Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Budaya Sowan di Ruang Politik dan Keterlibatan Tokoh Agama
2 Juli 2024 19:17 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Mochammad Yogik Septiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1991 merupakan tahun yang penuh dengan kecurangan dan aksi-aksi kepentingan golongan. Hal itu terjadi karena mendekati tahun pemilu 1992. Seorang insinyur bernama Kabul adalah mantan aktivis mahasiswa yang memiliki idealisme yang tinggi harus dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang berlawanan dengan idealismenya. Kabul memegang proyek pembangunan jembatan desa yang berdada di sungai Cibawor. Proyek yang dipegang kabul merupakan proyek dari pemerintah, proyek tersebut dibangun bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan kepentingan golongan. Golongan tersebut adalah Partai Golongan Lestari Menang (GLM). Proyek yang dibangun tersebut hanya untuk kepentingan pemilu 1992. Partai Golongan Lestari Menang (GLM) berupaya mendapatkan suara rakyat melalui proyek pembangunan jembatan sungai cibawor. Sebagai partai yang berkuasa tentu saja ingin mempertahankan sebagai pemenang dalam pemilu 1992. Berbagai upaya kecurangan dilakukan, hal ini dilakukan pada proyek pembangunan jembatan sungai cibawor.
ADVERTISEMENT
Partai Golongan Lestari Menang (GLM) banyak menggunakan dana pembangunan jembatan untuk kepentingan golongan ditambah orang-orang proyek juga melakukan hal yang sama. Karena dana yang terbatas dan dengan lingkungan Kabul adalah orang-orang yang suka melakukan korupsi, ia tidak dapat melanjutkan dan memilih keluar dari proyek pembangunan jembatan sungai cibawor. Meskipun Kabul keluar, pembangunan jembatan sungai cibawor tetap dilanjutkan dan berjalan dengan menggunakan bahan-bahan material bekas. Pembangunan jembatan tersebut akhirnya selesai dan siap digunakan sebagai ajang kampanye Partai Golongan Lestari Menang (GLM).
Ini adalah cerita yang terdapat dalam novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari. Novel tersebut pertama kali terbit pada tahun 2002. Novel yang mengambil latar pada tahun 1991 dekat dengan pemilu 1992, sehingga isi cerita dalam novel Orang-Orang Proyek adalah kisah yang penuh dengan pencitraan dan kepentingan golongan. Cerita yang dihadirkan dalam novel karya Ahmad Tohari tersebut masih sangat relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Mengingat tahun 2024 adalah tahun pemilu, tentu persoalan-persoalan saat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan dalam novel Orang-Orang Pyorek karya Ahmad Tohari.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana persoalan dalam novel tersebut, akhir-akhir ini kita dihadapkan dengan berbagai aksi-aksi partai politik, aksi-aksi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada Novel agaknya terlalu sederhana jika dilakukan peserta pemilu pada tahun 2024. Akan tetapi esensi dari cerita tersebut adalah persoalan pencitraan, mendapatkan suara rakyat masih dilakukan hingga saat ini. Tentu pencitraan yang sudah dikemas dengan variasi-variasi yang baru.
Budaya Sowan dalam Ruang Politik
Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) Sowan diartikan menghadap kepada orang yang dianggap harus dihormati, seperti raja, guru, atasan, orang tua. Dalam hal ini adalah berkunjung. Dalam masyarakat jawa yang beragama islam menganggap sowan adalah berkunjung atau silaturahim kepada seorang yang lebih bijaksana, lebih tua yang dilakukan di rumah seorang tersebut (Kyai, Orang tua, dll). Sowan merupakan tradisi yang biasanya dilakukan masyarakat jawa untuk menghadap ke orang yang lebih tua atau dianggap terhormat. Hal ini dilakukan dengan maksud dan tujuan sesuatu, semisal dengan bertujuan meminta pengampunan, meminta restu, meminta nasehat. Biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tua, santri kepada kyai, murid kepada guru. Budaya sowan tersebut juga dilakukan pada ruang-ruang politik. Silaturahim kepada tokoh agama seringkali menjadi bagian dari pesta demokrasi. Hal ini tidak hanya dilakukan pada pemilu 2024, melainkan sudah dilakukan pada pemilu periode sebelumnya. Fenomena berkunjung ke pemuka agama setidaknya praktik-praktik yang positif, karena bersilaturahim atau mempererat hubungan sesama manusia adalah anjuran agama islam maupun agama-agama lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2024, pemilihan kepala negara yaitu Presiden RI sudah menunjukkan dinamika persaingan dari masing-masing peserta pemilu. Masa kampanye sudah dimulai sejak tanggal 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, masing-masing peserta pemilu mempersiapkan strategi untuk memenangkan dalam pemilu 2024. Kurang lebih selama dua bulan menjadi panggung para kandidat untuk bersaing meningkatkan elektabilitas. Berbagai program-program unggulan mulai disosialisasikan, baik secara langsung hadir di masyarakat maupun melalui media sosial.
