Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Satu Bulan Tragedi Kanjuruhan dan Imajinasi Perubahan Sepakbola Indonesia
4 November 2022 13:16 WIB
Tulisan dari Yusril Mukav tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 1 Oktober 2022 lalu, peristiwa kelam terjadi di Indonesia. Tidak hanya duka bagi dunia sepak bola dunia, namun juga kemanusiaan universal. Bagaimana tidak? Sebanyak 135 nyawa melayang di Stadion Kanjuruhan, Malang dalam satu malam pasca Wasit Agus Fauzan meniup peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan Arema vs Persebaya. Penelurusan Narasi.tv yang dipublikasikan dalam bentuk berita investigatif, film dokumenter yang dirilis oleh Persebaya, dan video berjudul “Menit-menit Menuju Maut di Kanjuruhan” yang diunggah oleh Kumparan memberi gambaran jelas kepada publik bahwa begitu mencekamnya malam itu. Namun setelah satu bulan berlalu, hal apa yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi resmi? Organisasi-organisasi yang di tubuhnya melekat tanggung jawab untuk melindungi keselamatan seluruh orang dalam sebuah pertandingan sepak bola tanah air—Pemerintah, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB).
ADVERTISEMENT
Pasca peristiwa, berbagai macam organisasi pemerintah dan non-pemerintah membentuk tim-tim investigasi. Pemerintah, melalui Kementerian Politik Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam) membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dengan diketuai langsung oleh Menteri Politik Hukum dan HAM (Polhukam) Mahfud M.D. Terdapat pula tim khusus yang diterjunkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman. Di sektor non-pemerintah terbentuk Koalisi Masyarakat Sipil yang di dalamnya terdiri dari beberapa Non-Govermental Organization (NGO) di Indonesia.
Hasil Kerja Tim-Tim Investigasi
Beberapa temuan penting didapat dari masing-masing tim tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil menemukan bahwa mobilisasi aparat keamanan yang membawa gas air mata dilakukan pada tahan pertengahan babak kedua. Pengerahan ini berujung pada penggunaan kekuatan berlebih aparat pengaman yang bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
ADVERTISEMENT
Sedangkan TGIPF menemukan beberapa temuan penting mengenai para stakeholder penyelenggaraan Liga. Pertama, PSSI tidak melakukan sosialisasi yang memadai tentang regulasi FIFA dan PSSI kepada penyelenggaraan pertandingan mengenai keamanan dan keselamatan dalam sebuah pertandingan. Kedua, adanya kecenderungan cuci tangan PSSI terhadap berbagai insiden/musibah dalm penyelenggaraan pertandingan yang dilegitimasi dengan regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI 2021. Ketiga, adanya regulasi PSSI yang dapat mengakomodir potensi terciptanya conflict of interest dalam struktur kepengurusan yang diperbolehkan berasal dari pengurus/pemilik klub.
Untuk PT. Liga Indonesia Baru (LIB), TGIPF menemukan bahwa penyelenggara liga ini mengabaikan beberapa hal penting dalam menyelenggarakan pertandingan. Seperti, pertandingan dengan potensi bahaya tinggi, rekam jejak reputasi ketua panitia pelaksana, dan supervise stadion tidak dilakukan secara optimal. Selain itu, TGIPF juga menyoroti peran suporter yang mengabaikan berbagai larangan yang berlaku di dalam stadion seperti memasuki lapangan, melempar flare, mengeluarkan ucapan bersifat provokatif dan melawan petugas serta melakukan tindakan melawan petugas.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pihak kepolisian telah menetapkan 6 tersangka dalam tragedi ini. Salah satunya adalah Ahmad Hadian Lukita, Direktur Utama PT LIB.
Apa yang menjadi sorotan adalah rekomendasi oleh TGIPF. Beberapa hal yang penting adalah mendorong PSSI untuk segera menggelar Kongres Luar Biasa untuk merombak kepengurusan organisasi serta merevisi berbagai macam regulasi yang mengakomodir conflict of interest serta tanggung jawab keamanan dan keselamatan dalam pertandingan.
Terakhir, Komnas HAM menemukan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Laporan Komnas HAM setebal 110 halaman tersebut rencananya akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo. Ntah apa yang akan dilakukan pasca laporan tersebut diserahkan kepada Presiden.
Respon Publik
Respon masyarakat berkembang meluas pasca peristiwa tersebut. Kemarahan dan kekecewaan umum masyarakat dimanifestasikan dalam seruan tagar #usuttuntas. Organisasi kaum muda Blok Politik Pelajar menggalang petusi Refuse Tear Gas di change.org yang telah mendapatkan puluhan ribu dukungan dari publik. Publik luas juga terus memantau serta mengomentari di media sosial terkait sikap PSSI yang terlihat tidak memiliki rasa duka setelah Iwan Bule justru bermain bola dengan Presiden FIFA Gianni Infantino. Ini menambah kekecewaan publik kepada dua organisasi induk sepak bola tersebut setelah FIFA memutuskan untuk tidak memberikan sanksi kepada PSSI atas tragedi paling buruk dalam sejarah sepakbola modern tersebut.
ADVERTISEMENT
Publik juga mendorong untuk segera dilakukannya Konferensi Luar Biasa dalam tubuh organisasi PSSI. Ini bersamaan dengan tuntutan #iwanbuleout sebagai bentuk pertanggung jawaban pimpinan tertinggi organisasi sepakbola tanah air. Tuntutan untuk segera menyelenggarakan KLB ini selain muncul dari kalangan suporter, juga disuarakan oleh dua klub Liga 1, Persis dan Persebaya.
