Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perkembangan Sastra Drama Pada Zaman Jepang (1942-1945)
12 September 2022 21:04 WIB
Tulisan dari Windi Agustin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945) merupakan salah satu perkembangan yang besar pada perjalanan kesusastraan di Indonesia dengan melahirkan sebuah karya sastra drama. Drama adalah genre (jenis) karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak. Drama menyajikan realitas kehidupan, karakter, dan perilaku manusia melalui peran dan dialog yang dipentaskan. Cerita dan narasi dramatis mengandung konflik dan emosi yang dirancang khusus untuk pertunjukan teater. Pada tahun 30-an sastra drama banyak ditulis oleh Sanoesi Pane dengan karya nya antara lain Garuda Terbang Sendiri, Senjakala Ning Majapahit, Kertajaya dan Manusia Baru. Masa ini di nilai masa yang sangat bersejarah bagi bangsa indonesia karena dapat digunakan untuk mengenalkan pemakaian bahasa indonesia dengan benar pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Karya sastra pada masa pemerintahan jepang tidak dapat dipisahkan dengan pemerintahan militer jepang karena mempunyai tujuan yaitu berusaha untuk mendorong masyarakat Indonesia untuk turut serta dalam peperangan Amerika dan Inggris pada saat Perang Dunia II. Karya sastra yang ada pada saat itu dijadikan sebagai sarana propaganda yang tepat, terutama sastra drama, sebab masyarakat bisa langsung menerima amanat amanat yang seharusnya dilakukan dalam masa terjadinya perang tersebut.
Para seniman tersebut kemudian dipanggil oleh Kantor Propaganda (Sendenbu) untuk berkarya di bidang seni masing-masing untuk menyemangati masyarakat Indonesia. Sejumlah penulis drama, seperti Usmar Ismail, El Hakim, Armijn Pane, Soetomo Djauhar Arifin, dan Merayu Sukma menyambut dengan semangat program pemerintah tersebut dengan menghasilkan karya-karya drama dan dimainkan oleh grup sandiwara yang juga banyak bermunculan pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Nuansa propaganda sangat kental dalam setiap drama yang ditulis dan diterbitkan pada masa itu, terlihat dari karya Merayu Sukma (1942) yang berjudul “Pandu Pertiwi”. Drama ini bercerita tentang tokoh Dainip Jaya yang melindungi dan membela Pandu Setiawan dan Pertiwi dari ancaman seorang penjahat bernama Nadarlan yang membunuh Priyayivati. Dainip Jaya juga membebaskan Pertiwi dari penjara dan membangkitkan Pandu dari bunuh diri karena putus asa. Dainip Jaya digambarkan sebagai seorang pria yang gigih, berani dan bahagia.
...Dainip Jaya yang berbadan tegap, seperti seorang pendekar yang gagah perkasa rupanya.... (hlm.25)
...sekarang aku dalam perlindungan Dainip Jaya, seorang kesatria yang gagah berani, yang selalu suka menolong segala manusia yang teraniaya.... (hlm.41)
ADVERTISEMENT
Di bagian lain drama ini tergambar pula sejumlah peristiwa sejarah yang berkaitan dengan balatentara Jepang, yaitu
Dainip Jaya: ...catatlah hari Partiwi dilepaskan dari tahanan itu, yaitu hari 8 Desember. Tanggal 8 Desember Partiwi dilepaskan dari penjara, dilepaskan belenggunya yang mencemarkan namanya.
Pandu: Dan dahulu—ketika saya hendak membunuh diri, saudara tolong pun juga pada tanggal 8 Desember. Berarti sejak hari itulah saya terlepas dari berputus asa.... (hlm. 44)
Dalam sejarah, tanggal 8 Desember 1941 adalah saat ketika Jepang menyerang Pearl Harbour. Tanggal menjadi penting dalam drama ini karena selain berhubungan dengan saat tokoh Partiwi dibebaskan dari penjara, juga menandai saat tokoh Pandu menemukan kembali kepercayaan dirinya ketika ia mengurungkan diri untuk mengakhiri hidupnya setelah ditolong oleh Dainip Jaya
ADVERTISEMENT
Masih bekaitan dengan tanggal penting, bagian lain drama ini juga menyebut-nyebut tanggal 9 Maret 1942 sebagai hari pembebasan dari belenggu pemerintah Hindia Belanda, seperti pada kutipan berikut:
Dainip Jaya: Memang hari itu penting dalam riwayat hidupnya, karena engkau dilepaskan dari belenggu dan dikeluarkan dari tahanan karena terdakwa membunuh Priyayiwati, pun juga berbetulan pada tanggal 8 Desember. Lain dari itu, telah dicatatnya pula hari tertawannya penjahat Nadarlan, yang sangat buas dan kejam itu, musuh kita yang telah membunuh Priyayiwati. Dan pada hari itu hampir pula Pandu melayang jiwanya oleh penjahat yang ganas itu.
Partiwi: Dan tentu tuan pula yang melepaskannya dari bahaya maut itu, bukan? Jadi, tanggal 9 Maret itu penting pula diperingati (hlm. 49).
ADVERTISEMENT
Partiwi: ...Nadarlan yang merusak keamanan dunia itu. Jadi pada hari tertangkapnya penjahat besar itu yaitu hari tanggal 9 Maret, bukan saja penting diperingati oleh Pandu sendiri, tetapi penting juga menjadi peringatan oleh dunia seumumnya. Karena sejak hari itulah dunia orang baik-baik mulai terlepas dari gangguan seorang penjahat besar, yang sekian lama merajalela, merampok dan merampas hak milik orang, menyamun dan membunuh dengan kejam (hlm. 50).
Karya drama lainnya yang memuat propaganda adalah “Kami Perempuan” karya Armijn Pane (1943). Dalam drama ini diceritakan bagaimana para perempuan mendukung dan menyemangati para pemuda untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta).
Di sisi lain, karya sastra muncul pada masa Pendudukan Jepang tidak hanya mencakup publisitas. tetapi juga mengandung kritik masyarakat lebih tinggi dari kehidupan nyata, sehingga hal tersebut digunakan oleh bangsa indonesia untuk menentang pemerintahan. Grup sketsa atau grup drama penggemar Maya juga mengungkapkan cita-cita kemerdekaan yang sedikit menyimpang dari slogan propaganda pemerintah Jepang. Kelompok kecil ini bertindak secara rahasia dengan berisi drama yang memuat tujuan kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
sehingga kesimpulannya adalah Karya-karya sastra drama yang ditulis pada masa Jepang itu, dari sudut pandang para kritikus sastra merupakan sebuah fenomena yang berkorelasi secara signifikan dengan konsep ‘seni untuk masyarakat’ secara nyata.