Konten dari Pengguna

Perebutan Maritim di Laut China Selatan: Analisis Konstruktivis

YOSEP KURNIAWAN
Yosep Kurniawan seorang mahasiswa Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan pada isu isu global dan pembangunan berkelanjutan. Saat ini menempuh pendidikan di Univesitas Amikom Yogyakarta.
10 Juli 2024 8:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari YOSEP KURNIAWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi konflik pada kawasan (dokumantasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konflik pada kawasan (dokumantasi pribadi)
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan, kaya sumber daya alam dan strategis, menjadi arena perebutan maritim antar negara. Studi kasus ini menggunakan teori konstruktivisme Hubungan Internasional (HI) untuk menganalisis klaim maritim yang tumpang tindih. Perspektif ini menekankan bagaimana ide, norma, dan identitas dibentuk dan diinterpretasikan oleh aktor negara, sehingga memengaruhi perilaku mereka dalam hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Layaknya cerita klasik tentang harta karun yang tersembunyi, Laut China Selatan menjadi objek perebutan bagi enam negara: Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Masing-masing negara memiliki narasi sejarah dan interpretasi maritimnya sendiri, yang tumpang tindih dan saling bertentangan. Tiongkok, dengan kekuatan ekonominya yang raksasa, mendasarkan klaimnya pada "Garis Sembilan Putus" yang kontroversial, bagaikan garis imajiner yang menjangkau hampir seluruh Laut China Selatan. Narasi Tiongkok diwarnai dengan identitas sebagai "kekuatan besar" dengan hak historis atas wilayah tersebut. Di sisi lain, Vietnam, Filipina, dan negara-negara tetangga lainnya, berpegang teguh pada prinsip kedaulatan dan integritas wilayah. Mereka mempertanyakan keabsahan "Garis Sembilan Putus" dan menekankan pada penguasaan pulau-pulau kecil dan fitur maritim di wilayah mereka.
Bendera negara yang saling klaim (dokumentasi pribadi)
Teori konstruktivisme HI memandang realitas sebagai produk sosial yang dibentuk oleh ide, norma, dan identitas. Dalam konteks klaim maritim, konstruktivisme berfokus pada bagaimana aktor negara mendefinisikan dan memaknai wilayah maritim berdasarkan pemahaman mereka tentang sejarah, budaya, dan kepentingan nasional. Klaim maritim tidak hanya didasarkan pada hak hukum, tetapin juga pada narasi dan interpretasi yang dibangun oleh aktor negara.
ADVERTISEMENT
Konflik di Laut China Selatan bukan hanya tentang perebutan wilayah fisik, tetapi juga tentang perebutan ide dan identitas. Masing-masing negara berusaha membangun narasi yang memperkuat klaim mereka dan meminggirkan narasi pesaing. Ide tentang "kedaulatan maritim" menjadi bahan perdebatan sengit. Tiongkok menginterpretasikannya secara luas, memungkinkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya di hampir seluruh Laut China Selatan. Negara-negara tetangga, di sisi lain, menekankan pada interpretasi yang lebih sempit, membatasi klaim maritim pada wilayah yang secara efektif mereka kuasai.
ilustrasi pertanyaan tentang klaim laut China Selatan (dokumentasi pribadi)
Identitas nasional juga memainkan peran penting. Tiongkok sering menggembar-gemborkan identitasnya sebagai "kekuatan besar" dengan hak dan tanggung jawab khusus di kawasan. Narasi ini memicu kekhawatiran di negara-negara tetangga tentang dominasi Tiongkok dan potensi pelanggaran kedaulatan mereka.
ADVERTISEMENT
Konflik di Laut China Selatan bukan hanya mengganggu stabilitas regional, tetapi juga berdampak negatif pada lingkungan laut dan mata pencaharian masyarakat pesisir. Aktivitas militer yang meningkat dan eksplorasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan mengancam keanekaragaman hayati laut dan merusak ekosistem yang rapuh.
Upaya untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai terus diupayakan. ASEAN, organisasi regional Asia Tenggara, telah mempromosikan norma-norma regional tentang penyelesaian sengketa maritim secara damai melalui dialog dan negosiasi. Mekanisme hukum internasional, seperti Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), juga menjadi acuan penting.
Namun, jalan menuju solusi damai masih terjal. Ketidakpercayaan antar negara dan perbedaan interpretasi hukum maritim menjadi hambatan utama. Diperlukan komitmen kuat dari semua pihak yang terlibat untuk membangun rasa saling percaya dan mencari solusi yang saling menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Teori konstruktivisme HI menawarkan lensa yang berguna untuk memahami dinamika konflik di Laut China Selatan. Klaim maritim yang tumpang tindih tidak hanya didasarkan pada hak hukum, tetapi juga pada ide, norma, dan identitas yang dibentuk dan diinterpretasikan oleh aktor negara. Memahami konstruksi sosial ini sangat penting untuk menemukan solusi yang damai dan berkelanjutan bagi konflik di Laut China Selatan. Masa depan Laut China Selatan masih diselimuti ketidakpastian. Akankah konflik berkepanjangan terus mewarnai kawasan, atau akankah solusi damai tercapai melalui dialog dan kerjasama? Jawaban atas pertanyaan ini akan bergantung pada kemauan politik para pemimpin negara dan komitmen mereka untuk membangun stabilitas dan kemakmuran bersama di kawasan.