Perubahan Sistematis dan Struktural yang Kita Mau
Terdapat beberapa hal yang luput jika kita melihat respon-respon yang muncul dari berbagai kalangan—pemerintah maupun non-pemerintah. TGIPF, sepanjang kerjanya selama 9 hari gagal melihat peristiwa yang terjadi dan menewaskan 135 orang tersebut terindikasi sebagai pelanggaran HAM berat. TGIPF juga gagal melihat bahwa terdapat upaya sistematis oleh pihak kepolisian untuk menutup-nutupi dan menghalangi pencarian fakta guna mengungkap kronik peristiwa seterang-terangnya. Ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa upaya intimidatif pihak kepolisian terhadap para saksi dan korban, serta tidak dilakukannya reka ulang penembakan gas air mata dalam rekonstruksi kasus.
ADVERTISEMENT
Tindakan-tindakan tersebut sekaligus memberikan pertanyaan besar mengenai konflik kepentingan apa yang terjadi di dalam tubuh PSSI dan Polri. Mengingat bahwa Iwan Bule merupakan Purnawirawan Polri. Sehingga, selain dibutuhkan tim pencari fakta yang benar-benar independen yang dilengkapi dengan sistem perlindungan hukum yang kuat bagi tim serta saksi dan korban, publik secara simultan juga perlu untuk memperjelas tuntutan terhadap para pemangku kebijakan.
Selama ini, para pecinta sepak bola Indonesia telah mengetahui bagaimana besarnya potensi konflik kepentingan di dalam tubuh PSSI. Seperti yang telah disampaikan oleh TGIPF, potensi konflik kepentingan ini tercermin dalam kepengurusan PSSI yang bercampur aduk dengan para stakeholder dan shareholder klub.
Misal, Pieter Tanuri yang memiliki saham Bali United serta klubnya yang menanamkan saham ke mitra perusahaan pemegang hak siar pertandingan—vidio.com (Emtek). Pieter merupakan komite media dalam susunan Komite Eksekutif PSSI. Selain Pieter, terdapat pula Yoyok Sukawi yang berafiliasi dengan PSIS Semarang (CEO). Di PSSI, ia merupakan anggota Komite Eksekutif bagian Pengembangan Usia Muda. Sehingga potensi tarik ulur kepentingan yang bernuansa politik amatir sangat kental di dalam tubuh organisasi ini. Maka tidak heran jika ketidak mampuan merespon krisis tragedi kanjuruhan tercermin sangat jelas.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, desakan usut tuntas perlu dikongkritkan pada sebuah tuntutan yang kongkrit. Bukan hanya meminta pertanggung jawaban Iwan Bule untuk mundur dari tampuk kekuasaan tertinggi PSSI, namun juga mendesak kepolisian untuk mengadilinya di meja hijau. Tuntutan lain yang juga menjadi penting adalah mendesak kepolisian untuk memeriksa, mengadili, hingga menjatuhkan sanksi pidana kepada pimpinan perusahaan pemegang hak siar liga. Publik paham betul mengapa tragedi Kanjuruhan ini dapat terjadi dan apa peran pemegang hak siar dalam mempertahankan jadwal pertandingan malam hari.
Di luar kasus khusus Kanjuruhan, perbaikan sistematis dan struktural dalam dunia sepak bola tanah air hari ini juga merupakan hal yang penting untuk dijalankan. Tuntutan untuk penyelenggaraan KLB yang bersih dan transparan perlu diikuti dengan pengawasan dari kalangan suporter. Bahkan jika perlu, berjalannya konverensi harus dapat diakses oleh publik luas. Ini perlu dilakukan mengingat bahwa KLB adalah ruang politik yang hari ini diisi oleh orang-orang penuh intrik dan manuver seperti bajaj Jakarta ketika hendak menaikkan atau menurunkan penumpang.
ADVERTISEMENT
Selain pengawasan KLB, mendesak untuk menghentikan keterlibatan aparat kepolisian, militer, serta politisi praktis dalam dunia sepak bola di Indonesia merupakan tuntutan yang penting untuk dimenangkan. Tragedi Kanjuruhan, dan peristiwa-peristiwa kelam sebelumnya di dunia sepak bola Indonesia telah menunjukkan bahwa orang-orang dari kalangan tersebut tidak berkompeten menyelesaikan masalah. Tanpa merombak jajaran pengurus, perbaikan regulasi yang lebih baik dan melindungi hak setiap subjek yang ada dalam dunia sepak bola tanah air hampir dipastikan sulit untuk diwujudkan.
Desakan kuat dapat dilakukan dengan terus melakukan boikot liga jika tuntutan tidak diakomodir. Tentunya boikot ini membutuhkan gerakan yang kompak secara luas dari seluruh kalangan pecinta sepak bola di Indonesia. Gerakan akar rumput suporter perlu menjahit persatuan tersebut secara nyata dengan melakukan konsolidasi-konsolidasi umum.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya selanjutnya adalah, siapkah kita bersatu untuk mengakhiri konflik horizontal dan menciptakan pertarungan secara vertikal? Tanpa persatuan tersebut, pengusutan secara tuntas tragedi kanjuruhan kiranya sulit untuk diwujudkan dan perubahan sistemik masih akan menjadi fatamorgana.