Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Urung
5 Oktober 2022 21:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Wuryanti Sri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sayup-sayup terdengar azan subuh ketika kubuka mataku yang masih bengkak karena tangis. Badan terasa sakit semua meski hanya bergerak beberapa inci saja. Kaki kananku bahkan tak mampu aku tekuk dan masih bengkak di bagian sendi lutut. Bahu kanan juga memar membiru, ingin ganti baju terasa kaku dan kepalaku masih terasa pusing berputar-putar.
ADVERTISEMENT
Bude, kakak perempuan mendiang bapak, sudah duduk di samping dipan tempat tidurku saat aku bangun. Dia membantuku untuk bangkit walau dengan susah payah lantaran tubuh bude berperawakan mungil dibanding aku yang sedikit lebih besar darinya.
Sakit dan nyeri masih kurasakan di hampir seluruh tubuhku. Ada beberapa jahitan ringan yang baru kurasakan efeknya. Di kening, betis dan siku. Untuk berjalan sendiri aku belum mampu jika tanpa alat bantu. Untung rumah bude dekat dan hanya bude yang menemaniku sebagai pengganti orang tuaku yang telah pergi dua tahun lalu.
Mungkin karena luka-lukaku tak terlalu parah, aku diperbolehkan pulang setelah mendapat penanganan dari RS. Hanya dalam hitungan menit aku sempat terlelap oleh pengaruh obat sehingga aku bisa sedikit melupakan rasa pening yang masih bersemayam di kepalaku.
ADVERTISEMENT
"Pakde dan bude akan menemanimu, jangan kuatir," kata bude seraya menuntunku ke kamar kecil.
Aku tak menjawab selain diam menunduk tak mampu menahan air mataku yang kembali menganaksungai. Dadaku perih tak terkira, hati seakan teriris-iris.
*
Sabtu malam yang cerah aku dan Mas Adam, tunanganku, mengisinya dengan nonton konser musik sebuah grup band ternama dari Yogya. Kebetulan kami berdua ngefans berat grup band tersebut. Setelah beberapa tahun tidak ada acara-acara semacam itu, konser musik kali ini sudah pasti banyak yang menanti.
Bak musafir kehausan di padang pasir, dengan nonton konser ini cukup membuat para penggemar seakan mendapat penawar dari rasa haus yang dirasa. Begitu pun kami berdua. Jauh-jauh hari sudah kami rencanakan untuk hadir sambil membayangkan alangkah ramainya para penonton yang kebanyakan kawula muda.
ADVERTISEMENT
Seperti kebanyakan konser-konser musik di beberapa daerah, kali ini penonton benar-benar tumpah ruah. Para penonton seolah larut dalam setiap lagu yang dibawakan vokalisnya. Hampir semua lagu yang dinyanyikan tak asing di telinga mengajak semua yang hadir ikut menyanyi.
"Kita pulang sekarang saja, yuk!" Ajak Mas Adam sembari menarik tanganku mengajak keluar dari area konser.
Konser yang direncanakan berlangsung empat jam, baru dua jam Mas Adam sudah mengajakku pulang.
"Aku ingin, kita pulang tak terlalu larut dan di perjalanan tentu masih aman tak akan seramai nanti kalau konser berakhir," alasan Mas Adam sebelum aku sempat bertanya mengapa buru-buru pulang.
Itu yang kusuka dari Mas Adam, selalu memikirkan orang lain. Dia sangat menyayangiku. Semenjak berpulangnya ibu bapak saat pandemi, keluarganya berharap kami secepatnya melangsungkan pernikahan. Mengingat aku tinggal sendirian di rumah dan Mas Adam kebetulan sudah bekerja.
ADVERTISEMENT
Usai bertunangan, aku masih tetap pada aktivitasku yaitu mengajar di sebuah SMP swasta tak jauh dari rumah. Mas Adam mengajar di SMA yang kira-kira satu jam perjalanan naik motor. Lumayan jauh.
Malam belum larut dan di sepanjang perjalanan pulang dari nonton konser Mas Adam memacu motornya sedang-sedang saja bahkan cenderung lambat. Meski kami sudah memakai jaket tebal, angin malam itu terasa dingin menggigit.
Motor masih melaju pelan. Mas Adam tangannya meraih tanganku agar aku mau memeluknya dari belakang lebih erat lagi. Malam itu merupakan malam terindah bagi kami yang dalam hitungan pekan akan resmi menjadi sepasang suami-istri.
Tak banyak kendaraan di jalan malam itu. Mungkin sebagian besar masih menikmati konser. Di tengah kemesraan kami berdua dalam perjalanan pulang, sekonyong-konyong beberapa motor saling berkejaran berlawanan arah dengan kami. Tampak jelas mereka mengendarainya dengan zigzag sambil ugal-ugalan.
ADVERTISEMENT
Mas Adam dan aku sempat terkejut dan dalam beberapa detik kemudian kami berdua sudah terpental ke tepi jalan. Serasa dibanting lalu pet gelap.
*
"Alifah, kamu harus sabar, Nduk. Bude dan Pakde tak akan tinggal diam. Biarlah nanti Pakde yang bicara baik-baik dengan keluarga Mas Adam," kata bude seraya membantuku untuk berganti baju. Aku, pakde dan bude siap-siap ke rumah Mas Adam.
Kata-kata bude yang lembut tak hanya membuatku terhibur, tapi juga kembali menguras air mata. Sekuat tenaga aku tahan agar tangisku tak pecah. Namun kali ini aku benar-benar tak mampu sehingga kedua pipiku selalu basah karenanya.
"Kuatkan hatimu, Cah Ayu. Bude percaya kamu bisa. Semua sudah tertulis dan kamu layak lulus dalam ujian ini." Bude kembali memberi semangat dan aku sepatah pun tak mampu mengeluarkan suara.
ADVERTISEMENT
Sembari tertatih-tatih, sampailah aku di rumah Mas Adam bersama pakde dan bude. Para pelayat sudah memenuhi rumah tersebut bahkan meluber hingga ke jalan. Dalam hati aku memohon untuk dikuatkan dan tidak pingsan agar aku bisa menatap wajah Mas Adam yang terakhir kali.
Bersama bude aku mendekat ke peti jenasah Mas Adam. Sambil gemetaran aku tatap wajah teduhnya yang masih terlihat memar. Dia tersenyum seperti senyumnya ketika merayuku agar mau pergi diajak nonton konser. Senyum yang tak akan kumiliki lagi karena sekelompok manusia dengan brutal telah merampasnya dariku.
Para pengendara motor yang mabok dan ugal-ugalan tak beradab malam itu telah memisahkan tali pertunangan kami. Para begundal yang muncul tiba-tiba, membuat kami panik dan Mas Adam tancap gas ingin menghindar justru bertabrakan dengan mereka. Luka-lukaku tidak separah Mas Adam dan dia akhirnya tak tertolong karena kepalanya terbentur pinggir trotoar.
ADVERTISEMENT
Pesta pernikahan yang akan dihelat bulan depan sudah pasti urung terjadi dan tinggal mimpi. Indahnya pelaminan dan sakralnya ijab kabul hanya ilusi. Duka yang amat dalam di hatiku memang tak cukup bila hanya ditangisi setiap hari.