Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belajar dari Kochi: Kota Cakalang di Jepang
2 Februari 2023 8:12 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari yhernuryadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada dua hal menarik tentang kota Kochi. Pertama, kota Kochi merupakan kota yang tidak terpisahkan dari sejarah kemajuan Jepang . Di kota ini Sakamoto Ryoma lahir, salah satu tokoh muda yang menginginkan perubahan dalam tatanan kehidupan di Jepang, sehingga Jepang menjadi maju dan bersaing dengan bangsa lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, Kochi terkenal dengan ikan cakalang (bonito) atau di Jepang lebih dikenal katsuo. Cakalang telah memainkan peranan dalam budaya kuliner (food culture) di kota ini. Kita akan mudah menemukan produk cakalang yang segar karena kota ini merupakan salah satu produsen dan konsumen cakalang terbesar di Jepang.
Salah satu produk olahan cakalang yang terkenal adalah katsuo no tataki yaitu ikan cakalang segar yang dimasak dengan cara diasap/dibakar setengah matang dengan menggunakan jerami yang dibakar.
Mengapa ikan cakalang begitu melimpah di Kochi? Kochi berbatasan langsung dengan samudera pasifik yang memiliki potensi sumber daya tuna dan cakalang yang besar.
Menurut Laporan Tahunan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) tahun 2016 melaporkan jumlah cakalang yang tertangkap di wilayah samudera pasifik adalah 2,1 juta ton (75% dari tangkapan cakalang dunia) atau 43.75% dari total tangkapan tuna dan cakalang dunia), selain itu Kochi dekat dengan pergerakan arus panas (kuroshio) yang membawa nutrient atau sumber makanan bagi biota laut.
ADVERTISEMENT
Menyadari potensi sumberdaya ikan cakalang yang sangat besar, masyarakat Kochi menjadikan cakalang sebagai bagian penting dalam kehidupan mereka. Cakalang tidak hanya sebagai seafood, tapi cakalang telah dikemas sebagai budaya lokal.
Cakalang diperkenalkan melalui hiasan-hiasan gambar di restauran, manga (komik) ataupun dalam kemasan botol sake. Gambar-gambar ikan cakalang juga mudah ditemui ketika kita menyusuri trotoar di Kochi, kita akan melihat gambar cakalang pada manhole cover (lubang untuk turun ke saluran bawah tanah).
Tidak hanya lewat gambar-gambar ataupun hiasan-hiasan, promosi tentang cakalang sampai di sekolah-sekolah dasar, pembuatan katsuo no tataki diperkenalkan oleh koki-koki dari restaurant terkenal dengan mengajarkan cara pembuatan katsuo no tataki kepad murid-murid di sekolah tersebut.
Selain itu, ada festival cakalang yang diadakan setiap tahun oleh pemerintah Kochi, ribuan wisatawan lokal dari seluruh Jepang datang setiap musim semi. Katsuo no tataki juga dihidangkan sebagai menu spesial dalam acara pernikahan, wisuda atau acara-acara formal lainnya.
ADVERTISEMENT
Budaya cakalang yang telah ada ratusan tahun lalu telah menggerakan perekonomian Kochi. Promosi cakalang sebagai budaya telah menumbuhkan food culture cakalang dihampir semua lapisan masyarakat di Kochi. Dari anak kecil sampai yang sudah tua begitu mencintai katsuo no tataki.
Hampir semua restauran-restauran di pusat kota menyediakan menu andalan katsuo no tataki dan selalu ramai dikunjungi khususnya setiap akhir pekan.
Mereka menikmati katsuo no tataki tidak hanya dengan keluarga mereka, tapi mereka kadang datang bersama teman-teman main atau teman-teman kantor di akhir pekan sambil minum sake atau bir. Japan External Trade Organization (JETRO) melaporkan bahwa konsumsi ikan cakalang per kapita di Kochi adalah paling tinggi di Jepang.
Permintaan akan cakalang yang tinggi tersebut tentunya memiliki konsekuensi terhadap penurunan stok sumberdaya cakalang, karena nelayan akan menangkap ikan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi permintaan pasar tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, mengapa stok cakalang di sekitaran kochi masih melimpah, salah satu alasannya adalah nelayan menangkap cakalang masih dengan cara tradisional yaitu menggunakan alat tangkap pole-and-line atau ippon-zuri (di Indonesia dikenal dengan huhate), yaitu teknik menangkap ikan dengan cara memancing ikan menggunaan joran secara bersama-sama dalam satu kapal ikan.
Namun, yang unik adalah mata pancing dalam teknik ini biasanya tidak mempunyai kait sehingga ikan akan mudah dilempar/diangkat ke kapal.
Menangkap ikan dengan teknik pole-and-line diyakini sebagai metode penangkapan yang tidak mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan karena ikan yang didapat sangat selektif (tidak menangkap ikan-ikan berukuran kecil atau ikan-ikan yang belum sempat memijah).
Untuk melesatarikan budaya cakalang (katsuo culture) dan menjamin keberlanjutan sumberdaya cakalang, telah dibentuk Kochi Sustainable Skipjack Association (KSSA) yang anggotanya terdiri dari stakeholder perikanan, politisi dan akademisi. KSSA sendiri terbagi menjadi 4 working group (WG) yaitu WG promosi, WG konsumsi dan perikanan, WG pemanfaatan dan keberlanjutan dan WG food culture.
ADVERTISEMENT
KSSA diharapkan berkontribusi bagaimana melestarikan budaya cakalang dengan tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan sumberdaya cakalang sehingga keberlanjutan ekonomi dan bisnis usaha cakalang tetap terjamin.
Apa yang harus kita ambil pelajaran dari budaya katsuo ini. Sebagai negara kepulauan dan posisi geografis yang strategis diantara 2 samudera (samudera hindia dan samudera pacific), Indonesia dianugerahi keanekaragaman, kelimpahan dan potensi sumberdaya ikan yang sangat besar.
Dalam laporan FAO tahun 2018 menempatkan Indonesia sebagai produsen ikan laut terbesar kedua di dunia. Namun, besarnya potensi tersebut masih belum maksimal dalam menggerakan ekonomi lokal, masih banyaknya daerah-daerah perikanan yang masih tertinggal. Data BPS tahun 2017 menunjukan bahwa 25% masyarakat miskin di Indonesia berasal dari daerah pesisir.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu kita perlu belajar dari Jepang bagaimana menggerakan ekonomi lokal dengan menjadikan komoditas-komoditas unggulan daerah sebagai suatu budaya seperti kota Kochi dengan budaya cakalangnya. Sebenarnya program-program komoditas unggulan berbasis wilayah sudah ada di Indonesia seperti program Minapolitan yang diperkenalkan pada tahun 2010.
Namun memang program tersebut belum dikemas atau dijadikan suatu budaya, sehingga perkembangannya cenderung lambat. Dengan potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar, harusnya kita bisa membuat kampung teri, kampung rajungan, ataupun kampung tuna.
Dukungan pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan dalam mensukseskan dan mempromosikan program tersebut, atau bisa juga memanfaatkan dana desa. Tinggal bagaimana kita mensinergikan 3 hal tadi yaitu menjadikan budaya di masyarakat, memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dan pertumbuhan ekonomi lokal.
ADVERTISEMENT