Konten dari Pengguna

Perppu Cipta Kerja: Kenapa Tidak?

Wilson Fu
Corporate Legal di Permata Hijau Group - (S.H) FH Universitas Sumatera Utara
11 Januari 2023 15:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wilson Fu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi gelar rapat terbatas soal cipta lapangan kerja di Kantor Presiden, Jakarta Pusat. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi gelar rapat terbatas soal cipta lapangan kerja di Kantor Presiden, Jakarta Pusat. Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang akhir tahun 2022, publik, terkhususnya para pemerhati hukum dan politik, digemparkan oleh penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) oleh Presiden Joko Widodo. Perppu Cipta Kerja mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil atau pembentukannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). MK memberi waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut diucapkan untuk dilakukan perubahan.
Namun, alih-alih membuat UU baru untuk mengubah UU Cipta Kerja, presiden menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Para kritikus menilai penerbitan Perppu Cipta Kerja hanya akal-akalan pemerintah untuk memaksakan kepentingannya. Apakah benar demikian? Apakah pemerintah memaksakan kepentingannya? Apakah penggunaan Perppu melanggar perintah MK?
Ilustrasi krisis ekonomi. (Foto: Pixabay)

Memaksakan kepentingan masyarakat

Menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, presiden berhak menetapkan Perppu sebagai pengganti UU dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Unsur ‘kegentingan yang memaksa’ adalah kunci untuk membenarkan penetapan suatu Perppu.
ADVERTISEMENT
Pada bagian umum dari Perppu Cipta Kerja dijelaskan bahwa perekonomian Indonesia akan terdampak stagflasi global, yakni terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi yang bersamaan dengan kenaikan inflasi. Hal tersebut akan berakibat pada terhambatnya penciptaan dan perluasan lapangan kerja. Sehingga, pemerintah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja untuk menstimulasi investasi melalui kepastian hukum yang diberikan Perppu Cipta Kerja. Investasi tersebut akan berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Namun, para kritikus menilai keadaan perekonomian tersebut kurang ‘genting’ untuk dijadikan alasan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. Krisis ekonomi disebut bukan ancaman di depan mata. Menurut saya, pernyataan seperti itu cenderung menyepelekan data-data ekonomi. International Monetary Fund (IMF) dan World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun dari tahun 2022 yang berada pada kisaran 5,1- 5,3 persen ke 4,8 persen di tahun 2023. Berdasarkan teori ekonomi Okun’s Law, jumlah pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dengan jumlah pengangguran, artinya penurunan jumlah pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan jumlah pengangguran.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,72 persen pada kuartal III tahun 2022 secara year on year dan pertumbuhan tersebut berhasil menyerap tenaga kerja sebesar 4,25 juta orang. Maka bisa dibayangkan penurunan jumlah pertumbuhan ekonomi dari 5,1 persen ke 4,8 persen akan mengakibatkan berapa banyak jumlah pengangguran. Sedangkan, satu kepala keluarga saja yang menganggur sudah cukup untuk membuat kesulitan ekonomi satu keluarga, bagaimana jika ribuan kepala keluarga?
MK telah menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa (Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009), yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, UU belum ada atau ada tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama. Dalam konteks Perppu Cipta Kerja, ancaman ekonomi sebagaimana yang dijelaskan di atas merupakan keadaan yang menuntut diselesaikannya masalah hukum secara cepat. Walau UU Cipta Kerja masih berlaku, namun UU Cipta Kerja masih harus diperbaiki dengan batas waktu tinggal 1 (satu) tahun. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor terkait masa depan keberlakuan ketentuan Cipta Kerja. Pembuatan UU secara prosedur biasa juga akan memerlukan waktu yang lama, padahal ancaman stagflasi sudah di depan mata (di tahun 2023 ini!).
ADVERTISEMENT
Selain persyaratan tersebut, Perppu juga harus mempunyai akibat prompt immediately atau sontak segera untuk memecahkan permasalahan hukum (Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014). Perppu Cipta Kerja akan memberi kepastian hukum kepada para investor dengan menjamin kemudahan berusaha yang diatur dalam UU Cipta Kerja tetap akan berlaku. Investor sudah tidak perlu cemas bahwa pembahasan perubahan UU Cipta Kerja akan melewati jangka waktu 2 (tahun) yang diberikan MK dan kepastian itu diberikan saat ini juga melalui Perppu. Sehingga, investor akan menjadi yakin dalam mengambil keputusan investasi pada tahun 2023 ini yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja Indonesia di tengah ancaman krisis global.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang pembacaan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. (Foto: Humas MK/Bayu)

Metode yang pasti, baku, dan standar

Pertimbangan MK dalam menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil adalah pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar (Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020). Melalui putusannya, MK memerintahkan agar dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat dijadikan pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus. Kemudian, UU Cipta Kerja dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku, dan standar.
ADVERTISEMENT
Untuk menjalankan perintah MK, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang telah mengatur metode omnibus. Namun, pemerintah tidak mengubah UU Cipta Kerja dengan metode omnibus, melainkan dengan Perppu.
Apakah hal tersebut melanggar perintah MK? Tentu saja tidak. UU Cipta Kerja yang dinyatakan cacat formil oleh MK dibentuk dengan menggunakan metode omnibus yang tidak diatur dalam UU P3 sebelumnya. Sedangkan, penyusunan Perppu telah diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 53 UU P3. Sehingga, penetapan Perppu Cipta Kerja telah didasarkan pada metode yang pasti, baku, dan standar.
Suasana sidang paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. (Foto: VOI/Wardhany Tsa Tsia)

Kepastian hukum yang belum pasti

Walau Perppu Cipta Kerja ditetapkan dengan semangat untuk meningkatkan jumlah penyerapan tenaga kerja di tengah ancaman krisis ekonomi global dan dibentuk berdasarkan hukum, tetap akan ada pihak yang menolak Perppu tersebut. Pihak tersebut telah mengajukan permohonan uji materiil ke MK. Sehingga, masih ada kemungkinan Perppu Cipta Kerja dibatalkan oleh MK. Tidak hanya itu, Perppu Cipta Kerja masih harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditetapkan menjadi UU.
ADVERTISEMENT
Oleh karena hal tersebut, kepastian hukum yang ditawarkan oleh Perppu Cipta Kerja masih belum sempurna. Namun, kehadiran Perppu Cipta Kerja saja telah memberi jaminan kepastian hukum bagi investor terkait keberlanjutan ketentuan Cipta Kerja. Dengan manfaat penciptaan lapangan pekerjaan di tengah ancaman krisis ekonomi global 2023, kenapa katakan tidak untuk Perppu Cipta Kerja?