Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Lee Kuan Yew diam-diam memperhatikan bagaimana pedagang makanan menutup selokan dan menjadikannya tempat untuk berjualan; bagaimana pedagang asongan mencuri listrik dan menyambungkannya ke lemari es di pinggir jalan; bagaimana sebuah bidang tanah yang sepertinya tidak bertuan tanpa izin dijadikan tempat menaruh barang, beberapa hari kemudian didirikan tenda sementara, lalu dipagari, dan akhirnya didirikan bangunan permanen.
ADVERTISEMENT
Perdana Menteri pertama Singapura itu geram melihat apa yang dilakukan penduduk Singapura. Ia memanggil pejabat terkait dan memerintahkan pembongkarannya. Tak peduli kalau langkah itu tak populer, menimbulkan gejolak, dan perlawanan.
Baginya, apa yang dilakukan penduduk Singapura itu egois, abai kepentingan sosial, dan gejala-pertanda-simtom perilaku kolektif terbelakang. Harus diberangus dan diubah kalau Singapura ingin bertahan sebagai sebuah negara.
“Lestari-tidaknya Singapura sebagai sebuah negara tergantung pada kemauan dan kemampuan rakyatnya untuk mengadopsi perilaku baru, norma baru, dan cara pandang hidup yang baru: Pendeknya, menjadi manusia baru,” tulis ilmuwan politik Chan Heng Chee dalam bukunya Singapore: The Politics of Survival, 1965-1967, mengenai kebijakan Lee Kuan Yew dan partai yang dipimpinnya, People’s Action Party, di awal-awal Singapura berdiri.
ADVERTISEMENT
Dengan dua per tiga penduduknya yang saat itu berjumlah 1,9 juta orang hidup di kumuh kota, di bebangunan organik tambal-sulam tak tertata, jalanan berlimbah sampah membusuk, sungai yang menghitam menampung segala macam ampas kehidupan, tanpa sumber daya alam, Lee melihat kait dan kelindan yang menguntungkan dalam upayanya untuk membangun manusia baru Singapura.
Lingkungan yang layak dan modern hanya bisa tercipta oleh manusia baru Singapura dan terciptanya manusia baru Singapura harus diukur dengan salah satu ukuran utamanya lingkungan yang layak dan modern.
Dimulailah sebuah proyek rekayasa komplet untuk mengubah kebiasaan sosial, gaya hidup, cara berpikir, birokrasi, dan lanskap fisik lingkungan. Lee me-micro managed kehidupan rakyat Singapura. Ia membujuk, merajuk, dan ketika tak berhasil akan bertangan besi.
ADVERTISEMENT
Dari membersihkan sungai yang kotor hingga menciptakan taman-taman kota. Dari cara berumah horizontal ke rumah susun menjulang. Dari larangan meludah sembarangan hingga kebiasaan antre. Dari menata ulang sistem pendidikan hingga bahasa yang boleh digunakan. Bahkan dengan siapa perkawinan bisa dilakukan—harus sesama yang berpendidikan tinggi—sempat dicoba untuk dilakukan.
Rakyat Singapura dipaksa untuk mengadopsi norma baru—dan kemudian normal baru ketika norma baru menjadi mapan—oleh Lee. Ia tak peduli dengan kritik orang yang menyebutnya otoriter, campur tangan hingga ke persoalan pribadi rakyatnya, dan pragmatis-materialistik.
“Kami harus melakukan apa yang kami anggap tepat. Peduli amat kata orang,” katanya suatu ketika.
Lee tak salah. Manusia harus selalu bereaksi dan menggagas apa yang diperlukan secara kolektif untuk bisa “selamat” menjalani kehidupan.
ADVERTISEMENT
Toh dalam sejarah, norma dan normal baru selalu terjadi seiring perjalanan kehidupan. Entah didorong oleh pemikiran-gagasan, ideologi, perkembangan teknologi dan keilmuan, keterpaksaan (necessity) menghadapi hidup—karena munculnya pandemi, misalnya—bahkan ketamakan.
Dalam konteks seperti yang dilakukan oleh Lee Kuan Yew dan Singapuranya, kita bisa berbicara Lenin dengan Uni Sovyetnya, Mustafa Kemal Pasha dengan Turkinya, Pol Pot dengan Kambojanya, Mao Ze Dong dengan Cinanya.
Semua kepala pemerintahan pada dasarnya akan mencoba melakukan hal yang sama. Tingkat ekstremnya saja yang berbeda. Pada kenyataannya memang susah sekali untuk memisah preferensi kebijakan kepala pemerintahan dan kepentingan negara. Karena adalah hak prerogatif kepala pemerintahan untuk menentukan arah kebijakan, cara menjalankan pemerintahan, dan organisasinya sesuai dengan keinginannya.
ADVERTISEMENT
Seperti juga kisah para nabi dan rasul dari kitab suci. Kalaupun tidak semua sampai pada tingkat detail-instruktif dan lebih banyak pada acuan moral serta peribadatan, tetap saja interpretasi dari ajaran mereka yang mendiktekan seperti apa norma baru dan normal baru yang harus dimapankan.
Gagasan tentang antroposentrisme di zaman Renaissance membuat gugup Eropa karena tiba-tiba (mereka sadar) akan konsekuensinya, sebuah norma baru: Nasib dan takdir bukan lagi berada di tangan tuhan tetapi berada di tangan manusia sendiri.
Dampaknya luar biasa dalam kehidupan. Kenormalan baru terbentuk. Paus pelan tapi pasti kehilangan legitimasi sebagai pengabsah pemimpin negara-negara (kerajaan-kerajaan) Eropa, agama tersingkir ke ranah kehidupan pribadi dan dipisahkan dari kehidupan negara, ilmu pengetahuan berkembang mandiri lepas dari yang disebut oleh para ilmuwan Eropa “takhayul” keagamaan, dan kemudian dasar modernitas seperti yang kita kenal sekarang tersemaikan.
ADVERTISEMENT
Persoalannya memang, norma dan normal baru itu selalu menggoncang. Paling sedikit mengganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan. Manusia pun jadi saling bersilang pendapat, berselisih paham, dan mungkin hinga bertikai untuk menerima atau menolaknya.
Tetapi apa yang menggoncang, mengganggu, dan tidak nyaman itu hanya untuk kita yang harus menjalani perubahannya. Bergenerasi-generasi ke depan, mungkin saja apa yang kita pertentangkan itu trivial buat mereka dan tak paham pula mereka mengapa kita harus riuh bertentangan untuk persoalan-persoalan itu.
Ketika Lee Kuan Yew mulai membangun Singapura dan manusianya, banyak sekali yang mempertanyakan dan terganggu. Generasi zaman sekarang Singapura dengan keadaan Singapuranya yang sekarang tak mengerti mengapa tindakan Lee Kuan Yew saat itu dianggap mengganggu dan dipertanyakan.
ADVERTISEMENT
Setiap zaman memang menghadirkan norma dan kenormalan yang berbeda-beda.