Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Korupsi Dana Desa di Provinsi Lampung Tahun 2017-2022
2 Agustus 2024 6:38 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yudha Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Data putusan tingkat pertama pada Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang menunjukkan bahwa sejak tahun 2017-2022 tren korupsi keuangan desa (dana desa ) di Provinsi Lampung terus mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 (UU Desa), telah mengubah arah kebijakan pembangunan di desa melalui pendekatan keuangan. Stimulus keuangan yang diberikan pemerintah melalui dana desa mendorong desa untuk melakukan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi masyarakat desa. UU Desa mengamanatkan pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana desa dari pemerintah pusat setiap tahun.
UU Desa kini menempatkan desa sebagai salah satu lembaga yang mengelola keuangan negara. Dengan demikian, kepala desa dan perangkat pemerintahan desa saat ini menjadi subjek pengelola keuangan negara. Konsekuensi dari hal tersebut adalah jika terjadi penyelewengan pengelolaan keuangan desa, maka perangkat desa dapat diproses berdasarkan hukum administrasi pemerintahan maupun berdasarkan hukum pidana. Khusus untuk sanksi pidana, sanksi yang dikenakan tidak main-main, yaitu kepala desa dan perangkat desa dapat dikenakan sanksi pidana berdasarakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).
ADVERTISEMENT
Pengelolaan keuangan desa kini menjadi salah satu aspek yang sangat rentan terhadap penyimpangan. Indikator termudah dalam mengukur penyimpangan tersebut adalah dengan menghitung jumlah perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan desa.
Tren Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa di Indonesia
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa dana desa adalah dana yang sangat rentan dikorupsi. Selama tahun 2019, ICW menyebutkan ada 46 kasus korupsi di desa dari total 271 kasus korupsi selama tahun 2019 dengan nilai kerugian negara hingga Rp32,3 miliar. Pemerintah desa juga menjadi lembaga dengan kasus korupsi terbanyak pada semester I 2021. Tercatat, ada sebanyak 62 kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala desa dan/atau perangkat desa.
Terdapat kenaikan signifikan terhadap kasus korupsi pengelolaan keuangan desa sejak berlakunya UU 6/2014. Pada tahun 2020 dan 2021 jumlah kasus korupsi pengelolaan keuangan desa terjadi di atas 100 kasus. Kepala Desa pada tahun 2021 menduduki posisi 3 besar pelaku korupsi di Indonesia. Jumlah kepala desa yang terjerat kasus korupsi sebanyak 159 orang pada tahun 2021. Posisi tersebut berada di belakang ASN sebanyak 343 orang dan pihak swasta sebanyak 215 orang. Peringkat tersebut dapat menjadi posisi kedua jika perangkat desa juga dihitung sebagai tersangka korupsi, yaitu menjadi 245 orang. Sebenarnya jumlah kasus korupsi pengelolaan keuangan desa diyakini lebih tinggi lagi, mengingat masih terdapat keterbatasan personil inspektorat daerah dan aparat penegak hukum dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pengelolaan keuangan desa.
ADVERTISEMENT
Tren Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa di Provinsi Lampung
Hasil penelitian yang penulis lakukan terhadapa data putusan tingkat pertama pada Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang tahun 2017-2022 menunjukkan bahwa tren korupsi pengelolaan keuangan desa di Provinsi Lampung terus mengalami kenaikan.
Selama 6 tahun terakhir telah terjadi 50 perkara tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan desa yang melibatkan 62 terdakwa dengan jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp14.048.499.105,32. Kepala desa masih menjadi salah satu tokoh sentral pelaku utama korupsi, selanjutnya adalah jabatan penjabat (PJ) kepala desa, dan sisanya dilakukan oleh perangkat desa lainnya seperti bendahara desa, sekretaris desa, kaur pembangunan, bendahara BUM Desa, dan pendamping desa.
Kejadian korupsi juga tersebar hampir merata di seluruh kabupaten di Provinsi Lampung. Selama tahun 2017-2022, korupsi pengelolaan telah terjadi pada 12 dari 13 kabupaten yang memiliki wilayah administratif tingkat desa di Provinsi Lampung. Berdasarkan pendekatan penelitian, sampai dengan tahun 2022 hanya Kabupaten Tulang Bawang Barat yang belum terdapat korupsi pengelolaan keuangan desa. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti pada Kabupaten Tulang Bawang Barat mutlak tidak terjadi perkara tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan desa. Terdapat tindak pidana korupsi pengelolaan desa Tiyuh (Desa) Panaragan, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat, yang mulai disidangkan pada tahun 2022 dan diputus pada bulan Januari 2023 dengan nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp374.942.475,00.
