Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kapal Rohingya Terus Masuk, Indonesia Harus Ambil Sikap
16 Januari 2023 12:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Pricilia Worotikan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015 kapal penumpang Rohingya sempat memasuki perairan Aceh. Alasan utamanya adalah pengungsi muslim. Akan tetapi, intensif masuknya kembali kapal tersebut pada Januari 2023 belum jelas.
Datangnya kapal-kapal Rohingya kemungkinan memiliki sangkut paut dengan konflik sektarian yang masih berlangsung di Myanmar. Konflik tersebut melibatkan dua pihak utama, yaitu warga minoritas agama muslim Rohingya dan mayoritas agama Buddha di negara bagian Rakhine di Myanmar.
Konflik Rohingya ini belum memiliki titik penyelesaian yang pasti. Jumlah warga Buddha yang mendominasi di wilayah bagian Myanmar dapat memungkinkan menjadi penyebab warga muslim minoritas melakukan pengungsian ke negara-negara tetangga. Indonesia pun memiliki potensi besar menjadi tujuan warga tersebut.
Indonesia merupakan negara dengan agama Islam yang kuat. Ditinjau dari fakta tersebut, warga-warga yang terlibat konflik minoritas muslim di Myanmar ini dapat kemudian mempertimbangkan daerah dengan agama Islam yang mendominasi. Aceh kemudian menjadi destinasi utama mereka.
ADVERTISEMENT
Sebab, Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mayoritas penduduk di wilayahnya memeluk agama Islam.
Jika melihat situasi di Myanmar, kaum yang tergolong etnis Rohingya sering mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari Bangladesh, terutama di kawasan perbatasan ke Myanmar.
Mereka masih dianggap sebagai pengungsi ilegal sehingga selalu dihadapkan pada kontrol yang ketat, seperti hambatan pada akses pasar kerja dan sebagainya.
Kondisi ini menjadikan ribuan etnis Rohingya menjadi kelompok “manusia perahu” yang mencari kehidupan lebih baik dan demi masa depan generasi mereka di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Di Indonesia, kehadiran etnis Rohingya memunculkan pertanyaan besar terkait tujuan dari pengungsian mereka ke Aceh, Indonesia. Lalu bagaimana Indonesia, khususnya pemerintah Aceh menghidupi mereka?
ADVERTISEMENT
Fakta ini membuat situasi menjadi dilematis karena dihadapkan pada dua pilihan yang sangat krusial. Di satu sisi, ada kemanusiaan yang dipertaruhkan.
Di sisi lain, terdapat permasalahan pembiayaan, kecemburuan sosial, dan penolakan masyarakat yang akan menjadi batu sandungan dan hambatan yang besar.
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sebagai respons, telah mengirim sinyal kepada negara tetangga agar memberlakukan aturan yang lebih toleransi untuk menerima mereka dengan mempertimbangkan asas kemanusiaan.
Hal ini dapat menjadi suatu pertanyaan masalah baru, yakni bagaimana menampung sejumlah masyarakat etnis Rohingya. Terlebih lagi, hal ini dapat memburuk jika pengungsi memutuskan untuk menjadikan Aceh sebagai “rumah baru” mereka.
Pemberlakuan peraturan yang sifatnya lunak ini dapat membuat gelombang etnis Rohingya terus meningkat setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana dengan penerimaan dan penolakan masyarakat lokal terhadap para pengungsi? Terlihat jelas bahwa pertentangan terhadap situasi ini pasti terjadi.
Pada awal Desember 2022, sekelompok masyarakat di Aceh menggelar aksi unjuk rasa di halaman bekas Kantor Imigrasi Punteut, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Mereka menyatakan sikap untuk menolak pengungsi Rohingya.
Salah satu tuntutan yang dilayangkan kepada pemerintah adalah para imigran Rohingnya harus segera diangkut dari Aceh dalam kurun waktu 4x24 jam. Alasan di balik unjuk rasa ini adalah mereka menilai bahwa para pengungsi tidak mau diatur.
Pemerintah setempat tidak mengambil sikap karena para pengungsi dikelola oleh UNHCR, perwakilan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi.
Mereka menyayangkan sikap masyarakat Aceh karena menurut mereka, budaya orang Indonesia menghormati tamu semestinya diterapkan kepada etnis Rohingya sebagai bagian dari rasa empati dan sikap kemanusiaan yang baik.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari fakta ini, kegelisahan dan kecemasan sebenarnya sedang timbul di sebagian lingkungan masyarakat. Fenomena di atas secara tidak langsung mempertanyakan sikap yang lebih jelas dan tegas dari pemegang kebijakan di Indonesia. Hal ini merupakan contoh nyata dari isu keamanan non-tradisional yang membutuhkan solusi nyata dan bijak dari pemerintah.
Pada kondisi ini, Indonesia mestinya mengambil sikap yang jelas karena dampaknya akan meluas. Gerakan demonstrasi dengan gelombang masa yang meningkat kemungkinan akan muncul dan memicu persoalan baru di Aceh. Selain itu, kecemburuan sosial berpotensi muncul di masyarakat akibat perhatian yang cukup besar terhadap pengungsi.
Terkait situasi ini, sebenarnya masyarakat dapat mengacu pada Peraturan Presiden RI Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Di dalamnya, dituangkan dengan jelas bagaimana mengurus pengungsi, siapa yang mendanai, hingga proses pemulangan secara sukarela.
ADVERTISEMENT
Tentu, diharapkan ada satu sikap yang jelas yang didasarkan pada koridor hukum yang berlaku di Indonesia. Skenario utama yang perlu dicegah adalah para pengungsi diterima begitu saja karena mendapat mandat dari ASEAN namun tidak ditangani dengan bijak di Aceh sehingga mereka menjadi biang masalah di tengah masyarakat.
Atau sebaliknya, mereka diistimewakan di tengah masyarakat yang juga mengalami kesusahan yang dapat berpotensi memunculkan protes yang lebih marak terhadap Pemerintah.
Pada akhirnya, masyarakat butuh kepastian dalam penanganan lebih lanjut etnis Rohingya di Aceh. Tugas dan tanggung jawab penuh dipercayai kepada pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengurusi persoalan ini, namun tetap dalam pengawasan masyarakat.