Konten dari Pengguna

Mungkinkah Perang Dunia Dimulai dari Iran VS Israel?

Yaser Fahrizal Damar Utama
Mahasiswa kere yang kebetulan masuk UNPAD. Orang Sumedang yang kebetulan nggak jualan tahu. Anak kampung biasa yang kebetulan suka nulis. Bisa banget diajak ngobrol lewat instagram kalo kalian kebetulan punya akun instagram.
6 Oktober 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yaser Fahrizal Damar Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perang Dunia Iran VS Israel / Sumber Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perang Dunia Iran VS Israel / Sumber Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Iran dilaporkan telah meluncurkan 180 rudal balistik ke Israel, menandakan adanya eskalasi yang berpotensi memicu Perang Dunia ketiga. Seberapa jauh situasi ini dapat berkembang? Akankah perang dunia ketiga dimulai dari konflik ini?
ADVERTISEMENT
Untuk memahami akar konflik ini, kita harus kembali ke tahun 1948 ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai negara Yahudi. Ketika itu, Iran di bawah pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi sebenarnya memiliki hubungan yang relatif baik dengan Israel.
Meski tidak secara resmi mengakui Israel sebagai negara, Iran memberikan dukungan ekonomi dan militer kepada Israel. Kedua negara bahkan terlibat dalam latihan militer bersama dan kerja sama intelijen.
Situasi ini berubah setelah Revolusi Iran tahun 1979. Shah digulingkan dan Ayatullah Khomeini mengambil alih kekuasaan, Iran berubah menjadi Republik Islam Iran yang bersikap keras menentang Israel.
Sejak saat itu, Iran tidak hanya melabeli Israel sebagai "rezim Zionis" yang tidak sah, tetapi juga secara terbuka mempropagandakan perlawanan bahkan penghancuran terhadap Israel. Sikap anti-Zionis ini berkaitan dengan dukungan Iran terhadap perjuangan rakyat Palestina, yang dianggap sebagai perlawanan rakyat atas haknya untuk melawan penjajahan.
ADVERTISEMENT

Perang Proxy dan Eskalasi Nuklir

Setelah Revolusi Iran, konflik antara kedua negara tidak terjadi secara langsung di medan perang, tetapi melalui perang proksi. Iran telah lama mendukung kelompok militan seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina, yang terus-menerus menyerang Israel.
Strategi ini disebut dengan "Forward Defense Doctrine" di mana Iran menggunakan kekuatan militernya di luar negeri melalui milisi yang didukungnya untuk mengancam musuh-musuhnya tanpa harus terlibat langsung dalam peperangan terbuka secara langsung.
Namun, pengembangan nuklir Iran merupakan sumber ketegangan yang jauh lebih besar. Program nuklir Iran, yang dimulai pada tahun 1990-an, dipandang oleh Israel sebagai ancaman eksistensial. Israel, yang telah lama dicurigai memiliki senjata nuklir, tidak ingin negara Timur Tengah lainnya memiliki senjata pemusnah massal. Maka, Israel mengadopsi Doktrin Begin, yang menyatakan bahwa Israel akan menyerang negara mana pun yang berupaya mengembangkan senjata nuklir yang dapat mengancam keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Serangan militer Israel terhadap reaktor nuklir Irak pada tahun 1981 merupakan contoh nyata dari penerapan doktrin ini. Hal serupa dilakukan Israel kepada Iran. Namun, kali ini, serangan tersebut tidak dilakukan dengan jet tempur. Sebaliknya, Israel menggunakan taktik yang lebih canggih, seperti pembunuhan ilmuwan nuklir Iran dan serangan siber yang merusak fasilitas nuklir, seperti insiden virus komputer Stuxnet pada tahun 2010.

Perang Dunia Ketiga Akan Terjadi?

Banyak pihak berpendapat bahwa jika Perang Dunia Ketiga terjadi, kawasan Timur Tengah, dengan segala konfilk di dalamnya akan menjadi pemicunya. Namun, meskipun isu ini tersebar dimana-mana dan menyebabkan adanya ketakutan akan perang dunia, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Meskipun ketegangan terus meningkat, baik Iran maupun Israel tampaknya enggan memulai perang skala besar yang akan melibatkan negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat atau Rusia.
ADVERTISEMENT
Iran menyadari bahwa ketika melakukan serangan besar terhadap Israel dapat memicu intervensi langsung AS. Dukungan Amerika terhadap Israel sudah sangat jelas, melalui pernyataan Presiden Joe Biden bahwa Amerika akan mendukung Israel dalam serangan balasannya, meskipun dengan syarat serangan itu harus "proporsional."
Di sisi lain, Israel juga menyadari bahwa terlepas dari keunggulan teknologi dan militernya atas Iran, perang skala penuh akan sangat merugikan, baik secara ekonomi maupun korban jiwa.
Dalam hal kekuatan militer, Israel dan Iran memiliki keunggulan masing-masing. Israel memiliki angkatan udara yang lebih modern, termasuk jet tempur F-35 dari AS dan sistem pertahanan rudal yang canggih seperti Iron Dome dan David's Sling.
Di sisi lain, Iran memiliki kekuatan rudal balistik yang besar dengan lebih dari 3.000 rudal yang mampu menjangkau seluruh Kawasan Timur Tengah. Kelemahan Iran adalah banyaknya peralatan militer yang sudah ketinggalan zaman akibat adanya embargo ekonomi yang membuatnya kesulitan untuk meng-upgrade angkatan udaranya.
ADVERTISEMENT
Meskipun Israel unggul dalam hal teknologi, Iran memiliki keunggulan dalam hal kuantitas personel militer. Dengan lebih dari 500.000 tentara aktif, Iran memiliki kekuatan darat yang jauh lebih besar dari Israel.
Kedua negara tampaknya tengah mempersiapkan diri menghadapi perang yang akan lebih banyak terjadi di udara dan melalui serangan rudal daripada pertempuran darat berskala besar.
Jika skenario ini benar-benar terjadi, banyaknya korban jiwa dari warga sipil akan sangat sulit dihindari, terutama mengingat ketergantungan Iran pada serangan proksi melalui kelompok militant mereka di Lebanon dan Palestina.

Dampak Global

Dengan semakin meningkatnya ketegangan di kawasan Timur Tengah yang menjadi pusat produksi minyak dunia, guncangan besar di dalam sektor ekonomi tentu akan terjadi.
Iran sekarang sudah mengancam, jika fasilitas minyaknya diserang, maka akan menghentikan semua ekspor minyak dari Timur Tengah. Dampak dari skenario ini akan sangat merugikan bagi ekonomi global yang sudah rapuh akibat pandemi dan krisis lainnya.
ADVERTISEMENT
Perang ini juga akan semakin memperdalam jurang pemisah antar negara-negara Timur Tengah. Arab Saudi, yang sebelumnya diam-diam bekerja sama dengan Israel dalam menghadapi Iran, mungkin saja akan lebih terlibat jika eskalasi konflik terus meningkat.
Negara-negara lain di luar kawasan timur tengah seperti Rusia dan Cina yang memiliki kepentingan strategis di kawasan tersebut, juga dapat mengambil peran yang lebih besar dalam konflik tersebut, yang akan semakin memperumit situasi.
Dalam situasi yang sangat menegangkan ini, jalan menuju perdamaian tampaknya semakin sulit. Namun, perang skala penuh bukanlah satu-satunya kemungkinan. Kedua negara, terlepas dari berbagai konflik proksi dan serangan balik mereka, sejauh ini menghindari perang terbuka secara langsung.