Konten dari Pengguna

Transisi Suriah: Ancaman dan Harapan

Cahaya Mulyani Sakti
A student in Middle Eastern and Islamic Studies, focus on Politics and International Relations, School of Strategic and Global Studies, Universitas Indonesia. Writes on Islam, Middle East, women's mental health, nature, and literature.
20 Desember 2024 23:39 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cahaya Mulyani Sakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandangan Ahli Geopolitik dan Pejuang di Latakia
Syam, sebuah lokasi fundamental bagi tiga agama samawi; Islam, Nasrani, dan Yahudi. Segenggam tanah surga yang terletak di kawasan Palestina, Yordania, Suriah, Lebanon dan sebagian kecil Mesir ini masih riuh di bawah langit-Nya. Sebagaimana Palestina adalah mahkota suci, maka siapapun yang berada di sekelilingnya harus memiliki benteng-benteng pertahanan terbaik, di sini lah peran Suriah dapat disaksikan.
ADVERTISEMENT
Tanggal 8 Desember 2024 telah menoreh sejarah baru bagi dinamika yang terjadi di Suriah dan kawasan Timur Tengah. Setelah beberapa dekade dalam genggaman kekuasaan keluarga Bashar Al-Assad yang duduk di kursi tertinggi dengan mengorbankan banyak nyawa, akhirnya kepemimpinan tirani itu runtuh di tahun ke-53. Masyarakat berbondong turun ke jalan sebagai bentuk kebahagiaan dan rasa syukur, mengingat bagaimana perjalanan panjang perjuangan rakyat dalam menghadapi kebrutalan rezim dan kompleksitas aktivitas militer di negeri Gerbang Sejarah ini.
Runtuhnya malapetaka Suriah menjadi angin segar bagi perjuangan Palestina dalam penjajahan Zionis, media sosial begitu ramai membuat konten berisi doa, seperti:
ADVERTISEMENT
Optimisme ini kian meruak, bukan hanya Muslim, sebagai penduduk asli Suriah, masyarakat Kristiani ikut meneriakkan “Suriah milik kita!” dalam parade panjang menyusuri jalan-jalan di sekitar Aleppo yang baru saja diambil alih.
Kebebasan Suriah dari kekangan pemerintah otoriter ini dinilai proses yang cepat dan di luar ekspektasi masyarakat regional maupun internasional. Bagaimana tidak, dalam kondisi genting masyarakat Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan kamp pengungsian yang terus dibombardir oleh Zionis, di Timur kawasan tersebut, masyarakat Suriah ternyata tak kalah fokus dan menghadirkan semangat perjuangan melepaskan diri dari belenggu Al-Assad.
Prof. Yon Machmudi Ph.D, pakar sejarah dan geopolitik kawasan Timur Tengah, dalam webinar Akhir 50 Tahun Rezim Otoriter Assad, Ada Apa di Suriah? yang diadakan oleh InMind Institute menyampaikan, terlepas dari daya serang pihak oposisi, momentum yang tepat membuat Suriah lebih mudah dikembalikan kepada rakyat. Fokus Rusia terhadap Ukraina sementara Hizbullah yang gencar menghadapi Zionis menjadi salah satu faktor Al-Assad kehilangan pertahanannya. Setelah oposisi merebut kembali Aleppo, Hama, dan Damaskus, kabar Al-Assad melarikan diri ke Moscow merupakan bukti betapa lemahnya kepemimpinan rezim saat operasi oposisi terjadi.
ADVERTISEMENT
Lengsernya kepemimpinan otoriter ini tidak serta merta membuat Suriah aman, sebab kekosongan kepemimpinan Suriah sementara ini akan mudah hancur apabila diintervensi oleh negara asing. Tak hanya itu, Amerika Serikat juga akan memastikan bahwa pemimpin yang menahkodai Suriah adalah AS-Friendly seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain, dan Maroko, yang tidak mengancam kepentingannya di kawasan Timur Tengah, termasuk mengganggu aliansi mereka, yaitu Zionis Israel.
