Konten dari Pengguna

Jalan-jalan ke Xinjiang dan Pengumuman ke Seantero Kampung

17 Januari 2019 17:40 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Jalan-jalan ke Xinjiang dan Pengumuman ke Seantero Kampung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Menjelajah daerah Otonom Xinjiang, China, menjadi satu dari sekian pengalaman berhargaku selama dua tahun lebih bekerja di kumparan.
ADVERTISEMENT
Saat itu Mei 2017, momen pertama kali aku mengunjungi negeri orang. Tak main-main, aku ditugaskan untuk meliput ke negeri yang cukup jauh dan menantang, Xinjiang.
Sebelum berangkat, seisi kantor yang belum terlalu ramai heboh. Pangkal masalahnya adalah mereka sangat tahu bahwa kemampuan bahasa Inggrisku buruk. Jadi, ya wajar saja. Hehe.
Saat aku sampai di rumah aku langsung menceritakan hal itu ke ibuku. Ya pasti dia sangat senang, waktu itu ibuku belum sakit jantung seperti sekarang.
Uniknya lagi, saking bangganya dia bercerita ke tetangga-tetanggaku di rumah, termasuk salah satunya ke guru ngaji yang juga sesepuh Gang Kana, Ustaz Najmudin. Entah dari mana asal idenya, Pak Ustaz-begitu kami menyapanya--ia kemudian mengumumkan lewat speaker masjid bahwa aku akan pergi ke Xinjiang.
ADVERTISEMENT
"Pengumuman, mari kita doakan anak dari Bude Tini yang besok akan pergi ke China. Semoga selamat sampai tujuan," begitu kekira ucapannya.
Ya kupikir yasudah, aku aminkan saja.
Di hari H, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Jadwal penerbanganku pukul 09,00 WIB tetapi aku sudah berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 05.15 WIB. Menghindari macet dan kejadian yang di luar prediksi lainnya.
Alhasil, aku tiba terlalu dini di bandara. Dua jam lebih aku menunggu sambil membaca buku Tan Malaka yang memang sengaja kubawa untuk membunuh waktu.
Waktu boarding pun tiba. Aku terbang menuju ke Xinjiang dengan penuh semangat.
Perjalananku ke sana membutuhkan waktu 12 jam di udara, empat jam transit di Guangzhou. Maklum, Xinjiang letaknya sudah dekat Rusia.
ADVERTISEMENT
Di Xinjiang, aku mendapatkan banyak pelajaran. Dari mulai berinteraksi dan bertukar informasi dengan wartawan seluruh dunia hingga mengenal kultur Uighur di Xinjiang lebih dalam.
Waktu itu, isu soal penyiksaan Uighur memang sedang hangat-hangatnya. Tiga hari sebelum aku ke sana ada berita soal pembunuhan yang dilakukan oknum anggota separatis Uighur yang sudah begitu kesal dengan pemerintah.
Sempat khawatir, tapi nyatanya semua baik-baik saja. Panitia mengatur acara sedemikian rupa, kami tidak boleh jalan-jalan sendirian ke luar hotel tanpa didampingi mereka.
Aku pun maklum. Pasti mereka tak ingin repot apabila sesuatu yang tidak inginkan menimpa tamu-tamunya.
Pernah aku dimarahi karena mencoba jalan sendiri ke masjid untuk salat Jumat. Mereka mengatakan, seharusnya saya izin dulu kalau memang ingin salat di masjid sana.
ADVERTISEMENT
Ya wajar saja menurutku, tapi dalam hatiku berkata: "Gue bersyukur lahir dan besar di Jakarta, Indonesia, yang begitu nyaman".
10 hari di sana aku tak makan nasi, setiap hari disuguhkan mie dan daging-dagingan (halal) yang tak kusuka. Superbubur dan Sari Roti menyelamatkanku selama di sana.
Secara keseluruhan, bagiku Xinjiang menyenangkan dengan warna-warninya. Dan 10 hari di negeri orang juga mengajarkanku arti rindu itu apa.