Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Obok-obok Pemerintah: Ekspor Air Minum Turunkan Kualitas Air di Dalam Negeri
26 September 2024 13:14 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yusep Maulana Sidiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah untuk mengekspor air minum memicu kritik tajam. Di tengah krisis air bersih yang masih melanda banyak wilayah di Indonesia, termasuk di kota-kota besar, akses air bersih bagi masyarakat lokal masih jauh dari memadai. Kebijakan ini dianggap memperburuk kondisi sumber daya air nasional, menurunkan kualitas dan kuantitas air yang seharusnya dinikmati oleh warga Indonesia.
ADVERTISEMENT
Air, sebagai sumber kehidupan menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Namun, di Indonesia, negara dengan cadangan air melimpah, justru mencuat ketika akses air bersih belum sepenuhnya dinikmati seluruh masyarakatnya. Di tengah tantangan tersebut, kebijakan pemerintah yang mendorong ekspor air minum kembali memicu perdebatan publik.
Meski berpotensi meningkatkan pemasukan negara, kebijakan ini dianggap memperburuk kondisi sumber daya air di dalam negeri, menurunkan kualitas dan kuantitas air yang tersedia bagi masyarakat Indonesia. Seiring meningkatnya jumlah kawasan kumuh, degradasi kualitas lingkungan, serta masalah akses air bersih yang terus berlarut-larut, kebijakan ini dipandang sebagai langkah yang tidak bijaksana dan kontras dengan realitas sosial di Indonesia.
Dalam penelitian yang berjudu "How Drinking Water Supply PPPs Last After 25 Years (1998–2023) Does It Work?" oleh Nicco Plamonia dan Krishna Suryanto (2024) , ditemukan bahwa kinerja sistem penyediaan air minum perpipaan di Jakarta dalam kerangka kerja sama PPP/BOT selama 25 tahun menunjukkan hasil yang jauh dari target. Meskipun cakupan layanan dimulai dari 32,69% pada tahun 1998, angka tersebut hanya meningkat menjadi 61% pada akhir periode kerjasama, jauh di bawah target awal sebesar 95%.
ADVERTISEMENT
Kegagalan ini diperparah oleh tingginya kehilangan air, yang awalnya ditargetkan turun menjadi 5% pada akhir masa kerjasama, tetapi faktanya mencapai 40%. Hasil ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam kinerja keuangan dan sistem, serta lemahnya pengawasan institusional yang memengaruhi hasil keseluruhan proyek.
Selain itu dikutip dari news.detik.com menurut Harsono dan Setiyono (2005), PAM JAYA dan kedua mitra swastanya diduga berkolusi untuk menurunkan target yang telah ditetapkan dalam kontrak pada 6 Juni 1997. Pemerintah awalnya berharap bahwa dengan melibatkan sektor swasta, profesionalisme yang dimiliki pihak swasta dapat ditransfer ke PAM JAYA sebagai perusahaan daerah. Namun, harapan tersebut tidak terwujud. Setelah 22 tahun kerja sama, konsumen masih belum bisa menikmati air perpipaan yang langsung layak minum di rumah.
ADVERTISEMENT
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, merupakan negara yang dikaruniai sumber daya air berlimpah, termasuk sungai, danau, serta cadangan air tanah yang cukup besar. Secara teoritis, Indonesia seharusnya tidak mengalami krisis air bersih.
Namun, kenyataannya, beberapa wilayah, terutama di perkotaan padat penduduk, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, justru mengalami krisis air bersih akibat urbanisasi yang tidak terkendali, perusakan lingkungan, dan infrastruktur yang kurang memadai.
Di sisi lain, daerah-daerah terpencil seperti Nusa Tenggara Timur dan sebagian wilayah Kalimantan, masih bergantung pada sumber air yang tidak layak untuk dikonsumsi. Ironi ini semakin terasa ketika ekspor air minum ke pasar internasional justru semakin didorong oleh pemerintah, seolah-olah kebutuhan air domestik sudah sepenuhnya terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Ekspor Air Minum, Kebijakan Ekonomi yang Kontradiktif?
Kebijakan ekspor air minum ini tidak lepas dari agenda besar pemerintah dalam meningkatkan devisa negara melalui berbagai sektor, salah satunya adalah komoditas air. Air, yang semakin dipandang sebagai "emas biru," menjadi komoditas berharga dalam perdagangan internasional, terutama dengan semakin menipisnya sumber daya air bersih di banyak negara.
Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah, memandang ini sebagai peluang ekonomi yang potensial. Namun, beberapa kalangan mempertanyakan apakah kebijakan ini justru mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal yang masih berjuang mendapatkan akses air minum layak.
Masalah ini tidak hanya terjadi di perkotaan besar, tetapi juga di pedesaan dan daerah terpencil, di mana banyak penduduk yang terpaksa mengandalkan air sungai atau sumur yang seringkali terkontaminasi. Keadaan ini semakin diperparah oleh buruknya infrastruktur dan sistem distribusi air di banyak daerah, yang menyebabkan air bersih tidak dapat menjangkau masyarakat secara optimal.
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan penelitian Nicco Plamonia dan Krishna Suryanto (2024) yang mengevaluasi 25 tahun kerja sama Public-Private Partnership (PPP) dalam pengelolaan air minum di Jakarta mengungkapkan bahwa target cakupan layanan jauh dari tercapai. Hanya 61% populasi Jakarta yang menerima air bersih, dan masalah kebocoran serta rendahnya efisiensi jaringan distribusi memperburuk situasi ini.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa masalah manajemen dan regulasi menjadi penghambat utama keberhasilan proyek ini, dan merekomendasikan perbaikan tata kelola serta peningkatan kualitas infrastruktur untuk menjamin ketersediaan air bersih bagi masyarakat
Namun, alih-alih fokus pada peningkatan infrastruktur dan kualitas layanan air dalam negeri, pemerintah justru memilih untuk mendorong ekspor air minum. Kebijakan ini memicu kritik dari berbagai kelompok, termasuk aktivis lingkungan dan pemerhati sosial. Mereka menilai bahwa prioritas kebijakan pemerintah yang terlalu fokus pada peningkatan pendapatan dari sektor ekspor air minum dapat berdampak buruk pada keberlanjutan ketersediaan air di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Dampak Ekspor Air pada Masyarakat Lokal
Kebijakan ekspor air minum juga berdampak signifikan pada masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kawasan-kawasan kumuh di Indonesia, yang terus tumbuh seiring urbanisasi dan ketimpangan pembangunan, seringkali mengalami masalah serius dalam hal akses air bersih dan layanan sanitasi yang memadai.
Berdasarkan penelitian yang berjudul "Peningkatan Tata Ruang Dan Kualitas Pemukiman Kumuh" oleh Rofik Shohibul Wafa, Bagas Armandia, Laras Tinata, Haikal Fahmi Herdyana (2023) menyebutkan 10 kecamatan di Kabupaten Ciamis, teridentifikasi adanya kawasan kumuh baru yang memiliki tingkat kerapatan penduduk tinggi, minim fasilitas sanitasi, dan kualitas air yang buruk. Kondisi ini membuat kawasan kumuh rentan terhadap berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
ADVERTISEMENT
Slum dan squatter, istilah yang merujuk pada kawasan kumuh di perkotaan, berkembang dengan cepat terutama sejak krisis moneter melanda Indonesia pada akhir 1990-an. Ekspansi kawasan-kawasan ini diperparah oleh masuknya pendatang dari desa yang mencari penghidupan di kota, sementara infrastruktur kota tidak mampu mengakomodasi lonjakan populasi ini.
Akibatnya, banyak penduduk yang tinggal di permukiman tanpa akses air bersih yang layak. Di beberapa daerah, warga bahkan terpaksa membeli air dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga rata-rata air PDAM, atau menggunakan air yang terkontaminasi untuk kebutuhan sehari-hari.
Ekspor air minum oleh pemerintah dinilai sebagai langkah yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Air yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah kumuh justru diekspor ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Tantangan Tata Kelola Air Menuju Solusi Berkelanjutan
Mengatasi masalah ini tentu tidak mudah. Sumber daya air Indonesia memang melimpah, tetapi pengelolaannya memerlukan perencanaan yang matang dan berkelanjutan. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pemerintah daerah sebenarnya telah diwajibkan untuk menyusun Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) serta Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP). Namun, implementasi di lapangan seringkali tidak berjalan optimal karena berbagai kendala, termasuk keterbatasan anggaran, buruknya koordinasi antarinstansi, serta masalah birokrasi yang kompleks.
Dalam skala yang lebih luas, kebijakan pemerintah mengenai ekspor air minum ini perlu dievaluasi kembali dengan mempertimbangkan kebutuhan domestik yang belum terpenuhi. Sumber daya air harus dikelola secara berkelanjutan, di mana hak-hak dasar masyarakat untuk mendapatkan akses air bersih menjadi prioritas utama. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan memperparah ketimpangan sosial dan lingkungan, serta memperburuk kualitas hidup masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Arah Kebijakan Air di Indonesia
Indonesia saat ini menghadapi dilema besar terkait pengelolaan sumber daya air. Di satu sisi, ekspor air minum dipandang sebagai peluang ekonomi yang menjanjikan. Namun, di sisi lain, kebutuhan domestik akan air bersih masih jauh dari tercukupi.
Dalam penelitian yang berjudul "Evaluating consumer insights in water services: perspectives on health benefits pricing tolerance, and continuous service demand" oleh Herawati Zetha Rahman, dkk. (2024) data yang dikumpulkan dari 54 peserta menunjukkan perbedaan signifikan antara pelanggan dan non-pelanggan terkait persepsi manfaat kesehatan dari layanan air bersih. Analisis menggunakan uji chi-square independensi menghasilkan X² = 12.528 dengan p-value sebesar 0.001904, menunjukkan bahwa pelanggan lebih cenderung mengakui manfaat kesehatan dibandingkan non-pelanggan. Validasi tambahan menggunakan uji Fisher’s exact menghasilkan p-value yang signifikan sebesar 0.000726, memperkuat hubungan kuat antara status pelanggan dan persepsi manfaat kesehatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola air di dalam negeri, krisis air bersih yang lebih besar mungkin hanya tinggal menunggu waktu. Sumber daya air yang melimpah seharusnya menjadi berkah bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan sekadar komoditas ekspor yang menguntungkan segelintir pihak.