Sebelumnya, Suriah tampak tidak membalas serangan-serangan yang dilakukan oleh Israel, maka momen transisi ini menjadi lebih menegangkan sebab menimbang bagaimana Suriah akan dipimpin oleh penguasa baru. Mengingat kemerdekaan Suriah menjadi simbol semangat perjuangan bagi kebebasan Palestina, Israel tentu tidak tinggal diam, justru pada hari Al-Assad di jatuhkan, Zionis telah meledakkan pusat-pusat militer dan melewati zona di Selatan Suriah. Hal ini lah yang menjadi kekhawatiran bagi pengamat politik dan hubungan internasional. Sementara itu, Amerika Serikat dan Israel menyatakan bahwa serangan yang dilepaskan ke Suriah adalah rangka penyisiran ISIS, tentu saja wacana ini digaungkan pada publik agar dapat melegalkan aksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kondisi kurang stabil Suriah ini menjadi batu loncatan yang memberi peluang Zionis memperluas militernya. Dataran Tinggi Golan dan Galilea merupakan kawasan penting bagi pertahanan militer yang secara historis berada dalam kendali Suriah, sekaligus vital bagi keamanan nasionalnya. Kawasan ini menjadi ramai saat Al-Assad tumbang.
Hilangnya Dataran Tinggi Golan dalam Perang Enam Hari 1967 menjadi pengalaman pahit bagi Suriah, dataran tersebut menjadi simbol integritas dan kedaulatan teritorial Suriah, sehingga pengembaliannya menjadi tujuan utama dalam setiap rekonsiliasi berupa negosiasi atau perjanjian damai dengan Zionis Israel. Setelah merebut Dataran Tinggi Golan pada tahun 1967, Israel menganggapnya sebagai zona penyangga penting yang memberikan perlindungan dari potensi ancaman militer dari Suriah. Ketinggian wilayah tersebut membuat pasukan musuh sulit mendekati perbatasan utara Israel tanpa terdeteksi. Selain vital, dataran ini juga menjadi sumber daya air yang signifikan bagi Suriah, khususnya hulu Sungai Yordan dan Laut Galilea. Pengendalian sumber daya tersebut telah membuat wilayah ini semakin bernilai secara geopolitik (Instagram Islamchanel).
ADVERTISEMENT
Eksploitasi Zionis saat runtuhnya rezim Al-Assad dengan memperluas pendudukan ilegalnya di Dataran Tinggi Golan dinilai para ahli sebagai pelanggaran perjanjian internasional. Sejak 9 Desember, Zionis Israel telah melancarkan invasi darat di wilayah Gunung Hermon dan mengirim lebih banyak pasukan ke zona penyangga Dataran Tinggi Golan, sembari melancarkan lebih dari 100 serangan udara terhadap pangkalan militer dan gudang senjata di Suriah. Di sisi lain, pasukan etnis Suriah yang bekerja sama dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dilaporkan berhasil merebut ladang minyak terbesar kedua Suriah di al-Tanak, yang memproduksi 40 ribu barel/hari, serta ladang gas yang memproduksi 5 ribu barel/hari di Al-Taym, tenggara gurun Deir Ezzor (Middle East Eye).
Selaras dengan pandangan Prof. Yon, apabila Suriah ingin berkembang dan kembali dari keterpurukan, negara ini harus mampu mengembalikan ekonomi mereka melihat hampir 80% masyarakatnya hidup di bawah angka kemiskinan. Tak hanya ekonomi, Suriah juga harus mampu mempertahankan diri di bagian militer agar memiliki keamanan yang kuat. Perdana Menteri sementara Mohammad al-Bashir dalam Midde East Eye menyatakan bahwa berjanji untuk mengamankan hak-hak semua sekte di Suriah dan menekan tujuan pemerintah untuk membangun kembali keamanan kota dan memfasilitasi kembalinya jutaan pengungsi. Selanjutnya, individu yang terlibat dalam kejahatan perang di bawah pemerintahan Bashar al-Assad akan dituntut sesuai hukum Suriah.
ADVERTISEMENT
Banyaknya opini masyarakat seluruh dunia mengenai memanasnya serangan Zionis ke daerah Suriah ditanggapi oleh pemimpin oposisi HTS, Abu Muhammad Al-Julani, dalam Alarabiya News. Ia menyatakan bahwa Suriah tidak akan menghadapi perang lain, sebab terlalu lelah bertahun-tahun dalam konflik. Sedangkan dalam Middle Eeast Opinion, David Hearst menuliskan opini yang memantik para pengguna sosial media, apakah Arab Spring kembali setelah kematiannya?
Mousab Akja (23), pemuda asal Latakia, Suriah, dalam wawancara melalui platform sosial media Instagram menjawab beberapa pertanyaan mengenai dinamika di Suriah. Dalam transisi yang terjadi di Suriah, Mousab percaya bahwa kemenangan yang direbut oleh kelompok oposisi merupakan kemenangan hakiki dan bukti konsistensi perjuangan rakyat. Ia juga membenarkan bahwa optimisme kebebasan Palestina juga menjadi hal yang diharapkan warga Suriah.
ADVERTISEMENT
Mengenai serangan yang dilakukan oleh Israel di Dataran Tinggi Golan, ia berpendapat bahwa kemungkinan besar hal ini terjadi disebabkan Al-Assad yang sempat menjual beberapa tanah Suriah ke tangan Zionis. Menjawab kekhawatiran kursi kekuasaan Suriah, Mousab menyatakan untuk saat ini kepemimpinan Suriah tidak sepenuhnya kosong, Suriah sementara dipimpin oleh Muhammad al-Bashir hingga 1 Maret, lalu akan diadakan pemilihan umum.
Mousab (23), salah satu pemuda pejuang Suriah yang merayakan kebebasan di Latakia, sumber foto: dokumentasi pribadi - foto ini sudah memiliki izin publikasi dari pemilik.
Mousab menceritakan bagaimana ia hidup di Latakia sebelum pembebasan, mereka berada di bawah kekangan, tidak dapat mengungkapkan pendapat, dan setiap hari menghadapi berbagai ancaman dan situasi tegang dalam periode yang panjang. Latakia yang selama ini di bawah kendali Bashar Al-Assad dan Rusia menjadi lebih baik dan cukup stabil. Walaupun terjadi ancaman dari Zionis Israel, Mousab menyatakan bahwa serangan tersebut hanya menyerang daerah-daerah militer.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Mousab menjawab pertanyaan mengenai opini masyarakat tentang kepemimpinan di Suriah, apakah faksi-faksi yang ada akan bermutasi, berkembang, atau menjadi kesatuan yang utuh? Ia menjelaskan bahwa pemilihan presiden kelak adalah pilihan rakyat yang memahami kondisi bangsa, bukan dikendalikan oleh kelompok faksi. Kelompok faksi diharapkan fokus pada tugas membela negara, menjaga keamanan, dan kedamaian yang sudah diraih.
Mousab juga menanggapi wacana Israel dan Amerika Serikat mengenai keberadaan ISIS di Selatan Suriah. Fakta lapangan menyatakan bahwa ISIS tidak pernah dan tidak sedang hadir di kawasan tersebut. Ia yakin bahwa ISIS diciptakan oleh rezim Suriah untuk merusak reputasi umat Muslim di dunia, sekaligus menjadi strategi agar mendapatkan perlindungan Amerika Serikat. Masyarakat Suriah meyakini bahwa ISIS adalah buatan rezim dan Amerika Serikat agar kawasan ini langgeng dalam konflik regional.
ADVERTISEMENT
Mengenai perubahan situasi yang ada di Latakia pasca jatuhnya Al-Assad, Mousab mengungkapkan bahwa saat ini tidak ada lagi suap, makar, dan misili yang beraktivitas. Sebelumnya, mereka menjadi bangsa yang terpenjara dan sangat terkekang, saat ini, bangsa Suriah telah bebas, termasuk melakukan berbagai perayaan, dan mereka akan membuktikan bahwa Suriah akan menguat. Mousab yakin bahwa generasi Suriah beserta pemuda dan rakyatnya akan bersatu padu dalam satu tangan untuk Suriah yang lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Transisi Suriah menghadirkan tantangan baru bagi rakyat dan dunia internasional. Ancaman yang datang diharapkan dapat dicegah dengan adanya persatuan faksi dan masyarakat Suriah, serta kuatnya dukungan dunia internasional dalam melindungi hak warga Suriah. Selain itu, kepemimpinan baru setelah pemilihan umum akan menjadi momentum yang ditunggu oleh seluruh elemen yang ada di kawasan Timur Tengah dan global. Gelombang serangan Zionis di Suriah adalah dinamika yang tak terelakkan, namun menjadi momentum untuk menguji persatuan umat yang ada di kawasan Syam. Sementara ini, penduduk Suriah sedang melakukan upaya dan kerja keras untuk menata negara mereka agar menjadi lebih kuat dalam berbagai bidang, baik dalam ekonomi, maupun keamanan.