjawabnya. Semoga sampai hari ini dia tetap mengingat sapaan “Apa kabar” itu.
Cukup dimaklumi jika para penduduk lokal di negara-negara ini menyapa orang asing yang berbeda dengan mereka dengan sapaan “ni hao”. Jumlah warga Tiongkok di negara-negara ini, semakin lama semakin bertambah banyak. Tidak hanya tinggal di Ibukota negara, namun juga tersebar di kota-kota kecil lainnya. Berdasar data yang ada, diperkirakan saat ini jumlah masyarakat Tiongkok di negara-negara Afrika Sub Sahara mencapai 1 juta orang. http://www.culturaldiplomacy.org/academy/index.php?chinese-diaspora.
Horizon Ivato, Pusat Perbelanjaan di Kota Harare, Zimbabwe (Dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Sebagai tolok ukur paling mudah, di kota-kota yang pernah penulis singgahi di beberapa negara Afrika, mulai dari bagian timur, barat dan selatan, selalu saja ada restoran asal negeri tirai bambu. Tidak hanya menyediakan makanan jadi, umumnya mereka juga meluaskan bisnisnya ke penjualan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Berawal dari melayani kebutuhan orang-orang senegara yang ada di daerah tersebut, bisnis mereka berkembang dan menyasar berbagai lapisan masyarakat setempat.
Memang ada masyarakat Tiongkok yang sudah beberapa generasi tinggal di Afrika, sejak moyangnya, yang berkelana menjadi pedagang hingga ke benua ini. Ada juga yang baru beberapa tahun saja mencoba peruntungan. Keberadaan mereka di Afrika bertambah sejak tahun 2009, ketika pemerintahnya melakukan investasi besar-besaran di Afrika di bidang perminyakan dan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung investasi itu, para pekerja negeri tirai bambu didatangkan, selain juga mempekerjakan penduduk lokal untuk proyek-proyek besarnya. Sejalan dengan bertambah banyaknya pekerja dari luar, semakin banyak restoran bercitarasa Mandarin dan semakin banyak pula ditemui anak-anak campuran dari orang tua Afrika-Tiongkok.
Satu hal yang tak dapat dihindari adalah semakin banyaknya barang-barang mereka yang masuk ke pasar Afrika. Di Zimbabwe, barang-barang ini terkenal dengan sebutan “Jing-jong.” Namun ada stigma negatif terhadap barang Jing-jong ini. Murah memang dan sesuai dengan kantong penduduk lokal, namun kualitas cukup mereka pertanyakan.
Pembangunan jalan Dolisie-Pointe-Noire, Republik Demokratik Kongo (Sumber Flickr)
Dengan semakin banyaknya pekerja dari Tiongkok, semakin banyak pula penduduk setempat yang berkeinginan untuk dapat menjalin komunikasi dalam Bahasa Mandarin. Alih-alih pendatang yang berusaha beradaptasi dengan bahasa lokal, yang terjadi malah masyarakat setempat punya minat tinggi untuk belajar bahasa baru. Nah, itulah mengapa sapaan ni hao begitu seringnya terlontar kepada penulis.
ADVERTISEMENT