Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Renungan dari Perbatasan
20 Agustus 2018 12:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari wied kiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Merayakan HUT kemerdekaan RI memang sudah biasa. Dua tahun lalu penulis berkesempatan merayakan HUT RI dalam kondisi yang berbeda. Jauh dari tanah air dengan hanya sedikit saudara sebangsa. Lantunan lagu-lagu nasional kala itu, membuat rasa kangen tanah air yang begitu membuncah. HUT RI tahun ini juga berbeda dan spesial.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemarin cukup banyak berita tentang Joni, adek SMPN 1 Silawan, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi seorang pahlawan atas keberaniannya memanjat tiang bendera untuk mengambil tali bendera yang putus. Seorang anak pengungsi dari Timor Leste, yang punya keberanian baja, demi berkibarnya sang merah putih dalam upacara HUT Kemerderkaan RI ke-73 di pantai Motaain, perbatasan RI – Timor Leste.
Foto Bersama Peserta Sesdilu Kemenlu dengan Joni dan Wakil Bupati Belu (koleksi Sesdilu 61)
Upacara ini dilakukan setiap tahunnya di pantai, di dekat pos batas antara RI – Timor Leste, dengan kesederhanaan yang ada. Masyarakat pun terbuka untuk ikut serta. Matahari pagi yang cukup terik, mendadak melembutkan sinarnya ketika upacara dimulai. Barisan adik-adik mulai SD hingga SMA itu pun tetap berdiri tegak.
ADVERTISEMENT
Nuansa menyentuh hati selama upacara itu tidak hanya terbias dari keberanian Joni. Sebagai salah satu undangan yang hadir dalam upacara di perbatasan RI – Timor Leste, penulis berkali-kali menitikkan air mata.
Saat lagu-lagu nasional disenandungkan oleh tim paduan suara dari SMPN 1 Silawan, hati ini sungguh bergetar. Lagu Gugur Bunga yang dinyanyikan dengan sepenuh rasa oleh seorang anak SMP dan lantunan lagu-lagu nasional lainnya oleh tim padian suara pimpinan seorang dirijen yang berdiri di atas kursi plastik benar-benar membuat merinding. Sungguh, keterbatasan itu tidak mengurangi kesyahduan dan makna lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Siswa-siwa itu bangga dapat menyanyikan lagu dan menjadi bagian dari upacara puncak tahunan yang dipimpin oleh Bapak Wakil Bupati Belu. Johannes T. Ose Luan.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak larut dalam kesedihan akan kekurangan, mereka tetap bersemangat untuk belajar, untuk menatap masa depan. Hampir seharian penulis dan kawan-kawan menghabiskan waktu bermain dengan adik-adik dan masyarakat setempat. Lomba goyang dangdut, balap karung, bakiak dan tarik tambang kami ikuti silih berganti. Raut-raut muka adik-adik SD hingga SMP yang kepanasan dan berpeluh, namun ceria dan bersemangat.
Lomba Balap Karung dalam rangka HUT RI ke-73 di Motaain (koleksi Sesdilu 61)
Lomba tujuh belasan kali ini memang terasa berbeda bagi kami. Jauh dari hingar bingar politik dan keriuhan Ibu Kota. Semangat-semangat yang kami temukan di perbatasan, menyemangati kami untuk berbuat lebih demi negeri ini. Kami memang berada di Belu untuk pelayanan masyarakat selama beberapa hari. Sebagai orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk berkeliling ke berbagai di negara di 4 atau 5 benua, kami ingin para guru dan adik-adik kami di perbatasan untuk berani bermimpi, setinggi langit. Mimpi itu tidak perlu bayar bung‼
ADVERTISEMENT
Ternyata kepala sekolah dan guru-guru di Belu ini memiliki pengalaman-pengalaman yang sangat berharga. Mereka menceritakan bagaimana mereka berupaya mendorong anak-anaknya untuk terus bersekolah. Jika memang ada niat, uang bukanlah halangan. Mereka berupaya untuk mendapatkan beasiswa. Umumnya sekolah-sekolah tinggi tidak berada di Belu, sehingga anak-anak ini harus berpisah dengan keluarganya selama bersekolah. Namun, demi cita-cita dan hidup yang lebih baik, mereka lakukan itu. Niat yang baik dan upaya yang ulet akan membuahkan hasil yang tidak mengecewakan.
Berjalan menyusuri perkampungan sekitar kota Atambua, membuat penulis sadar. Perjuangan bangsa ini masih harus terus dilanjutkan, bukan untuk meningkat senjata, namun untuk selalu inovatif dan kreatif demi pemerataan kesejahteraan. Di pinggiran Indonesia ini, masih banyak warga yang belum menikmati layanan listrik dan air bersih. Dua hal yang menjadi kebutuhan dasar saat ini, tidak hanya di daerah perbatasan ini, namun juga di daerah perbatasan lainnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu rumah warga tanpa listrik (koleksi pribadi)
Jika saja ada anak negeri ini yang mampu memanfaatkan panas matahari yang bersinar sepanjang tahun di wilayah batas negeri ini sebagai sumber energi listrik dan mengolah air laut yang melimpah ruah dengan teknologi murah dan ramah lingkungan sebagai air minum. Jika saja ada yang mau dan tergerak….makmurlah negeri kita.