Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cinta Profesi Tapi Bikin Dompet Meringis
29 Oktober 2024 12:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari wiseto j tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Guru itu profesi mulia, siapa yang bisa bantah? Mereka rela dan ikhlas mendidik anak-anak bangsa, berjuang agar murid-murid tak hanya sekadar lulus, tapi juga cerdas dan bermanfaat. Tapi di balik senyum saat mengajar, banyak guru honorer yang harus menghadapi realita soal gaji.
ADVERTISEMENT
Kasus gaji guru honorer ini ibarat sinetron panjang yang tak kunjung selesai. Setiap dibahas, selalu muncul cerita soal perjuangan mereka mencari penghasilan tambahan. Ada yang jadi ojek online, ada yang buka les privat, bahkan ada juga yang terpaksa jadi pemulung usai mengajar. Ironis, bukan? Di negara yang katanya menjunjung pahlawan tanpa tanda jasa, para guru malah harus banting tulang demi sesuap nasi.
Dalam situasi ini, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan. Apakah pemerintah kurang maksimal dalam mengalokasikan anggaran pendidikan? Ataukah ada masalah birokrasi yang membuat kesejahteraan guru honorer diabaikan? Kalau begini terus, nasib guru honorer jadi seperti digantung tanpa kepastian.
Yang jelas, masa depan bangsa seharusnya tidak ikut digantung seperti nasib guru honorer. Pemerintah perlu sadar, masa depan negara dimulai dengan menyejahterakan para guru. Kita butuh generasi yang cerdas dan bermartabat. Tapi bagaimana bisa mengharapkan itu jika kesejahteraan guru pun diabaikan?
ADVERTISEMENT
Survei dari Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa menunjukkan, 74% guru honorer di Indonesia menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan, dan 20,5% di antaranya hanya berpenghasilan di bawah Rp500 ribu. Nominal segitu? Untuk beli paket internet saja ngos-ngosan, apalagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sedih rasanya melihat kesejahteraan guru honorer yang terabaikan. Di sisi lain, pemerintah seolah tak kapok menghabiskan anggaran untuk hal-hal yang sering kali dianggap tidak penting. Proyek-proyek yang kadang tidak jelas tujuannya atau anggaran perjalanan dinas yang entah perlu atau tidak.
Balik lagi ke soal gaji guru honorer, pernah membayangkan kalau mereka jadi tulang punggung keluarga? Selain memikirkan kebutuhan makan dan listrik, mereka juga punya tanggungan biaya sekolah anak, beli kebutuhan harian, dan lainnya. Kalau cuma mengandalkan gaji guru, jelas tak cukup; terpaksa mereka mencari penghasilan tambahan.
ADVERTISEMENT
Tak bisa terus-menerus kita buta dan tuli terhadap situasi ini. Saat kita menyuarakan hak-hak, apakah mereka benar-benar mendengarkan? Jika iya, kenapa masalah seperti ini tak kunjung selesai? Kekecewaan masyarakat pun semakin nyata.
Layak kalau kita bertanya, apa sebenarnya prioritas pemerintah? Kebijakan yang dikeluarkan lebih banyak untuk proyek-proyek besar daripada memperbaiki kondisi rakyat. Pembangunan yang belum tentu penting, anggaran besar-besaran, sementara gaji guru masih seret.
Padahal kita sering dengar, pendidikan adalah kunci utama memajukan bangsa. Namun, kunci ini rasanya sulit diputar jika fondasinya, yaitu kesejahteraan guru, terus diabaikan. Pendidikan berkualitas bukan hanya soal kurikulum atau gedung sekolah megah. Lebih dari itu, pendidikan butuh guru yang sejahtera, yang bisa mengajar sepenuh hati tanpa dihantui masalah kebutuhan harian.
ADVERTISEMENT
Cinta profesi sih iya, tapi kalau dompet terus-terusan tipis, siapa yang tahan? Menjadi guru honorer adalah panggilan hati, tapi apakah cukup dengan cinta saja? Pada akhirnya, cinta juga butuh nasi, kopi, dan tagihan listrik yang harus dibayar. Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab jika dompet guru honorer terus-terusan kosong?