Fenomena sowan sudah mulai terlihat dan digunakan dalam ruang-ruang politik. Fenomena sowan tersebut dilakukan oleh peserta pemilu 2024 kepada seorang yang lebih terhormat dan dianggap memiliki pengaruh, baik pengaruh dalam spiritual, emosional maupun pengaruh keterpilihan masyarakat. Fenomena sowan dilakukan pada kampanye pertama Prabowo Subianto, ia memutuskan untuk berkunjung ke jawa barat dan banten menemui ulama, kyai dan pondok pesantren pada hari sabtu, 02 Desember 2023. Hal ini disampaikan oleh sekretaris jendral partai Gerinda Ahmad Muzani. Prabowo merasa memerlukan doa dan dukungan dari para ulama dan kiai untuk memimpin Indonesia .
ADVERTISEMENT
Pasangan calon nomor urut tiga yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD juga melakukan kampanye setelah masa kampanye dimulai. Calon Wakil Presiden No urut 3, Mahfud MD melakukan kunjungan ke Pandeglang, Banten pada hari Jumat. Kunjungan tersebut untuk menghadiri acara holaqoh kebangsaan ulama se daerah Banten di Pondok Pesantren Mathla’ul Anwar. Agendanya tersebut disampaikan langsung oleh Mahfud MD pada saat di kawasan Menteng, Jakarta “Besok saya ke Pondok Pesantren Mathlaul Anwar, Silaturahim saja bentuk kampanye saya”
Berbeda dengan paslon lainnya, Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar melaksanakan aksi kampanye ditempat yang berbeda, Capres Anies Baswedan melakukan kampanye di pulau jawa, yaitu di DKI Jakrta dan Jawa Barat, sementara cawapres Muhaimin Iskandar melakukan kampanye di Provinsi Sumatera Barat. Pada kunjungannya tersebut, ia menemui tokoh adat dan tokoh masyarakat . Meskipun pasangan calon ini belum berkunjung ke tokoh agama, akan tetapi sudah terihat kedekatan dengan Ijtima ulama.
ADVERTISEMENT
Fenomena yang terjadi pada kontestasi pemilu 2024 ini menunjukkan bahwa tidak dapat terlepas dari ruang-ruang agama. Budaya sowan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat jawa, kalangan santri, akan tetapi budaya sowan juga menjadi bagian penting dalam pesta demokrasi di idnonesia. Hal ini saya kira sudah menjadi budaya politik indonesia, berkunjung kepada seorang yang dianggap memiliki kehormatan atau dalam bahasa agama melakukan silaturahim ke para pemuka agama untuk mendapatkan restu dan dukungan moral.