ADVERTISEMENT
Modus Utama Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa di Provinsi Lampung
Beberapa kasus tindak pidana korupsi pengelolaan dana desa di Provinsi Lampung menempatkan bendahara sebagai salah satu terdakwa. Kasus korupsi pengelolaan keuangan desa yang menjerat bendahara desa tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi penyerta dalam perkara korupsi yang melibatkan kepala desa sebagai aktor utama pelaku korupsi. Bendahara desa terlibat karena adanya pembiaran bendahara terhadap pembobolan kas desa yang dilakukan oleh kepala desa dengan berbagai macam dalih.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi kewenangan bendahara desa oleh kepala desa menjadi modus yang mendominasi perkara korupsi pengelolaan keuangan desa di Provinsi Lampung. Dari 37 perkara, sebanyak 28 perkara bermodus intervensi kewenangan bendahara. Modus yang dilakukan oleh kepala desa adalah bersama dengan bendahara desa melakukan pencairan dana desa dan/atau alokasi dana desa di rekening desa. Pelaksanaan pencairan hanya bisa dilaksanakan menggunakan giro yang telah ditandatangani oleh kepala desa dan bendahara desa. Setelah dana cair ke rekening desa, maka uang tersebut ditarik secara tunai dan selanjutnya dengan berbagai alasan, kepala desa menguasai, menyimpan, dan mengelola sendiri uang kas desa dengan mengabaikan kewenangan bendahara dalam pengelolaan keuangan desa.
ADVERTISEMENT
Pola pencairan juga memiliki kesamaan, yaitu seluruh uang yang masuk ke rekening desa dicairkan seluruhnya yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan kas desa atau rencana penggunaan dana. Berdasarkan ketentuan yang diatur secara rinci berdasarkan peraturan bupati/walikota tentang pengelolaan keuangan desa, penyimpanan uang kas secara tunai dibatasi dengan alasan faktor keamanan. Selain itu, penarikan dana juga seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan dana setiap periodenya. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya dengan sengaja untuk mengelola uang kas desa tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Modus lain yang masih berkaitan dengan intervensi kewenangan bendahara adalah modus penunjukan bendahara dari kerabat terdekat kepala desa. Pada 4 perkara lainnya, kepala desa dengan sengaja menunjuk kerabat dekat seperti istri, anak, atau orang tua sebagai bendahara desa. Hal tersebut dimaksudkan untuk melancarkan kepala desa dalam mengambil, menyimpan, menguasai, dan mengelola sendiri anggaran desa. Sangat patut disayangkan ketika kepala desa mengangkat kerabat terdekat untuk melicinkan jalan membobol keuangan desa. Kenyataannya, dari 4 peristiwa dengan modus kekerabatan, pada satu perkara di desa GD di Kabupaten Pesawaran, istri kepala desa justru ikut ditetapkan statusnya sebagai terdakwa.
ADVERTISEMENT
Upaya Pencegahan Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa
ADVERTISEMENT
Angka penindakan korupsi pengelolaan keuangan desa dapat dijadikan acuan termudah dalam mengukur terjadinya penyimpangan atas pengelolaan keuangan desa. Angka penyimpangan tersebut mungkin lebih rendah dibanding angka riil di lapangan. Hal tersebut merupakan dampak dari keterbatasan aparat pengawas, dalam hal ini Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dalam melakukan deteksi terhadap penyimpangan atas pengelolaan keuangan desa. Selain itu, aparat penegak hukum juga masih memiliki keterbatasan penindakan mengingat ada 2.435 desa yang harus diawasi dengan jumlah personil yang terbatas.
Untuk menekan tingginya angka penyimpangan atas pengelolaan keuangan desa, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa (Permendagri 73/2020). Permendagri tersebut mengatur tentang pengawasan atas pengelolaan keuangan desa yang dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), camat, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Permendagri 73/2020 sebenarnya cukup terlambat diterbitkan mengingat UU Desa mengamanatkan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa. Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota salah satunya dengan mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa.
Melihat tingginya risiko kasus korupsi pada pemerintah desa, maka pengelolaan keuangan desa dilakukan pengawasan yang intensif. Seluruh elemen masyarakat diharapkan dapat melakukan pengawasan secara melekat untu mencegah terjadinya korupsi pengelolaan keuangan desa. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu menyusun formulasi pengawasan yang tepat untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kepada pemerintah desa dalam mengelola anggarannya secara transparan dan akuntabel.
ADVERTISEMENT