Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi
1 Maret 2022 12:48 WIB
Tulisan dari Yudha Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Corruptor Fight Back” alias koruptor melawan balik, suar ini sempat dinyalakan pada beberapa akun media sosial milik Kejaksaan RI pada bulan Agustus 2022 lalu. Kampanye media sosial ini disinyalir merupakan respon Kejaksaan Agung RI terhadap sejumlah mega skandal kasus korupsi yang tengah ditangani Kejagung era ST Burhanuddin. Beberapa kasus yang paling mencolok di antaranya, adalah kasus Jiwasraya dan Asabri. Tidak main-main, hasil penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi Jiwasraya adalah sebesar Rp16,8 triliun. Bahkan, hasil penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi Asabri mencapai Rp22,788 triliun.
ADVERTISEMENT
Nilai kerugian keuangan negara merupakan salah satu indikator mengenai seberapa besar nilai riil yang ditanggung oleh negara, sebagai akibat dari sebuah tindak pidana korupsi. Publik sering kali tidak menyadari bahwa nilai kerugian keuangan negara merupakan salah satu komponen penting dalam pembuktian unsur sebuah perkara dugaan tindak pidana korupsi. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), memiliki kesamaan unsur, yaitu sebuah tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur “Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Pernahkah kita memikirkan, dari mana angka kerugian keuangan negara muncul? Apakah aparat penegak hukum (APH) memiliki kewenangannya tersendiri dalam menentukan nilai tersebut? Tentunya, kita harus memahami bahwa proses pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) bukan merupakan sebuah proses yang mudah dan simpel. Proses pengungkapan dugaan tipikor memerlukan keterlibatan instansi atau lembaga lain, dengan berbagai macam disiplin ilmu dikuasainya dan kewenangan yang dimilikinya. Khusus dalam penghitungan kerugian keuangan negara, APH membutuhkan bantuan dari instansi lain untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Pengertian Keuangan Negara
Sebelum masuk pada proses pembuktian unsur “Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, sebaiknya kita memahami definisi dari "keuangan negara" dan "kerugian keuangan negara". UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) pada Pasal 1 angka 1 mendefinisikan keuangan negara sebagai:
“Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Selanjutnya pada Pasal 2 UU Keuangan Negara menjelaskan ruang lingkup keuangan negara, yaitu:
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pengertian keuangan negara terdapat pada penjelasan UU Tipikor, yaitu:
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
Pengertian Kerugian Keuangan Negara
Perlu diluruskan terlebih dahulu bahwa “kerugian negara” dengan “kerugian keuangan negara” adalah dua hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Kerugian negara adalah penyebab, sedangkan kerugian keuangan negara adalah akibat. Kerugian keuangan negara tidak akan pernah terjadi jika tidak didahului oleh kerugian negara, akan tetapi tidak semua kerugian negara akan berakibat pada kerugian keuangan negara. Kerugian negara adalah sebuah risiko yang tidak dapat dielakkan dari setiap tindakan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Kerugian negara tidak dapat sepenuhnya dihindari, akan tetapi dampaknya yang berupa kerugian keuangan negara dapat semaksimal mungkin dihindari.
ADVERTISEMENT
Definisi kerugian keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu:
"Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai."
Siapa Saja yang Berwenang Menghitung Kerugian Keuangan Negara?
Terkait dengan kewenangan dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, maka kita dapat mencermati UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU BPK pada Pasal 10 Ayat (1) menjelaskan bahwa:
“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.”
ADVERTISEMENT
Frasa “menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara” pada ayat di atas dapat disimpulkan sebagai pemberian kewenangan berdasarkan undang-undang kepada BPK untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.
Selanjutnya UU Administrasi Pemerintahan pada Pasal 20 ayat (4) menjelaskan bahwa:
“Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan.”
Aparat intern pemerintah (APIP) pada pasal di atas antara lain adalah:
ADVERTISEMENT
Frasa “pengembalian kerugian keuangan negara” pada pasal tersebut tentunya tidak serta muncul dengan sendirinya, melainkan harus didahului proses penghitungan kerugian keuangan negara melalui pelaksanaan audit tujuan tertentu. Secara tidak langsung, dapat disimpulkan bahwa pasal ini memberikan kewenangan kepada APIP untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.
Selanjutnya pada penjelasan Pasal 32 Ayat (1) UU Tipikor dijelaskan bahwa:
“yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.
Penjelasan pasal di atas memang tidak menyebutkan secara spesifik instansi apa saja yang memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian keuangan negara. Pada praktiknya, alat bukti surat berupa laporan hasil audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara (LHAPKKN) yang dikeluarkan oleh BPK maupun APIP, sama-sama dapat digunakan oleh penyidik pada proses penyidikan maupun jaksa penuntut umum pada proses persidangan perkara dugaan tipikor. Pada beberapa perkara dugaan tipikor, penyidik juga dapat menggunakan LHAPKKN yang dikeluarkan oleh akuntan publik.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, poin perdebatan mengenai kewenangan instansi apa saja yang memiliki kewenangan melakukan penghitungan kerugian keuangan negara tidak perlu lagi dipermasalahkan. BPK, BPKP, Inspektorat, ataupun akuntan publik sekalipun dapat melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Pada akhirnya, perdebatan di atas akan berujung pada suatu kesimpulan, hakim dapat menggunakan keyakinannya sendiri dalam menentukan besaran kerugian keuangan negara yang dibebankan kepada terdakwa, baik itu merujuk pada laporan hasil audit, maupun pertimbangan lainnya sesuai dengan fakta persidangan.
