Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Melek dan Jendela
17 Juli 2018 21:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Wisnu Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gue kayaknya udah terlatih dibully.
Kayak judul lagu yak? Haha.
Tapi emang begitu, dari kecil, gue adalah orang yang paling sering dibully di lingkungan luar.
Di lingkungan sekolah, di lingkungan tetangga dan pertemanan sehari.
Gue juga punya banyak julukan dari kecil. Dari mulai yang alus sampai yang kasar dan menohok hati. Ya intinya sama, julukan itu ya bullyan.
Julukan yang pertama kali gue dapat adalah 'Melek'.
Apa yang salah dengan Melek?
Jadi begini, gue dianugerahi Tuhan dengan mata yang alhamdulillah minus sejak kecil, bahkan kecil banget.
Waktu umur 7 tahun gue udah minus 3 atau 4. Nah, kalau main gundu, gue suka kelimpungan sendiri pas nyari gacoan gue.
Apalagi kalau gue pake gacoannya gundu cibom (julukan jaman dulu) yang warnanya kopi susu alias mirip sama tanah.
Jangankan menang, nyentil kena segitiga yang banyak gundunya aja kayanya enggak pernah. Hehe.
Julukan Melek ini melekat, seenggaknya sampai SD. Di sekolah juga gitu, gue adalah orang yang males pakai kacamata meski udah tahu mata gue minus.
Kenapa?
Karena kacamata yang pertama kali gue beli adalah ada rantenya dan kacanya tebel banget. Gue merasa malu dan trauma pakai kacamata.
Mirip Edgar Davids haha. (kata temen gue).
Selepas SD gue pindah rumah, meski tetep di Gang Kana. Oh iya, intermezzo, selama 24 tahun gue hidup, gue hampir 15 kali pindah rumah.Tapi, masih di sekitar Gang Kana (story soal kontraktor ini menyusul gue tulis)
Balik lagi soal bullyan dan julukan.
Waktu SMP gue udah nggak dipanggil Melek lagi. Setidaknya begitu, di lingkungan sekolah gue.
Nah, tapi ada julukan baru lagi.
Dulu, gue sekolah SMP di Muhammadiyah yang kebanyakan siswanya orang kaya.
Sementara gue, anak sederhana, yang bisa sekolah di situ karena almarhum bapak gue kerja di sana sebagai satpam.
Otomatis, biaya sekolah gue gratis.
Nah, singkatnya begini, SMP adalah dimensi waktu yang sama sekali nggak membekas dalam hidup gue. Nggak punya teman dekat, sekalinya punya ya dia akhirnya ngehina bapak gue dan akhirnya gue tampol dia sampai akhirnya kita musuhan.
Dulu gue nggak dapat julukan gimana gimana. Ya sesekali, gue denger temen gue lagi ngomongin gue dan cengin gue dengan sebutan 'Jendela'.
Alasannya? Ternyata, karena gigi depan gue yang satu maju jadi susah mingkem pas lagi merhatiin pelajaran.
Haha. Ya begitu.Â
Oh iya mumpung inget, gue sempet punya temen, sebut aja namanya A. Gue deket sama dia, sering makan bareng, bahkan pernah maen di rumahnya yang super megah.
Tapi pada suatu ketika, kelas 2 SMP, baru ketauan. Dia suka sok sokan nyemek gue. Karena gue diem aja, dia kayaknya nyaman. Dan gue dulu kurus, jadi dianggap gue nggak bisa ngelawan.
Gue diem aja, selama gue masih bisa nahan gue nggak akan marah.
Tapi satu hari, dia jelek jelekkin bapak gue. Gue marah, gue tarik kerah bajunya, gue tonjok hidungnya keras keras. Alhasil hidungnya berdarah dan patah.
Kayaknya baru itu gue marah, selama 14 tahun hidup.Â
Tapi gue nyesel, gue ke kamar mandi sebentar buat nenangin diri terus balik lagi nyamperin dia dan minta maaf.
Case closed.
Cerita SMA lebih berwarna lagi. Banyak yang menarik dan membekas. Tapi bully dan segala macamnya tetep gue terima.
Di kelas 1, gue berteman dengan orang yang salah. Mereka sering ngatain gue, nyuruh nyuruh gue dan sebagainya. Lagi-lagi gue masih sangat lugu dan mau aja.Â
Sampai gue juga pernah dipukulin karena gue nggak mau beliin salah satu dari mereka rokok.
Gue nggak ngelawan sama sekali. Dan gue nggak lapor guru. Gue anggap itu ya kenakalan biasa. Haha.
Tapi di SMA kelas dua, gue akhirnya punya sahabat yang awet sampai sekarang.
Ada teman segeng, Wahana. Dan ada kawan kawan Rohis.
Gue juga tetep sesekali jadi bahan cengan. Tapi mereka, gue yakin, nggak punya maksud merendahkan.
Selain itu gue juga udah kebal. Haha...
Nah, dari periode sekolah ini gue akhirnya tumbuh sebagai orang yang kebal bullyan.
Sekarang, gue tumbuh jadi manusia yang lebih mengerti apa itu bersyukur dan kerja keras.
Bukan untuk membuktikan ke siapa siapa. Cuma mau melampiaskan aja. Dan pelampiasan itu gue rasa berbuah manis. Hehe.Â
Apa buktinya? Seenggaknya saat ini, dua tahun terakhir, gue hidup sendiri, tak bergantung dan selalu berusaha membahagiakan orang orang di sekeliling gue.
Terima kasih sudah membully gaes.Â
Tapi kalau boleh jujur di bagian akhir ini, dicengin itu rasanya sakit lho :)
ADVERTISEMENT
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini