Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Mata Angin Pulang
14 Desember 2020 9:44 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Jadi begini akhir petualangan ini," gumam saya kepada diri sendiri sebelum membuka pintu rumah. Akhir Maret 2014. Musim semi. Menjelang pukul 10.00 pagi waktu London.
ADVERTISEMENT
Setelah mencium istri, memeluknya, berfoto bertiga bersama anak semata wayang untuk terakhir kalinya di depan rumah kami di kawasan Shooters Hill, London Tenggara, saya berangkat menuju bandar udara Gatwick.
Saya diantar anak dan seorang bekas rekan kerja di Manchester City asal Malaysia yang berbaik hati meluangkan waktu untuk mengantar. Istri tidak ikut karena ada janji untuk menyelesaikan urusan penjualan rumah kami dengan agen.
Hari itu saya pulang ke Indonesia untuk seterusnya. Istri akan menyusul—atau lebih tepatnya akan saya jemput—lima bulan kemudian. Tak ada kegugupan. Tak ada excitement yang berlebihan.
Praktis saja. Ada pekerjaan lebih baik menunggu di Indonesia. Dengan usia yang sudah 46 tahun, saya merasa tawaran itu tak akan datang lagi. Terlalu sayang untuk dilewatkan, bahkan kalau itu berarti harus meninggalkan London. Mungkin sedikit rasa sendu menggayut. Tetapi itu normal. Bagaimanapun hampir 18 tahun tinggal di London bukanlah waktu yang pendek. Ada kemapanan yang tercerabut. London adalah tempat kami membesarkan anak. Ia lahir di Jakarta, tetapi kami pindah ke London saat ia baru berusia satu tahun. Seluruh kenangan kami bersamanya ada di sana semua.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kami kemudian mapan sebagai sebuah unit keluarga juga terbangun di London. Sangat berbeda dengan ketika memutuskan untuk meninggalkan London yang penuh perhitungan dan nyaris tanpa emosi, kami datang ke London dengan semangat petualangan. Merambah ke sesuatu yang belum terbayangkan.
"Kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata saya kepada istri ketika mendapat pemberitahuan saya lolos seleksi untuk bekerja di BBC Siaran Indonesia di London. "Anggap sebuah bekal pengalaman entah untuk apa nanti."
Saya katakan itu karena kontrak kerja yang ditawarkan BBC hanya tiga tahun. Terlalu pendek untuk membangun karier di negeri orang. Sementara, saya mungkin akan kehilangan berbagai kesempatan membangun sesuatu di Indonesia.
Saya sudah berkeluarga dan punya anak. Saya harus memulai memikirkan masa depan bukan hanya untuk saya sendiri, tetapi juga keluarga. Tetapi pada saat bersamaan, pertimbangan kami berdua saat itu adalah kami masih muda. Mumpung gairah untuk menemukan/mencoba hal-hal baru—neophilic—belum digulung kekhawatiran menghadapi hal-hal baru–neophobic. Masa kontrak tiga tahun juga lumayan panjang sebetulnya, mengingat saya belum pernah bertahan lebih dua tahun di satu pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Begitulah. Kami datang ke London dengan dua tas mahabesar berisi semua yang kami punya. Anton Alifandi, yang sudah beberapa tahun bekerja di BBC dan kebetulan teman satu kelas waktu kuliah di UGM, sudah memberi tahu untuk membawa yang penting-penting saja. Tetapi ketika yang penting dan tidak penting cukup termuat di dua tas kalaupun itu mahabesar, ya sudah kami bawa semua saja.
Gugup, lega, sekaligus excited kami tiba di London tanggal 26 Agustus 1997. Dijemput Liston Siregar, salah seorang staf BBC yang sudah saya kenal di Indonesia selain Anton. Di tempat ia pula kami tinggal selama dua minggu sebelum pindah ke rumah kontrakan.
**
Dua tahun pertama bekerja di BBC berlalu seperti kejapan kilat di tengah hujan. Begitu banyak yang terjadi termampatkan dalam waktu yang pendek sehingga waktu seperti berlalu begitu saja.