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
Penghitungan kerugian keuangan negara didapatkan dari hasil audit dari instansi atau pihak yang berwenang. Auditor melakukan audit investigatif kepada instansi pemerintah atau lembaga negara. Auditor juga dapat melakukan audit kepada pihak swasta selama di dalamnya bersinggungan dengan ruang lingkup keuangan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara. Audit yang dilakukan dapat berupa audit investigasi (AI) atau audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN). Audit investigasi atau audit PKKN ini dilakukan atas permintaan APH yang meliputi Kejaksaan, Kepolisian, atau KPK. Perbedaan antara audit investigasi dengan audit PKKN adalah:
ADVERTISEMENT
Apakah Semua Audit Investigatif Akan Berujung pada Pelaksanaan Audit PKKN?
Tidak seluruh audit investigatif berujung pada pelaksanaan audit PKKN. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Kewenangan penyelidikan/penyidikan di dalam proses penegakkan hukum dalam perkara dugaan tipikor sepenuhnya adalah kewenangan dari APH. Pertanyaan mengenai apakah audit investigasi dapat dilanjutkan ke audit PKKN sangat bergantung pada proses penyelidikan/penyidikan yang dilakukan oleh APH. Jika pada pelaksanaan audit investigasi terdapat temuan yang berindikasi pada potensi kerugian keuangan negara dan penyidik memiliki minimal 2 alat bukti yang cukup, maka proses audit investigasi ini bisa dilanjutkan ke proses audit PKKN. Perlu dicatat bahwa laporan hasil audit investigasi merupakan salah satu bentuk alat bukti berupa surat yang bisa digunakan oleh penyidik.
ADVERTISEMENT
APH juga dapat mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pelaksanaan audit investigasi ke pelaksanaan audit PKKN. Artinya, tahap penyelidikan tidak berlanjut ke tahap penyidikan. Pertimbangan tersebut dapat diambil jika pada pelaksanaan audit investigasi menemukan temuan indikasi yang berpotensi merugikan keuangan negara, atau penyidik tidak menemukan alat bukti lainnya untuk meningkatkan status dari tahao penyelidikan ke tahap penyidikan. Kemungkinan lainnya adalah nilai kerugian keuangan negara seluruhnya langsung ditindaklanjuti oleh auditan (pihak yang diaudit). Perlu diingat bahwa penanganan dugaan tipikor juga memiliki pendekatan pemulihan kerugian keuangan negara selain dari proses penegakkan hukum itu sendiri.
Tidak menutup kemungkinan pula APH dapat langsung meminta audit PKKN walaupun pelaksanaan audit investigasi belum selesai. Hal ini dapat dilakukan jika APH telah memiliki minimal 2 alat bukti untuk meningkatkan status dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Penyidik tidak hanya bergantung pada alat bukti surat berupa laporan hasil audit dalam melanjutkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini lumrah saja terjadi karena kewenangan yang dimiliki oleh APH. Secara hukum, kewenangan APH dalam melanjutkan atau menghentikan proses penyelidikan/penyidikan merupakan kewenangan mutlak yang melekat kepada APH selaku penyidik.
ADVERTISEMENT
Peran Penting Auditor
Posisi auditor dalam pengungkapkan dugaantipikor adalah sebagai mitra yang membantu APH melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Peran auditor sangat strategis karena auditor bekerja sesuai dengan bidang keahliannya, yaitu keahlian dalam bidang akuntansi dan auditing. Pelaksanaan audit sebagai instrumen dalam menentukan nilai kerugian keuangan negara sendiri tidak terpisahkan dengaan proses lainya, yaitu pemberian keterangan ahli.
Pemberian keterangan ahli oleh auditor, selaku ahli di bidang akuntansi dan auditing, dilakukan pada tahap penyidikan maupun pada saat persidangan. Mengingat krusialnya peran auditor dalam penanganan dugaan tindak pidana korupsi, maka proses pemberian keterangan ahli oleh auditor tidak dapat dikesampingkan. Keterangan ahli tersebut sangat diperlukan untuk membuat terang benderang suatu perkara.
Walaupun auditor memiliki posisi strategis dalam penanganan dugaan tipikor, auditor tidak sepenuhnya dapat bekerja sendiri. Auditor tetap bergantung pada penyidik untuk menyediakan data-data yang dibutuhkan dalam melaksanakan audit. Auditor juga tetap membutuhkan kolaborasi dengan ahli-ahli lainnya, yaitu ketika pelaksanaan audit bersinggungan dengan displin ilmu lain seperti ahli teknik, ahli pengadaan, ahli keuanga negara, maupun ahli lainnya. Kolaborasi apik antara APH, auditor, dan ahli lainnya sangat diperlukan untuk mengungkap setiap dugaan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT