Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kemana Arah Pemekaran di Papua, Kesejahteraan atau Penguatan Kolonialisme?
11 Mei 2022 16:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yusril Mukav tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Juru bicara Petisi Rakyat Papua Jefry Wenda, Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap dan lima aktivis rakyat Papua, dikabarkan ditangkap oleh aparat gabungan Jayapura pada pukul 12.30 WITA, Senin (10/5) di kantor Kontras Papua. Mereka ditangkap pasca menyerukan aksi damai penolakan atas agenda perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dalam waktu beberapa bulan terakhir menjadi isu krusial di provinsi Papua dan Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Di saat yang bersamaan, aksi penolakan terhadap rencana Jakarta memperpanjang Otsus dan pemekaran telah direspons oleh aparat gabungan dengan membubarkan demonstrasi. Ini dilakukan setelah terdapat pernyataan tegas dari Kapolresta Jayapura bahwa demonstrasi tersebut dilarang. Seperti biasanya, aparat kepolisian menggunakan dasar bahwa demonstrasi tersebut tidak mendapatkan izin.
Di Jayapura aparat gabungan dari kepolisian (Polresta dan Polda), TNI membubarkan para demonstran dengan tembakan gas air mata. Media Sindonews juga mengabarkan bahwa, "aparat kepolisian juga menyisir massa pendemo hingga ke pemukiman warga di kawasan Lingkaran Abepura".
Salah satu media di Papua, Jubi dalam akun Instragramnya merilis 3 video amatir yang menunjukkan tindakan represif aparat kepolisian. Dalam video tersebut, tidak didapati adanya negosiasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan para pimpinan demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu pimpinan pasukan kepolisian langsung melakukan upaya intimidasi dengan mengatakan, “Kamu punya demo, tidak ada izin yang keluar, saya kasih tau hitungan sampai tiga untuk bubar, kalau tidak bubar saya bubarkan”.
“Satu, dua, hajar!”, teriak salah satu personel kepolisian tersebut. Kemudian diikuti dengan tindakan represif personel kepolisian dengan alat gebuk dan tameng.
Terdapat pula rekaman video yang dirilis Jubi memperlihatkan bahwa para demonstran ditembaki menggunakan water cannon dengan jarak yang begitu dekat.
Memperkuat Aparat Kekerasan Negara, Mengangkangi Hak Asasi Masyarakat Papua
Pada Rabu, 6 April 2022 lalu, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Ini adalah respons yang terbilang cepat dari Legislatif dalam menangkap agenda Pemerintah. Diberitakan oleh detik.com, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan bahwa agenda pemekaran dilakukan guna mendukung percepatan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Tito ini tidak menunjukkan kemauan politik yang mengarah pada penyelesaian konflik kemanusiaan berkepanjangan yang terjadi di dua provinsi paling timur Indonesia tersebut. Dimulai dari seruan Tri Komando Rakyat yang dilakukan oleh Sukarno pada 1962, Papua menjadi daerah operasi militer. Ini membuat wilayah tersebut menjadi daerah terlama operasi militer sepanjang Indonesia merdeka.
Laporan lembaga swadaya masyarakat seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dan Amnesty Indonesia banyak memberikan laporan yang menujukkan begitu besarnya dampak operasi militer di wilayah tersebut terhadap krisis kemanusiaan di Papua dan Papua Barat. Pasalnya, adanya militer di provinsi-provinsi tersebut, seperti yang dijelaskan dalam studi McKenna (2015) berjudul, Corporate security practices and human rights in West Papua, tidak hanya berhubungan dengan kepentingan pemerintah dalam mengamankan proyek-proyek infrastruktur milik negara. Namun juga berhubungan dengan bisnis jasa pengamanan perusahaan-perusahaan lokal ataupun internasional yang beroperasi di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kolonialisme dalam Agenda Pemekaran?
Dikutip dari majalah Tempo (16/05) dengan rubrik liputan berjudul “Wajah Pecah Papua”, isu mengenai pemekaran sudah mulai disuarakan oleh Tito Karnavian sejak 10 hari dia dilantik menjadi Mendagri. Awalnya, Jakarta terganjal regulasi UU Otsus mengenai pemekaran DOB. Salah satu pasal mensyaratkan agenda pemekaran harus mengantongi persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Hingga pada 21 Juli 2021, Undang-Undang Otsus berhasil diubah. Memungkinkan pemerintah pusat melangkahi MRP dan DPR Papua. Sikap MRP menunjukkan keselarasan dengan gerakan penolakan dari gerakan akar rumput. Mereka terus menyuarakan penolakannya terhadap agenda pemekaran.
Dari sudut pandang Jakarta, adalah sebuah langkah yang tepat ketika Jokowi memilih Tito Karnavian sebagai Mendagri. Karnavian, adalah mantan Kapolda Papua (2012-2014). Di waktu ia menjabat, wilayah kerjanya meliputi seluruh Pulau Papua. Karnavian memahami betul peta konflik di seluruh tanah tersebut. Maka tidaklah mengherankan ketika dirinya menyatakan bahwa faktor keamanan adalah salah satu faktor pertimbangan dibutuhkannya pemekaran.
ADVERTISEMENT
Pemekaran secara langsung akan melahirkan elite-elite politik lokal baru yang kepalanya diikat kepentingan Jakarta. Ini sejalan juga dengan akan ditempatkan juga markas-markas militer baru di daerah-daerah pemekaran yang dibangun.
Konsekuensi lain, pembagian unit-unit kecil teritori dalam pemekaran akan berdampak pada tersendatnya pengintegrasian budaya bersama masyarakat di tanah Papua. Ini mirip seperti apa yang dilakukan oleh Belanda terhadap masyarakat Nusantara – mempertahankan dinamika politik pecah belah pasca Majapahit runtuh agar dapat dikendalikan sesuai dengan kepentingan kolonialisme.
Watak seperti ini terlihat jelas dalam agenda pemekaran di Papua. Perlawanan akar rumput yang sebenarnya mulai terlihat semakin kompak pasca gerakan anti rasisme tiga tahun silam, coba diredam dalam setiap penolakannya terhadap agenda Jakarta. Termasuk dalam rencana pemekaran hari ini.
ADVERTISEMENT
Di tingkatan politik elektoral, suara para pejabat mulai berangsur-angsur diabaikan dengan meregulasi ulang UU Otsus dan tidak dianggap menariknya MRP untuk diajak berunding. Malah, Karnavian gencar melakukan gerilya lobi politik dengan elite nasional di Jakarta. Apakah Orang Asli Papua? Jelas bukan.
Pasalnya, pemekaran daerah harus dimaksudkan, mengutip Pasal 76 ayat 2 UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus, “mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua”. Menjadi janggal ketika proses pemekaran mengabaikan MRP dan menggebuk sipil di jalanan yang menyuarakan secara damai penolakannya.
Kejanggalan lain terdapat pada fakta di lapangan mengenai populasi Orang Asli Papua (OAP). Semakin hari, populasinya semakin menurun dan hari ini menjadi minoritas tak sebanding dengan laju transmigrasi manusia dari luar pulau Papua. Dan tren penyingkiran OAP dalam aspek jumlah akan terus berlanjut. Bahkan jika mengutip Jim Elmslie (2013) dalam jurnalnya berjudul, A slow-motion genocide: Indonesian rule in West Papua, yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Wollongong, Australia, penyingkiran OAP akan semakin massif.
ADVERTISEMENT
Jika di satu sisi agenda pemekaran terus dilakukan, di lain hal populasi OAP semakin menjadi minoritas di tanahnya sendiri maka memang sewajibnya kita layak bertanya: pemekaran ini untuk siapa? Dan tidak mengherankan juga, gerakan akar rumput rakyat Papua semakin bergairah dalam menunjukkan perlawanannya terhadap Jakarta.