ADVERTISEMENT
Kalau sebelumnya saya berpikir akan punya waktu untuk menikmati kota London, lupakan saja. Pertama, saya ke BBC bukan untuk menikmati hidup di kota London, tetapi untuk bekerja. Kedua, pada kenyataannya saya menghabiskan hampir separuh waktu di Indonesia.
Persinggungan saya dengan peristiwa besar pertama di BBC terjadi hanya lima hari setelah saya datang. Putri Diana meninggal dalam kecelakaan mobil di Paris. Saya sedang menjalani kursus orientasi (induction course) bersama beberapa staf baru dari berbagai negara ketika peristiwa terjadi.
"Bantu kolega Anda bekerja," kata salah seorang pembimbing kami dalam menjalani masa orientasi ini. Semestinya kursus ini kami jalani penuh tanpa interupsi. Namun, kami dibebaskan selama beberapa jam setiap hari, untuk kembali ke kantor membantu rekan-rekan bekerja meliput berita tentang Putri Diana.
ADVERTISEMENT
Alih-alih membantu. Saya merasa keberadaan saya malah merepotkan teman-teman yang sedang bekerja. Saya belum paham sama sekali dengan peralatan yang mereka gunakan, juga cara bersiaran di studio dan mengumpulkan materi siaran, serta berbagai hal lain yang harus dilakukan. Bantuan yang saya berikan adalah dengan diam, memperhatikan, mendengar, dan melihat cara semua rekan bekerja. Sebisa mungkin tidak mengganggu ruang lintang pukang pergerakan teman.
Kemudian kerusuhan meledak di Indonesia meledak. Mei 1998.
Kantor BBC di London memutuskan tenaga di Indonesia perlu ditambah untuk meliput peristiwa sebesar itu. Saya ditugaskan untuk minimal sebulan penuh membantu Arya Gunawan—saat itu sedang ditugaskan di kantor BBC di Jakarta, sejak Februari 1998—meliput kejatuhan Presiden Soeharto.
Awal Mei saya pulang ke London. Empat bulan kemudian saya ditugaskan kembali ke Jakarta. Kali ini untuk enam bulan menggantikan posisi Arya yang habis masa bertugasnya.
ADVERTISEMENT
Bulan Maret 1999 selesai masa tugas di Jakarta saya kembali ke London. Lima bulan kemudian—Agustus 1999—saya berangkat ke Timor Timur selama sebulan untuk meliput referendum di sana.
Harus jujur saya akui, walau kesannya sangat sibuk ke sana-kemari, saya lebih banyak menyerap dan belajar ketimbang memberi kontribusi. Terutama dalam menjunjung tinggi tradisi jurnalistik BBC yang ketat dalam persoalan ketidakberpihakan, keseimbangan, ketelitian, dan sikap kritis.
Bukan prinsip-prinsip yang luar biasa sebenarnya. Dalam pengertian prinsip-prinsip itu common sense saja dan logis-otomatis semestinya untuk wartawan. Akan tetapi menjadikannya refleks, itu persoalan lain lagi.
Selama dua tahun itu saya dijejali berbagai kursus—kewajiban untuk staf baru—yang selalu pada akhirnya berhulu pada prinsip-prinsip itu. Tak peduli apakah itu gaya penyampaian berita, cara menulis, metode wawancara, menggali sumber berita, mengumpulkan data, cara mendekati persoalan, bahkan pemanfaatan perkembangan teknologi.
ADVERTISEMENT
Itu sangat baik buat saya yang tidak pernah belajar secara formal ilmu jurnalistik; tidak pernah mendapat kursus jurnalistik; tidak pernah bekerja di media yang memberikan pelatihan apapun. Dan yang lebih menyenangkan, saya bisa belajar bagaimana itu dipraktikkan.
Kolega satu kantor di Siaran Indonesia saya kira orang-orang yang brilian. Baik senior ataupun junior saya. Mereka personifikasi dalam praktik. Saya sering berpikir, kok bisa ya mereka menyerap itu semua. Mungkin mereka sebelum bekerja di BBC sudah punya grounding (pijakan) yang bagus di media yang bagus, atau ya cerdas saja. Saya tinggal meniru apa yang mereka lakukan.
Bukan hanya kolega satu kantor yang saya amati dan tiru. Banyak sekali wartawan-wartawan BBC di luar Siaran Indonesia yang berinteraksi dengan kami. Saya selalu terkagum-kagum dengan kegigihan, kecepatan, dan kedalaman mereka memahami persoalan. Agaknya otak mereka beroperasi dengan level yang berbeda dari yang saya punya.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu apakah kesimpulan ini benar. Saya seperti menemukan ada cetak-biru kolektif yang dimiliki para kolega saya dalam hal mendekati persoalan, berpikir, dan bekerja atau melakukan eksekusi terhadap rencana yang sudah disiapkan. Mereka melakukannya secara struktural dan prosedural. Bukan hal yang negatif. Sebaliknya malah.
Dengan adanya struktur (berpikir) maka kita bisa mengerti seberapa kokoh fondasi dalam hal pemahaman terhadap persoalan. Kita bisa mempertanyakan, mendebat, menguliti, dan menguji pemahaman kita tersebut. Dengan prosedur kita bisa merunut keabsahan eksekusi yang kita lakukan, menelaah kelengkapannya, menduplikasi/mereplikasi caranya, dan (mungkin) menfalsifikasi metode dan hasilnya. Hulu dari keduanya seperti saya tulis di atas, selalu ke persoalan ketidakberpihakan, keseimbangan, ketelitian, dan sikap kritis. Begitu otomatis dan refleks kedua hal itu berlaku di BBC.
ADVERTISEMENT
Kalaupun itu kemudian terkesan konservatif, hal yang sering saya dengar disematkan ke BBC, it is what it is. Sikap konservatif itu, dalam beberapa hal, yang membuat BBC kokoh sebagai media internasional yang menjadi referensi warga dunia.
Di Indonesia saya pernah bekerja untuk tiga media. Tidak semuanya benar-benar menjadi wartawan sesungguhnya. Pertama di harian Jawa Pos. Hanya enam bulan karena kemudian saya mundur untuk menyelesaikan skripsi yang terbengkalai.
Saya di Yogyakarta mengurusi halaman empat—halaman opini—harian tersebut, bersama dengan dua orang lainnya, masing-masing di Jakarta dan Surabaya. Menyortir tulisan yang masuk, mewancarai pakar dan mengubahnya ke bentuk artikel opini, dan sesekali membantu peliputan kalau jadwal tak terpegang oleh rekan yang lain.
Kedua, untuk tabloid DeTik. Itu mimpi besar sok tahu kami anak-anak baru lulus kuliah yang ingin menghadirkan satu media alternatif di Indonesia. Sempat sukses besar dengan oplah hampir setengah juta eksemplar, tetapi hanya bertahan 14 bulan karena di-breidel pemerintah Soeharto.
ADVERTISEMENT
Ketiga, menjadi fixer di ABC (Australian Broadcasting Corporation). Ini bertahan cukup lama, dua tahun. Saya tidak cukup mengerti apa sebenarnya tugas pokok saya. Terkadang melakukan riset; terkadang teman diskusi untuk koresponden ABC di Jakarta atau siapa pun yang datang ke Indonesia saat itu; terkadang ikut memberikan usul angle pemberitaan; terkadang menjadi penghubung narasumber; terkadang melakukan wawancara; terkadang mengurusi logistik; dan berbagai tugas apa saja agar pemberitaan lancar terkirim ke Australia.
Namun, di ketiganya saya beroperasi berdasarkan insting. Tidak ada ilmu atau basis jurnalistik yang membimbing. Tidak ada satu sistem yang menunjukkan saya benar atau salah di bagian mana. Tidak ada kultur dan etos yang seragam. Ataupun kalau semua itu ada, saya tak merasakannya.
ADVERTISEMENT
Di BBC saya mendapatkan itu semua. Saya merasa sangat suka dan cocok di BBC, sehingga ketika terjadi beberapa kali perubahan kontrak kerja yang terus memperpanjang masa kerja saya di BBC, saya selalu menerima tanpa panjang pikir.
Kontrak dari BBC untuk saya diperbaharui tiga kali. Setelah dua tahun pertama, datang tawaran untuk menghapus kontrak dari tiga tahun menjadi lima tahun. Di tahun keempat, keputusan diubah lagi untuk menjadikannya permanen. Artinya saya akan bekerja hingga masa produktif dianggap selesai. Pensiun di usia 60 tahun.
Kami pun mulai merancang hidup untuk benar-benar menjadi warga London secara permanen. Kami bersepakat agar istri bersekolah lagi dan kemudian bekerja. Toh anak mulai bisa mandiri dan bisa kami jaga bergantian.
ADVERTISEMENT
Kami tidak lagi menyewa rumah. Pelan-pelan—tiga kali kami berjual-beli rumah—akhirnya mendapatkan rumah yang kami suka dan pastikan menjadi tempat berteduh hingga masa pensiun tiba. Segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Kami benar-benar mulai menikmati hidup di London, Inggris, dan Eropa.
Akan tetapi rupanya hidup masih menyimpan kejutan (untuk kami). Di tahun ke 12 saya bekerja untuk BBC, muncul berita BBC akan melakukan pengurangan pegawai.
*
Ketika pembicaraan tentang pemotongan pegawai di BBC mulai terdengar—setahun-dua sebelum pelaksanaannya—saya sudah merasa pasti akan terkena. Dari sisi pertimbangan apa pun sepertinya susah untuk saya penuhi agar bisa dipertahankan. Saya bukan orang yang terlalu pintar. Kemampuan jurnalistik biasa-biasa saja. Manajemen saya tidak mengerti. Staf senior tidak, staf junior bukan. Kategori saya: Dispensable. Ada tidak menambahi, hilang tidak mengurangi.
ADVERTISEMENT
Saya pun mulai mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah BBC. Mulai bertanya ke sana-kemari, menghubungi teman-teman, siapa tahu ada lowongan pekerjaan. Saya juga melakukan hal yang selalu ingin saya lakukan, tetapi terus tertunda karena satu dan lain hal: Kuliah lagi sesuai dengan minat. Kebetulan ada college kecil dekat rumah yang menawarkan jurusan antropologi. Dan mendaftarlah saya ke sana.
Walau sudah bersiap, ketika datang hari kepastian pengurangan pegawai, dan saya salah satu yang dilepas, tetap saja hati terguncang. Apalagi pekerjaan pengganti belum saya dapatkan. Mungkin suratan nasib selalu ada hikmahnya. Ada blessing in disguise dengan saya belum mendapat pekerjaan pengganti.
Pada saat bersamaan dengan pengumuman pemutusan kerja itu, istri saya berada pada kondisi membutuhkan perhatian total karena sakit yang dideritanya. Praktis selama satu setengah tahun sesudahnya saya harus menemaninya setiap hari di rumah. Saya tak bisa bekerja di luar rumah dan hanya bisa menerima pekerjaan-pekerjaan lepas yang tidak membutuhkan bepergian.
ADVERTISEMENT
Nasib baik masih juga menaungi kami. Ketika kondisi istri membaik dan mulai bisa ditinggal, ada satu perusahaan headhunter yang menghubungi menawarkan pekerjaan: Merintis dan mengelola situs web baru untuk diluncurkan. Saya hanya tahu bahwa situs baru ini pasti terkait dengan sepak bola, karena semua pertanyaan dalam wawancara terkait pengetahuan tentang sepak bola. Mereka juga sedikit menyinggung tentang kolom bola mingguan yang saya tulis untuk detik.com.
Kepastian bahwa situs web itu milik Manchester City baru saya dapat ketika diharuskan pergi ke kota Manchester untuk mengurus segala macam persyaratan administrasi. Klub sepak bola Inggris ini ingin meluncurkan 11 situs berbahasa non-Inggris secara bersamaan. Salah satunya berbahasa Indonesia.
