Konten dari Pengguna

Mengenang Kembali Konflik 2015 di Aceh

Milka Yoelananda Br Siahaan
Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
12 Desember 2024 15:09 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Milka Yoelananda Br Siahaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gereja terbakar di Aceh. Sumber : Milik Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gereja terbakar di Aceh. Sumber : Milik Pribadi
ADVERTISEMENT
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau biasa disingkat NKRI adalah salah satu negara yang banyak dikelilingi oleh kepulauan yang didalamnya juga terdapat beraneka-ragam kebudayaan, adat istiadat dan agama.
ADVERTISEMENT
Keanekaragaman ini tentu mendatangkan dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak positif dalam hal ini adalah munculnya rasa kebersamaan sekaligus rasa toleransi yang tinggi antar satu dengan yang lainnya.
Namun hal tidak berlaku dibeberapa tempat, dilihat dari 9 tahun kebelakang Indonesia sempat dihebohkan pada salah satu konflik antar umat beragama. Konflik tersebut adalah konflik Aceh Singkil yang terjadi di Aceh pada tahun 2015.
Dilansir dari BBC.COM konflik bermula dari pembakaran salah satu gereja di Suka Makmur di Aceh yang dianggap tidak memiliki izin. Pemerintah setempat memberikan pemberlakukan persyaratan yang lebih ketat dari yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Boas Tumangger, Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singil (Forcidas), mengungkapkan tentang pendirian tempat ibadah dianggap ‘menjerat umat’ dan sebagai ‘bom waktu’ karena digunakan untuk kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari jenisnya, konflik di Aceh merupakan konflik yang bersinggungan dengan teori Peter L. Berger yang menyampaikan bahwa agama sebagai bentuk alat legitimasi masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya melalui tiga tahapan yaitu eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi.
Menyelesaikan sebuah konflik bukanlah perkara yang mudah. Perlu dilakukan berbagai upaya antar kedua pihak untuk bisa menemukan benang merah dari akar permasalahan. Diperlukan Langkah-langkah yang bertahap dan terstruktur agar konflik dapat terselesaikan dengan baik. Berikut 3 bentuk resolusi konflik menurut Ralf Dahrendorf :
1. Konsiliasi, melakukan diskusi untuk mencapai sebuah kesepakatan antar kedua belah pihak tanpa adanya pihak ketiga yang memaksa. Artinya pihak yang berkonflik akan bertemu dan berembuk untuk mendapatkan kesepakatan dari hasil diskusi tersebut.
ADVERTISEMENT
2. Mediasi, jika konflik masih belum menemukan titik tengah, perlu adanya bantuan pihak ketiga seperti tokoh, lembaga dan orang penting lainnya untuk dapat memberikan saran ataupun nasihat.
3. Arbitrasi, meredakan konflik dengan kesepakatan kedua pihak untuk mendapatkan kesepakatan akhir yang bersifat legal.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, muncul titik tengah dari konflik ini yaitu lewat konsultasi yang dilakukan seperti penetapan 11 gereja, pembuatan kembali tempat ibadah yang sudah dibongkar serta melakukan kegiatan kultural untuk membangun kembali hubungan diantara warga di Kabupaten Aceh Singkil.
Referensi :
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50471436
https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/232101#:~:text=Menurut%20teori%20agama%20Peter%20L,yaitu%20eksternalisasi%2C%20objektifikasi%2C%20internalisasi.
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2016/6/6/111/konsultasi-penyelesaian-permasalahan-pendirian-dan-penggunaan-24-gereja-di-kabupaten-aceh-singkil-provinsi-aceh.html