Konten dari Pengguna

Menerawang Pemekaran di Ujung Timur

Yusril Mukav
Penulis merupakan mahasiswa aktif Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
20 Juli 2022 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusril Mukav tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Yusril Mukav
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Yusril Mukav
ADVERTISEMENT
DPR RI baru saja mengesahkan tiga RUU Pembentukan Provinsi di Papua menjadi Undang-Undang. Tiga provinsi baru tersebut adalah Papua Selatan, Papua Tegah, dan Pegunungan Tengah. Di saat yang bersamaan, dalam kurun beberapa bulan terakhir belasan ribu rakyat Papua telah melakukan demonstrasi penolakan terhadap kebijakan baru dari Jakarta tersebut. Setidaknya di Sorong, Kamiana, Manokwari, Nabire, Paniai, Yahukimo, Wamena, Jayapura, dan Jayapura massa yang tergabung dari masyarakat sipil dan mahasiswa melancarkan aksi massa serentak di tanggal 1 April 2022. Di luar tanah Cendrawasih, aksi yang didominasi oleh mahasiswa Papua dilancarkan di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, dan Yogyakarta. Selain menolak pemekaran, gerakan rakyat Papua juga menyuarakan penolakannya terhadap perpanjangan Otonomi Khusus dan Hak Menentukan Nasib Sendiri. Mobilisasi tersebut merupakan seruan yang terorganisir dari sebuah aliansi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP).
ADVERTISEMENT
Kontradiksi antara gerakan sipil di tanah Papua dengan Jakarta semakin menajam dalam kurun beberapa tahun ke belakang. Diperlihatkan dari semakin meluasnya gerakan politik dan hak asasi manusia. Salah satu yang mengejutkan Jakarta adalah gerakan rakyat Papua pasca kasus rasisme sekitar 2 tahun lalu. Dari momen tersebut, Jakarta seperti merasa kecolongan. Berbagai kebijakan destruktif dikeluarkan—dari penambahan prajurit militer, penetapan tentara sipil kemerdekaan Papua sebagai teroris. Hingga, penetapan tiga provinsi baru. Apakah penetapan tiga provinsi baru ini merupakan langkah tepat untuk menyelesaikan problem kemanusiaan di Papua?
Desentralisasi, Elit Lokal, dan Misi Pecah Belah
Pasca reformasi desentralisasi diterapkan. Pratikno, dalam tulisannya berjudul ‘Exercising freedom: Local autonomy and democracy in Indonesia’ yang dimuat dalam buku kumpulan tulisan ‘Regionalism in Post-Suharto Indonesia’ (2005) menyatakan bahwa desentralisasi dimaksudkan untuk menghidupkan pengambilan keputusan di daerah. Pernyataan yang hampir serupa diungkapkan oleh Ryaas Rasyid dalam tulisannya berjudul 'Regional Autonomy and Local Politics in Indonesia' (2003).
ADVERTISEMENT
Masyarakat bangsa yang belum genap 100 tahun ini dinamis dan penuh dengan kontradiksi yang melahirkan kondisi ekonomi politik baru. Indonesia pasca Reformasi 1998 menunjukkan bahwa, kondisi ekonomi politik dalam negeri berubah menjadi tersebarnya kekuasaan di banyak tangga. Semakin banyak jalur tangga kekuasaan, membuat elit atau calon elit lokal mempunyai banyak pilihan untuk memilih tangga tersebut untuk mengakomodir kepentingan mereka.
Praktik elit lokal sejalan dengan kepentingan Jakarta yang membutuhkan kepala-kepala di basis daerah. Di Papua, ini difungsikan untuk mengakomodasi kepentingan mempertahankannya tetap ada dalam batas teritori kekuasaan Indonesia. Sehingga politik membagi-bagi daerah menjadi unit-unit teritori kecil diimajinasikan dapat menghambat pengintegrasian budaya bersama masyarakat akar rumput di tanah Papua. Karena akan semakin banyak politisi daerah yang dipegang kepalanya untuk menjalankan kepentingan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pemekaran juga berimplikasi perpecahan antara masyarakat dan politisi lokal. Buktinya, perebutan ibu kota provinsi telah terjadi. Tentunya, kekuatan kecil dan kelompok yang terpecah akan sulit menghadapi kekuatan besar dan terorganisir. Itulah keinginan pemerintah pusat hari ini dalam menangani masalah kemanusiaan di tanah Papua.
Wataknya menjadi mirip seperti dinamika sejarah kolonialisme Eropa terhadap masyarakat Kepulauan Nusantara seperti yang dijelaskan oleh Lane dalam ‘Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa, dan Sejarah Indonesia’ (2014). Ia mengatakan,
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Papua, model seperti ini menjadi semakin jelas ketika perwakilan Majelis Rakyat Papua bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD di Jakarta bersama dua deputinya. Seperti yang diberitakan oleh Tempo, salah satu deputi Mahfud menjelaskan bahwa pemekaran dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak organisasi rakyat yang berhimpun untuk perjuangan hak menentukan nasib sendiri. Karena tujuan tersebut, MRP diminta untuk tidak banyak mengintervensi agenda ini.
Perkataan tersebut juga secara langsung menjadi kontra produktif dengan semangat yang tertuang dalam Pasal 76 Undang-Undang No 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Jika kita mengacu pada pasal tersebut dan menghubungkannya dengan perkataan deputi Mahfud, setidaknya terdapat dua tujuan yang bertentangan dengan praktik pemekaran hari ini. Pertama, pemekaran dilakukan tanpa persetujuan MRP. Kedua, pemekaran tidak dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua.
ADVERTISEMENT
Otonomi Khusus yang 'Mlempem'
Di tahun 2005, pasca Indonesia mengadopsi dua Konvenan Kembar (International Covenant on Civil and Political Rights dan the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right, pemerintah mendeklarasikan bahwa hak untuk penentuan nasib sendiri seperti yang tertuang dalam Pasal 1 konvensi tersebut, tidak berlaku.
Dalam studi Hukum Internasional, kita mengenal apa yang disebut sebagai hak penentuan nasib sendiri dari dalam (internal self-determination). Chnoso Ijezie dalam buku 'Right of People to Self Determination in the present International Law'
(2013) menjelaskan bahwa hak penentuan nasib sendiri dari dalam adalah bentuk Partisipasi demokrasi, federalisme, konfederalisme, unitarisme, regionalism, pemerintahan lokan, pemerintahan sendiri dari dalam negeri atau pengaturan lain yang bersandar pada harapan dari rakyat tetapi juga sejalan dengan kedaulatan dan integritas teritorial negara.
ADVERTISEMENT
Dari teori tersebut, dan menghubungkannya dengan realita kebijakan pemekaran 3 provinsi baru dan/atau otonomi khusus yang selama ini menjadi wujud internal self-determination di Papua, kita dapat melihat jarak idealita dan realita. Bahwa mekanisme hak menentukan nasib sendiri dari dalam semakin menunjukkan kemandulannya dalam menjamin kesejahteraan masyarakat asli Papua. Kemanusiaan dan kedaulatan masyarakat seharusnya ditempatkan di atas segalanya. Ketika kebijakan hak menentukan nasib sendiri dari dalam tidak dapat menjawab permasalahan kemanusiaan di tanah Papua, sudah seharusnya kita melihat kemungkinan solusi lain. Apakah itu hak menentukan nasib sendiri dari luar, atau solusi lain? Semua itu harus dikembalikan pada masyarakat asli Papua. Pemerintah dan masyarakat non Papua seharusnya hanya berkewajiban menjamin suara-suara itu dapat keluar dalam suasana yang demokratis.
ADVERTISEMENT