Konten dari Pengguna

Reels: Candu Berbahaya Bagi Generasi Muda

M Hanif Yudhistira
Antropologi Budaya 21 Fakultas Ilmu Budaya UGM
23 Juni 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Hanif Yudhistira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat indonesia dilanda wabah Covid-19, pelaksanaan pendidikan nasional mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi terpaksa harus diakomodasi menggunakan media sosial seperti Whatsapp, Youtube, dan platform lainnya agar proses pembelajaran dapat tetap berjalan. Keterbatasan untuk bertemu secara tatap muka secara tidak langsung mengintegrasikan sosial media dengan sarana pembelajaran para siswa. Tidak heran, pasca-covid media sosial sudah tidak dapat dipandang sebagai sarana bersenang-senang dan menghabiskan waktu di internet belaka bagi anak-anak, tetapi sebagai instrumen vital untuk mendukung kegiatan belajar mereka.
ADVERTISEMENT

Babak Baru Media Sosial: Eksistensi Fitur Reels

Tanpa kita sadari, “babak baru” dari media sosial telah dimulai. Kini, fitur video singkat atau reels seperti Instagram Reels, Youtube Shorts dan TikTok menjadi bentuk baru media mainstream yang sangat mudah dan asyik untuk dinikmati masyarakat dari berbagai lapisan usia, terkhusus anak-anak dan remaja. Konten yang singkat dan padat informasi mendapatkan respon positif dari masyarakat di seluruh dunia, hal ini ditandai dengan menjamurnya fitur video singkat di berbagai platform media sosial yang awalnya dipelopori oleh TikTok pada akhir 2016.
Seiring dengan hadirnya fitur baru tersebut, bentuk “kecanduan medsos” pun ikut berubah. Sebelumnya, pola kecanduan media sosial dititikberatkan pada pemenuhan interaksi dan pencarian validasi melalui jumlah likes dan followers di media sosial. Kini pemenuhan “kebutuhan virtual” tersebut bahkan tidak memerlukan interaksi antar pengguna;
ilustrasi penggunaan media sosial
bersama orang lain di media sosial? Jawabannya terletak pada konten yang selalu membuat penonton penasaran dengan jumlah yang sangat banyak.
ADVERTISEMENT
Apabila kita merefleksikan kegiatan bersosial media kita sehari-hari, tentu kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam, atau bahkan menonton reels dimanapun dan kapanpun selama ada kesempatan untuk membuka smartphone kita. Kebiasaan yang dilanggengkan oleh orang dewasa membuat pola kecanduan ini sebagai hal biasa yang kemudian ditiru oleh kelompok usia muda; anak-anak yang belum memiliki kontrol diri atas apa yang ia lakukan.

Pengaruh Terhadap Pendidikan Anak

Stuart (2024) dalam artikel berjudul Failure to Influence menyatakan bahwa kecanduan media sosial disebabkan oleh dopamin. Senyawa ini dipicu oleh perasaan senang atau bahagia yang berkaitan dengan suatu kesuksesan, pencapaian tujuan atau mendapat sesuatu yang diharapkan; semua tentang reward. Kondisi tersebut kemudian membuat otak melepaskan dopamine sehingga kita mendapatkan perasaan puas. Keberhasilan untuk memuaskan rasa penasaran terhadap konten reels yang ditonton tentu turut memicu reaksi kimia tersebut di otak. Namun kita perlu mengingat kembali bahwa kuantitas dan aksesibilitas konten reels itu sangat tinggi, sehingga sangat sulit untuk berhenti menonton.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat bahwa dampak terhadap anak-anak lebih berbahaya daripada orang dewasa. Kesiapan mental dan ego yang belum stabil serta kesibukan yang relatif sedikit seakan menjadi pintu yang terbuka lebar bagi anak-anak untuk jatuh ke dalam lubang kecanduan media sosial. Dampak yang paling terlihat dari permasalahan ini adalah procrastinating atau kebiasaan menunda-nunda. Keinginan untuk terus menonton menyebabkan anak-anak makin enggan untuk belajar mandiri di rumah. Efek lain yang terjadi adalah penurunan attention span atau fokus anak terhadap sesuatu yang sedang mereka perhatikan. Bahkan dalam kasus yang lebih parah, kecanduan ini dapat menyebabkan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) pada anak. Menurut Betteridge et.al (2023) dampak ini disebabkan oleh kebiasaan mengonsumsi konten dengan durasi singkat seperti yang tersedia di reels.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Dengan perkembangan teknologi dewasa ini, posisi media sosial seakan menjadi pisau bermata dua: Mampu memenuhi kebutuhan informasi yang cepat dan praktis, tetapi faktor penyebab kecanduan disebabkan oleh fitur yang memang diciptakan untuk dikonsumsi secara intensif, bukan semata-mata kelalaian pengguna. Ironisnya, integrasi pendidikan dan teknologi yang telah dibangun dengan baik pada era digitalisasi pendidikan selama pandemi COVID-19, di mana anak-anak sudah sangat familiar dengan sosial media sebagai media pembelajaran, mereka juga harus menghadapi ancaman kecanduan yang mempengaruhi performa akademik mereka.
Siap atau tidak siap, orang tua dan institusi pendidikan perlu memberikan perhatian khusus terhadap isu ini, baik dengan meregulasi penggunaan media sosial anak, hingga pemberian kurikulum yang mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi berbagai tantangan di era digital.
ADVERTISEMENT
Referensi
Betteridge, B., Chien, W., Hazels, E., & Simone, J. (2023, September 5). How does technology affect the attention spans of different age groups? oxjournal. https://www.oxjournal.org/how-does-technology-affect-the-attention-spans-of-different-age-groups/. Diakses pada 23 Juni 2024 Pukul 04.39 WIB.
Stuart, M. (2024) Failure to Influence: Legislation Requiring Social Media Influencers to Disclose their Retouched Images