Konten dari Pengguna

Pesta Pemilihan Raya Mahasiswa : Antara Demokrasi VS (OTOT)krasi

Yusron Ashalirrohman
Mahasiswa Fakultas Hukum, Prodi Ilmu Hukum Universitas Mataram
25 Desember 2024 9:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusron Ashalirrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Getty images/Antara Demokrasi dan ototkrasi.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Getty images/Antara Demokrasi dan ototkrasi.
Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) merupakan penjawantahan proses demokrasi yang dilaksanakan di kampus untuk memilih Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa. Namun, menjadi pertanyaan mendasar apakah proses pesta demokrasi kampus yang dilaksanakan setahun sekali itu telah dilaksanakan sesuai dengan asas dan prosedur demokrasi konstitusional? Apakah ototkrasi akan terus dibiarkan membunuh demokrasi? Maka ini yang menjadi renungan bersama guna membangun pesta demokrasi kampus yang inklusif dan pada akhirnya melahirkan demokrasi susbtansial dan mematikan secara permanen ototkrasi.
ADVERTISEMENT
PELAKSANAAN DEMOKRASI KAMPUS
Pemira merupakan distribusi dan re-distribusi kekuasaan sesuai dengan asas-asas teori karakyatan secara konstitusional. Pembelajaran proses demokrasi kampus harapanya adalah sebagai wadah belajar dan mematangkan kesiapan generasi bangsa guna mengambil tongkat estafet pesta demokrasi nasional yang diselenggarakan secara serentak dalam lima tahun sekali.
Namun demikian, rupa-rupanya keinginan itu tidak semudah menghitung 1 + 1 = 2. Angan-angan pelaksanaan demokrasi kampus yang substansial ternyata terhalangi dengan lawan dari pada demokrasi yaitu ototkrasi. Ototkaris berusaha terus mencacatkan demokrasi bahkan secara terstruktur dan sistematis. Peranan dan kekuatan dari ototkrasi untuk terus mencacatkan demokrasi menyebabkan pesta demokrasi kampus jauh dari kategori demokrasi yang berintegritas, berwibawa, berkeadilan dan bermartabat.
Pilihanya hanyalah dua, jika kita mengedepankan pembangunan demokrasi yang hakiki maka kita akan mencapai yang disebut dengan electoral democracy. Artinya, pelaksanaan pemira sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sebaliknya, jika kita mengedepankan ototkrasi maka kita sangat dekat dengan demokrasi yang konservatif dan kemudian melahirkan electoral autocracy. Ini bermakna bahwa, pemira ada namun dilaksanakan untuk keuntungan satu golongan semata. Maka dengan demikiran, pemira hanya proses prosedural belaka dan penjarahan demokrasi akan terus terjadi oleh ototkrasi.
ADVERTISEMENT
DESAIN IDEAL PEMILIHAN RAYA MAHASISWA
Demokrasi bukan hanya tentang format emosional namun bagaimana kita menganut format susbtansial. Fakultas Hukum di Indonesia harus menjadi role model pelaksanaan pemira. Dengan begitu, cita-cita Indonesia emas mengenai demokrasi substansial sesuai dengan Undang-Undang 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang dapat tercapai.
Maka berbicara desain ideal kedepan, guna memenangkan demokrasi dan mematikan ototkrasi perlu adanya pembangunan hukum yang inklusif. Berdasarkan teori efektivitas hukum Lawrence M Friedman maka perlunya beberapa langkah sebagai berikut: Pertama, dari sisi legal susbtance. Perumusan aturan pemira perlu melibatkan pihak yang memiliki kompeten untuk itu baik dari unusr dosen maupun unsur mahasiswa. Menjamin pengaturan guna kepastian hukum dan pada akhirnya kemaanfaatan dan keadilan hukum. Instrumen hukum yang mengatur mulai dari lembaga pemira, tahapan pemira, syarat-syarat peserta pemira, sanksi pemira, hingga perselisihan pemira.
ADVERTISEMENT
Kedua, dari sisi legal structure. Penguatan lembaga pemira menjadi titik kunci baik dari segi kualitas dan profesionalitas. Sebab, lembaga pemira memegang peranan penting untuk menjaga dan memilih apakah menghidupkan demokrasi atau ototkrasi. Dalam konteks pemilu, Holly and Garnet menyatakan pemilu yang berintegritas dan berkualitas ditentukan 50% baik atau tidaknya lembaga pemilu. Mari berandai-andai, jika saja lembaga pemira dibentuk 1 bulan sebelum proses pemira maka lembaga pemira tidak ada bedanya dengan panitia acara pada umumnya dengan proses dan tahapan pemira yang secepat kilat. Kelembagaan pemira sangat mungkin dibentuk secara permanen atau dibentuk ad-hoc 6 bulan sebelum proses pemira. Dengan demikian, lembaga pemira tidak hanya sebagai panitia dalam pesta demokrasi kampus namun juga menjadi garda terdepan untuk menyiarkan demokrasi subtansial di kalangan mahasiswa. Ketiga, dari sisi legal culture. Pemberdayaan untuk melahirkan pemilih berdaya sebagai penopang pembangunan sumber daya manusia, meningkatkan partisipasi pemilih dan meminimalisir angka golput.
ADVERTISEMENT
Demokrasi tanpa hukum , bisa liar. Sebaliknya, hukum tidak dibuat secara demokratis adalah kezaliman. Gerakan mulai membiasakan yang benar, bukan membiasakan yang biasa adalah kewajiban. Jika ingin pesta demokrasi substansial di lingkungan kampus lahir, maka ototkrasi harus dimatikan secara permanen dan demokrasi susbtansial menjadi pemain tunggal dalam pemira.