Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kunci Hidup Bahagia ala Ki Lurah Semar
7 Februari 2024 11:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Willy Juanggo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai penggemar pertunjukan wayang kulit, saya sering kali terkagum-kagum saat menyaksikan seorang dalang memerankan sebuah lakon dalam pertunjukan. Selain menikmati sabet atau gerakan wayang yang digerakkan dengan cekatan, terkadang saya juga mengambil hikmah tersembunyi, pesan mendalam, dan segala macam pitutur becik yang disampaikan oleh dalang melalui karakter wayang yang dibawakannya.
ADVERTISEMENT
Pertunjukan wayang kulit, selain menghibur, pada dasarnya penuh dengan nilai-nilai luhur dan inspirasi untuk menjalani kehidupan. Salah satu hal yang masih terngiang dalam ingatan saya hingga kini adalah wejangan dari Semar, tokoh punakawan yang tentu sudah tidak asing lagi di telinga.
Semar merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, oleh karena itu, dia tidak terdapat dalam kisah Mahabarata versi India. Dalam jagad pewayangan, Semar sejatinya adalah perwujudan dari Bathara Ismaya, dewa tingkat atas di Kahyangan, yang memilih turun ke dunia menjadi manusia untuk membimbing para ksatria Pandawa agar menjalani hidup dengan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran.
Ada tiga hal dari apa yang disampaikan oleh Semar yang memberikan kesan mendalam bagi diri saya pribadi. Mereka adalah sikap mental yang diperlukan seseorang agar dapat menjalani kehidupan di dunia ini dengan tentram dan bahagia. Tiga sikap mental tersebut adalah tadah, pradah, dan ora wegah.
ADVERTISEMENT
Tadah merupakan sikap di mana kita menerima segala bentuk dan pemberian dari Yang Maha Kuasa. Baik diberi banyak, sedikit, atau bahkan tidak mendapat apa-apa pun, tidak masalah. Tidak ada komplain, tidak mengeluh, dan selalu bersyukur. Dalam perspektif Islam, hal ini mungkin dapat disebut dengan qona’ah, di mana seseorang yang memiliki sifat ini senantiasa bersyukur dan merasa cukup dengan segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT. Sehingga bagi orang yang memiliki sikap ini, tidak ada hal yang tidak bisa disyukuri.
Sikap mental yang kedua adalah pradah atau gemar memberi dan berbagi dengan penuh keikhlasan. Sikap ini perlu kita miliki dalam hubungan dengan lingkungan sekitar, di mana kita bersedia berbagi segala potensi yang kita miliki untuk kemaslahatan bersama, baik itu ilmu, pikiran, tenaga, maupun harta tanpa pamrih.
ADVERTISEMENT
Jika tadah berkaitan dengan hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa (vertikal), maka pradah lebih kepada hubungan horizontal dengan sesama manusia. Dalam hidup kita perlu memiliki mental pradah, mental memberi, bukan sebaliknya yakni mental meminta-minta dan mudah menerima. Bukankah dalam agama juga disebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah? Dalam memberi, kita juga perlu menjaga keikhlasan agar tidak pamrih dan mengharapkan imbalan semu berupa pujian atau rasa kagum orang terhadap kita, melainkan hanya mengharapkan ridho dari Tuhan semata.
Sikap mental terakhir menurut pitutur Semar adalah ora wegah, yang berarti jangan malas dan tidak pilih-pilih. Tidak bisa dipungkiri bahwa sifat malas adalah sumber masalah dalam hal apa pun di dunia ini. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita perlu menjadi pribadi yang tangkas, cekatan, dan tidak pilih-pilih dalam urusan kebaikan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, dalam pekerjaan apa pun hendaknya kita melakukannya dengan sepenuh hati, tidak setengah-setengah, dan tidak memperhatikan besarnya upah yang diberikan. Dalam hal profesionalitas, kita tekun dan maksimal saat diberi upah besar, serta tetap semangat dan totalitas saat mendapat upah yang kecil sekalipun. Intinya, etos kerja tidak berkurang antara upah kecil dan besar, pekerjaan “biasa” dan bergengsi, posisi atasan atau bawahan, karena yang terpenting adalah komitmen dan tanggung jawab kita.
Dalam sudut pandang agama, kita juga dituntut untuk menjadi orang yang bersemangat dan tidak bermalas-malasan. Bahkan dalam hadist, ada doa khusus agar kita terhindar dari sifat malas ini, “Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi, wal kasali, wal jubni, wal haromi, wal bukhl” yang artinya "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir".
ADVERTISEMENT
Harus diakui memang tidak mudah untuk memiliki ketiga sikap mental sesuai dengan pitutur Kiai Semar Badranaya di atas. Namun tidak ada salahnya jika kita mulai mencoba mengaplikasikan ketiga nasihat luhur di atas dalam kehidupan jika menginginkan hidup yang tentram dan tidak terbebani oleh apa pun.
Sehingga kita bisa “nunggang rasa ngadep urip”, alias mengendarai perasaan untuk mengarungi hidup, perasaan yang tidak memperdaya namun tetap menjadi sarana untuk menjalani kehidupan. Dan ketika kita sudah “nunggang rasa ngadep urip”, seperti kata Semar, kita akan “ora nduwe ning nek butuh ono”, yakni tidak berlebihan, tetapi ketika dibutuhkan, ada saja jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan itu.