Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Nuklir, Mungkinkah Pilihan Terakhir?
5 Maret 2022 18:41 WIB
Tulisan dari Yustantiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dinda baru saja melewati Kawasan Puspiptek, Serpong. Ia baru dari rumah sahabatnya di Pengasinan, Bogor, menuju kampus di Kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Perempuan usia 20 tahun ini sudah berkali-kali melewati jalan itu dengan motor butut kesayangannya. Maklum, rumah sahabat kentalnya, Sarah, berada di Pengasinan, tak jauh dari perbatasan Bogor dan Serpong. Kawasan yang masih sangat asri ini bikin Dinda selalu semangat ke rumah Sarah, tak lain dan tak bukan karena mereka sering mengerjakan tugas kuliah bersama.
ADVERTISEMENT
Namun, entah mengapa, hari itu, baru terbersit di pikiran Dinda, apa yang ada di dalam Kawasan Puspiptek itu? Saat ia bertanya kepada Sarah, yang ia boncengi siang itu, Sarah malah tertawa, heran mengapa Dinda baru menanyakan hal tersebut.
“Disitu ada reaktor nuklir, lho!”, suara Sarah dibikin seseram mungkin. Masih mengendarai motor bututnya, Dinda kaget bukan kepalang. Reaktor nuklir? Kok bisa?
Pikirannya lantas teringat pada berita online yang santer belakangan ini. Invansi Rusia ke Ukraina dikecam oleh banyak pihak. Rusia bahkan telah melancarkan serangan ke Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terbesar di Ukraina, Zaporizhzhia. Bulu kuduknya seketika bergidik, bagaimana kalau hal serupa terjadi di Indonesia?
Ya, banyak masyarakat yang tidak tahu, bahwa Indonesia punya reaktor nuklir. Tak tanggung-tanggung, ada 3 reaktor nuklir untuk riset, di 3 lokasi yang berbeda; di Serpong, Bandung, dan Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Dinda hanya satu dari sekian banyak orang yang belum tahu mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir di Indonesia. Kontras dengan ketidaktahuan itu, sebenarnya Indonesia sudah puluhan tahun menyiapkan penguasaan teknologi nuklir, mulai dari sumber daya manusia, fasilitas, penguasaan teknologi, hingga peraturan terkait.
Undang-undang Energi No. 30 Tahun 2007 menyebutkan bahwa energi nuklir termasuk dalam kelompok energi baru. Kemudian, “niat baik” bangsa ini untuk menggunakan energi nuklir diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014, tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada peraturan tersebut, disebutkan bahwa pemanfaatan nuklir digunakan dengan mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir, dan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.
Sebetulnya, PP tersebut merupakan salah satu cerminan sikap pemerintah untuk mempertimbangkan nuklir menjadi bagian dari energi. Jika ditelisik, Kawasan Nuklir Serpong yang menjadi bagian dari Kawasan Puspiptek, merupakan ‘miniatur’ industri nuklir yang sebenarnya. Penulis sempat berbincang-bincang dengan Pengembang Teknologi Nuklir (PTN) Utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Suparman. Pria kelahiran 58 tahun silam ini menceritakan bahwa Kawasan Nuklir Serpong dulu dinamakan science technology based, artinya teknologi-teknologi yang dibangun untuk mempersiapkan pembangunan PLTN.
ADVERTISEMENT
Para periset kita juga sudah lama mempelajari penguasaan teknologi, mulai dari penambangan bahan uranium, teknologi bahan bakar, teknologi reaktor, hingga teknologi pengelolaan limbah nuklir. Begitu pula dari sisi penyiapan tapak PLTN yang telah selesai dilakukan studi kelayakan tapak di Jepara dan Bangka Belitung.
Teranyar, atas permintaan pemerintah Kalimantan Barat, para periset kita melakukan studi tapak yang berlokasi di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Sumber daya manusia juga telah disiapkan dengan adanya kampus-kampus yang mencetak lulusan-lulusan teknik nuklir seperti UGM, ITB, dan Poltek Nuklir BRIN.
Untuk mewujudkan PLTN di Indonesia, perlu komitmen kuat dari pemerintah. Komitmen ini perlu diwujudkan dengan pembentukan Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO), organisasi yang mengoordinasikan program PLTN.
ADVERTISEMENT
Namun, jika melihat kembali pada kata ‘pilihan terakhir’, tampaknya pemerintah masih maju mundur dalam memposisikan nuklir sebagai bagian dari transisi energi. Hal ini sangat disayangkan, mengingat founding fathers kita sudah sekian lama mempersiapkan penguasaan teknologi nuklir.
Isu transisi energi pada perhelatan G20 semestinya dapat memperkuat kembali posisi nuklir sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam mencapai nol emisi karbon (net zero emission) pada tahun 2060.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa bicara nuklir tak sekedar energi bersih, tapi lebih dari itu. Negara yang punya energi nuklir, pastilah secara politis akan disegani oleh negara-negara lainnya.
Memang, stigma masyarakat bahwa nuklir itu menakutkan tidak bisa diabaikan, karena peristiwa kecelakaan PLTN Chernobyl, PLTN Fukushima Daiichi, dan terakhir, invansi Rusia yang terang-terangan menyerang PLTN Zaporizhzhia. Fakta tersebut kemudian diperparah dengan disinformasi yang berseliweran di jagat maya.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diingat, bahwa para periset kita sudah lebih dari 50 tahun mengoperasikan reaktor nuklir dengan aman dan selamat. Pun demikian, literasi dan informasi harus didudukkan secara utuh mengenai manfaat dan bahaya nuklir. Agar generasi penerus bangsa, seperti Dinda, dapat dengan cermat menakar nuklir, dan semoga, bukan benar-benar pilihan terakhir.