Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mempertanyakan Kewenangan BPKP dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara
27 Februari 2022 14:22 WIB
Tulisan dari Yudha Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tindak pidana korupsi saat ini masuk ke dalam kategori sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) di Indonesia. Tindak pidana korupsi telah sampai pada tahap yang kritis dan secara sistematis merusak berbagai aspek kehidupan rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi di beberapa tempat bahkan telah menggurita dalam bentuk dinasti, dimana kejahatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan orang yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan keluarga. Diperlukan berbagai cara yang luar biasa dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Rumusan pembuktian tindak pidana korupsi terletak pada unsur-unsur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang menyatakan bahwa:
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 ayat (1) tersebut adalah:
ADVERTISEMENT
Pasal 3 UU Tipikor menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi dari pasal 3 UU Tipikor, yaitu:
ADVERTISEMENT
Salah satu poin krusial dalam pembuktian tindak pidana korupsi terletak pada unsur “kerugian keuangan negara atau perekonomian negara”. Unsur ini di dalam perjalanannya sempat dikoreksi melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 25/PUU-XIV/2016 pada tanggal 25 Januari 2017. MKRI menilai bahwa pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait dengan penerapan unsur “merugikan keuangan negara” telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materiil). Unsur “merugikan keuangan negara” tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi.
Konsep Kerugian Keuangan Negara
Penerapan unsur “merugikan keuangan negara” dengan konsep nyata (actual loss) lebih memberikan kepastian hukum yang adil. Langkah tersebut merupakan sebuah upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional. Seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, dan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006.
ADVERTISEMENT
Konsep kerugian keuangan negara tersebut sejalan dengan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK yang telah merumuskan Kerugian negara/Daerah sebagai “kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Konsepsi ini juga sebenarnya telah tertuang di dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang menyebut “secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
Berkaitan dengan kerugian keuangan negara tersebut, perdebatan lainnya yang sering timbul adalah terkait dengan kewenangan lembaga yang menilai dan menentukan kerugian keuangan negara. Unsur kerugian keuangan negara merupakan unsur kunci dalam penentuan apakah sebuah tindak pidana dapat dibuktikan sebagai tindak pidana korupsi atau bukan. Kerugian keuangan negara di dalam tindak pidana korupsi mempunyai arti “meruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum atau kelalaian”.
ADVERTISEMENT
Produk hukum lembaga yang berwenang tersebut menjadi salah satu poin penting dalam pemenuhan unsur kerugian keuangan negara di dalam tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum sangat bergantung pada alat bukti surat berupa laporan hasil audit investigatif (dalam proses penyelidikan) atau laporan hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara (dalam proses penyidikan). Alat bukti surat tersebut yang disertai keterangan ahli akuntansi dan auditing menjadi rangkaian proses yang integral dalam proses pengungkapan suatu tindak pidana korupsi.
Tinjauan Yuridis Kewenangan BPKP
Secara yuridis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki kewenangan memeriksa, menilai, dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 6 Ayat (1) dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006. Selain BPK yang memiliki kedudukan sebagai lembaga negara, ada juga lembaga pemerintah, yaitu Badan Pengawasan Keuangan (BPKP), yang juga memiliki kewenangan tersebut. Adapun kewenangan tersebut tercantum dalam:
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyebutkan bahwa BPKP memiliki kewenangan dalam melakukan audit, termasuk di dalamnya audit investigatif. Kewenangan audit investigatif tersebut termasuk pada proses penentuan besaran kerugian keuangan negara sebagai akibat dari penyimpangan yang terjadi di dalam sebuah dugaan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Peran Auditor dalam Pembuktian Kerugian Keuangan Negara
Penegakkan hukum pada kasus dugaan tindak pidana korupsi pada umumnya menggunakan pendekatan pemulihan kerugian keuangan negara. Dapat dipastikan bahwa pada setiap proses peradilan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, jaksa selaku penuntut umum dan hakim selalu berupaya untuk membuktikan nilai (angka) kerugian keuangan negara secara riil.
Auditor memegang peranan yang sangat penting pada tahap pembuktian mengenai kerugian keuangan negara yang bersifat riil ini. Auditor yang ditugaskan dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi akan terlibat dalam menghasilkan dua alat bukti yang dibutuhkan pada proses penyidikan dan persidangan. Alat bukti pertama berupa alat bukti surat berupa laporan hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara yang merupakan produk dari instansi auditornya. Alat bukti kedua adalah keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan auditor dalam bidang auditing dan akuntansi, baik ditahap penyidikan, maupun di saat persidangan di pengadilan tipikor.
ADVERTISEMENT
Beberapa Rumusan yang Menguji Kewenangan BPKP
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Oktober 2012 mengeluarkan Putusan Nomor 31/PUU-X/2012 yang menguji konstitusionalitas Pasal 6 huruf a dan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa:
"Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: (a) Koordinasi dengan Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Adapun penjelasan Pasal 6 menyebutkan bahwa:
"Yang dimaksud dengan “Instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen”.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
"... sah atau tidaknya LHPKKN yang dibuat dan diterbitkan oleh BPKP tidak berkaitan langsung dengan konstitusionalitas norma yang mengatur tugas KPK untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi lainnya. Tugas dan kewenangan instansi yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang a quo dalam hal ini BPKP dan BPK telah disebutkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masing-masing. KPK sebagai salah satu pelaku dari sistem peradilan korupsi memiliki kewenangan diskresioner untuk meminta dan menggunakan informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi atau pihak-pihak lain yang terkait untuk kepentingan penyidikan. Mengenai terbukti atau tidak terbuktinya kerugian negara yang disebutkan dalam LHPKKN atau sah tidaknya LHPKKN tersebut tetap wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya. Dengan perkataan lain, walaupun KPK memiliki kewenangan diskresioner untuk menggunakan informasi tentang kerugian negara dalam bentuk LHPKKN dari BPKP atau BPK dalam penyidikan, digunakan atau tidaknya informasi tersebut dalam pengambilan putusan merupakan kemerdekaan hakim yang mengadili perkara....”.
ADVERTISEMENT
Selain pengujian kewenangan BPKP melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Mahkamah Agung juga mengeluarkan rumusan hukum melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016. SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menghasilkan rumusan hukum pada poin 6, yaitu:
“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara”
ADVERTISEMENT
SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tersebut hanya merumuskan bahwa BPKP tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Sampai saat ini memang belum ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebutkan secara tegas terkait dengan kewenangan BPKP dalam men-declare adanya kerugian keuangan negara. SEMA Nomor 4 Tahun 2016 dan putusan-putusan pengadilan tipikor selama ini malah menegaskan bahwa BPKP tetap memiliki kewenangan melakukan audit investigatif dalam rangka proses peradilan dugaan tindak pidana korupsi.
Simpulan
Melihat kiprah yang selama ini dijalankan oleh BPKP, yang ikut menjadi bagian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, tentunya akan selalu muncul dinamika hukum yang mewarnai perjalanan tersebut. Selama ini BPKP sering disudutkan dengan permasalahan kewenangannya dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara terkait dengan tindak pidana korupsi, khususnya dari pihak tersangka/terdakwa. Dinamika tersebut sudah menjadi hal biasa yang sering dijumpai, mengingat para tersangka/terdakwa juga memiliki hak sebagai warga negara untuk menentukan langkah hukum yang dapat ditempuh olehnya.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada pengalaman BPKP selama ini, sudah ratusan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum yang mana nilai kerugian keuangan negaranya diperoleh dari hasil audit investigatif atau audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara yang dilaksanakan oleh BPKP. Sebagian besar di antara perkara tindak pidana korupsi tersebut sudah “berkekuatan hukum tetap (inkracht)”. Penjelasan di atas inilah yang menjadi bukti dan fakta hukum bahwa BPKP adalah salah satu instansi yang berwenang dalam menentukan nilai kerugian keuangan negara melalui audit investigatif atau audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan perspektif penulis, rasanya saat ini sudah tidak relevan mempertanyakan kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara. Saat inipun sudah banyak putusan pengadilan tipikor yang sudah “berkekuatan hukum tetap (inkracht)” yang menggunakan hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh inspektorat daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pertanyaan yang mungkin relevan adalah mengenai kualitas dan kendali mutu pelaksanaan audit dalam rangka penghitungan kerugian negara itu sendiri, karena produk laporan audit tersebut akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan pemidanaan kepada terdakwa di persidangan pada pengadilan tipikor.
ADVERTISEMENT