Etika Politik atau Kepentingan Politik
Masyarakat Indonesia sudah sangat familiar dengan pemilu, baik pada tingkat pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Sebagai negara menganut asas demokrasi, pemilu menjadi bagian penting untuk menentukan indonesia yang lebih baik dan dapat bersaing dengan negara-negara kuat lainnya. Pesta demokrasi yang semakin dekat, dan berbagai upaya peserta pemilu 2024 mendapatkan suara sebanyak-banyaknya sudah mulai melakukan gerakan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memenangkan persaingan dalam ruang politik. Maka berbagai cara dilakukan termasuk menjadikan ruang-ruang agama sebagai tempat menaikkan elektabilitas. Karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama islam, maka ruang-ruang agama sangat menjanjikan untuk memenangkan pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Persoalan yang terjadi pada saat ini memperlihatkan bahwa dinamika politik di Indonesia berkembang dengan pesat dan mengalami perubahan-perubahan dalam berpolitik. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan politik saat ini, dimana masing-masing pasangan calon capres-cawapres mengadopsi budaya sowan menjadi bagian dalam ruang politik. Yang menjadi persoalan adalah apakah berkunjung ke kediaman para ulama atau kyai merupakan bentuk etika politik atau hanya kepentingan politik? Jika melihat pengertian dari etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral . Etika sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Etika sebagai nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sedangkan secara bahasa, berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara berfikir . Jika etika diartikan demikian, maka pasangan calon presiden dan wakil presiden yang melakukan agenda berkunjung ke kediaman tokoh agama adalah tindakan yang baik. Namun bagaimana jika sowan tersebut hanya sebagai jalan politik untuk melancarkan keterpilihan dari masyarakat yang beragama islam? Sikap Skeptis tersebut bukan berarti menganggap tindakan sowan tersebut adalah tindakan yang penuh dengan kepentingan politik, melainkan lebih selektif lagi dalam memilih pemimpin negara. Disisi lain rekam jejak para politikus yang hanya manis di awal dan tidak memberikan kepemimpinan yang baik. Janji-janji yang tidak ditepati menyebabkan sebagian masyarakat tidak peduli dengan pemilu. Siapapun yang terpilih tidak memberikan dampak yang bagus dan hanya menguntungkan sebagian kelompok dominan.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari pandangan Henri Lefevbre , Bahwa ruang-ruang sosial tidak hadir secara alamiah, akan tetapi hasil dari produksi. Maka dalam pembahasan ini, ruang politik adalah ruang yang penuh dengan kepentingan, ia adalah hasil produksi kelompok-kelompok tertentu. Jika dikaitkan dalam fenomena budaya sowan peserta politik kepada tokoh agama, maka itu adalah upaya paslon memproduksi ruang bahwa pasangannya adalah representasi pemimpin yang sesuai. Kegiatan masing-masing pasangan calon yang berkunjung ke ulama atau kyai adalah bagian dari produksi paslon yang merepresentasikan masyarakat islam.
Dalam perspektif lain, yaitu Michel Foucault dalam konsepnya mengenai konsep wacana. Menurutnya, wacana adalah komiditas politik, sebuah fenomena pengeluaran, pembatasan, dan larangan. Wacana bukanlah serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan suatu yang dapat memproduksi yang lain. Wacana atau bahasa ini sangat berkelindan dengan kekuasaan, maka bahasa tidak pernah netral. Masih dengan pandangan Foucault mengenai kekuasaan, bahwa kekuasaan yaitu relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis. Bahwa kekuasaan dapat mengatur pengetahuan. Pengetahuan dapat di kontrol oleh kekuasaan. Kekuasaan bagi Foucault tidak dipahami dalam suatu hubungan kepemilikan sebagai properti, perolehan, atau hak istimewa yang dapat digenggam oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat terancam punah. Kekuasaan juga tidak dipahami beroperasi secara negatif melalui tindakan represif, koersif, dan menekan dari suatu institusi pemilik kekuasaan, termasuk negara. Kekuasaan tidak dipandang secara negatif, melainkan positif dan produktif.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang disampaikan oleh Henri Lefebvre dan Michel Foucault, bahwa tidak ada bahasa atau ruang yang netral, ia memiliki kepentingan-kepentingan, yakni dapat memproduksi pengetahuan yang sesuai kepentingan. Bahasa berkunjung/silaturahim/sowan pada konteks praktik-praktik kampanye pemilu merupakan bahasa yang dikemas dengan berbagai kepentingan-kepentingan tertentu. Melihat hal tersebut, maka relasi antara tokoh politik dengan tokoh agama sangat erat, tokoh politik dalam hal ini adalah capres-cawapres sadar betul bahwa ulama atau kyai memiliki kekuatan untuk meningkatkan elektabilitas, sehingga praktik sowan atau berkunjung menjadi bagian dalam kampanye politik. Hal ini dapat dilihat dari para tokoh politik menerapkan budaya sowan dalam rangkaian agenda pemenangan pada pemilu 2024.