Hidup mungkin akan terasa nyaman kalau saya bertahan di Manchester City. Nyaris tanpa tekanan, rutin, gaji mungkin sedikit pas-pasan tapi cukup. Keluhan satu-satunya hanyalah karena saya harus menghabiskan tiga-empat hari seminggu di Manchester sementara anak dan istri di London. Sibuk luar biasa hanya di dua—tiga bulan pertama masa persiapan. Setelah terbit, bisa dikatakan segala sesuatunya bisa dijalankan sambil tiduran.
ADVERTISEMENT
Enam bulan setelah bekerja di Manchester City, saya iseng mengerjakan satu business plan pengembangan situs dan marketing ke Indonesia untuk setahun ke depan. Tanpa diminta. Tanpa diharuskan. Tanpa situs berbahasa asing lain di Manchester City melakukannya.
Saya pikir dengan perkembangan prestasi Manchester City yang terus bagus, potensi pasar di Indonesia akan bisa dikembangkan lebih dari sekadar menjadi basis suporter. Sayang kalau tidak. Apalagi popularitas pengakses situs maju sangat pesat. Mencapai sekitar satu juta per hari.
Namun saya tidak pernah menyerahkan business plan pengembangan itu. Ketika secara lisan saya sampaikan ke beberapa atasan, tak seorang pun yang menanggapi dengan serius.
"Sudah cukup yang sekarang ini. Yang penting jalan saja," kata mereka.
ADVERTISEMENT
Saya tidak patah hati dengan jawaban yang mereka berikan. Namun, tiba-tiba saja satu bayangan akan kebosanan yang amat sangat seperti menyergap. Saya membayangkan sebuah kenyamanan yang membekukan. Melakukan hal yang sama terus menerus setiap minggunya.
………
I was feeling part of the scenery
I walked right out of the machinery
My heart going boom boom
"Hey", he said, "grab your things,
I’ve come to take you home"
………
Begitu teriak Peter Gabriel dalam lagu “Solsbury Hill”. Ia merasa kehilangan jati diri, terjerat oleh nama besar Genesis dan pusingan mesin industri musik lalu memutuskan meninggalkan semuanya.
Tak sehebat itu tentu saja saya. Hanya saja lagu itu sangat sering saya putar ketika saya mulai berpikir untuk mengundurkan diri. Pucuk dicita ulam tiba. Di tengah kegalauan itu, datang tawaran dari Indonesia untuk merancang, memulai, dan memimpin satu media baru—CNNIndonesia.com—di Indonesia. Betul-betul dari nol.
ADVERTISEMENT
"Terserah nanti isi, tampilan perwajahannya, orang-orangnya, maupun kebijakan redaksinya. Kami hanya menyiapkan tim IT (teknologi informasi)-nya untuk membantu," kata Budiono Darsono, pendiri dan CEO detik.com, yang diserahi tugas sebagai pemimpin proyek membangun CNNIndonesia oleh CT Corp. Detik.com dan CNNIndonesia adalah perusahaan yang “bersaudara”, di bawah naungan CT Corp.
"Babat alas yo. Kowe pegawai nomer siji je (Seperti membuka hutan ya, kamu adalah pegawai pertama)," tambah sahabat lama ini—kami sama-sama terlibat dalam pendirian tabloid DeTik tahun 1993—dalam bahasa Jawa ketika menelepon saya.
Bukan karena lagu “Solsbury Hill” kalau saya kemudian menerima tawaran ini. Bukan semata karena kebosanan yang amat sangat kalau kemudian saya mundur dari Manchester City. Godaan membangun media baru di Indonesia itu terlalu kuat untuk diabaikan. Saya yakin di hati kecil saya waktu itu ada gumaman: Saya pernah bekerja di BBC, tempat terbaik untuk menempa kemampuan menjadi wartawan; tak ada alasan untuk berpaling dari tantangan itu. Dan saya melihat mata angin itu telah menunjuk ke satu arah: Pulang.
ADVERTISEMENT
*
Tulisan ini dimuat dalam buku London Calling: Pengalaman Bekerja di BBC, yang diterbitkan dalam rangka ulang tahun BBC Indonesia ke-71.