Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Polusi Media Sosial
27 Januari 2020 16:36 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terkadang saya bertanya pada diri sendiri: Mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan di media sosial?
ADVERTISEMENT
Pergi berlibur dengan keluarga. Mengapa kita merasa perlu mengabarkan ke dunia tentang itu dengan mengunggah foto-foto yang tentu saja menunjukkan keceriaan dan kegembiraan. Tidak cukupkah dengan menyimpannya di album foto (hard disk kalau sekarang) atau di telepon pintar kita sehingga kalau ingin bernostalgia ya tinggal kita buka saja. Tak perlu orang lain tahu.
Makan. Mengapa kita merasa perlu mengunggah foto-foto apa yang kita makan, di mana kita makan, dan bagaimana rasanya. Seolah dengan itu maka makanan menjadi semakin lezat dan orang lain yang melihatnya akan ikut merasakan nikmatnya.
Beribadahpun kita unggah foto-fotonya lengkap dengan cerita mengapa melakukan ibadah itu. Puas dikomentari orang dengan kata-kata "semoga ibadahnya diterima Tuhan" lalu ditutup dengan amin. Seolah semakin banyak amin, semakin Tuhan tidak punya pilihan kecuali menerimanya.
ADVERTISEMENT
Apa yang kita lakukan, rasakan, juga penilaian atas semuanya terudar untuk konsumsi publik begitu saja. Dan semakin besar publik yang mengkonsumsinya, semakin populer kita, sepertinya semakin bermakna hidup ini.
Tidak mengherankan kalau click, like, comment, dan followers kemudian menjadi mata uang media sosial. Ini persoalan pengukuran seberapa relevan kehidupan kita buat orang lain. Seberapa laku hidup kita setelah publik melihat etalase hidup kita di media sosial.
"Selamat datang di toko saya," goda kita ke dunia (maya) dengan tampilan kehidupan yang nyaris sempurna tanpa cela.
Dalam dunia media sosial semua orang—termasuk negara—membuat etalase dan mereproduksi kehidupannya sendiri-sendiri. Berebut pelanggan di pasar bebas digital. Jika dirasa perlu dengan membuat bot dan memanfaatkan pendengung (buzzer). Agar tercipta keriuhan dan kemudian pesan kita sampai ke khalayak umum. Agar kalaupun ada kepalsuan, dengan banyak orang berbicara, maka kita percaya yang palsu itu—atau lama-lama yakin yang palsu itu—benar adanya.
ADVERTISEMENT
Media sosial bukan sembarang toko. Ia super intrusif. Ia masuk ke ruang-ruang pribadi tanpa ampun.
Konsep rumah sebagai tempat berlindung yang aman dari dunia luar menjadi sia-sia. Media sosial bisa dengan lembutnya masuk ke ruang tidur, kamar mandi, ruang tamu, mengikuti ke manapun kita pergi.
Dalam dunia media sosial, dunia di luar kita begitu bijaksana dan menyenangkan. Ia menggelitik. Ia merajuk. Ia membujuk. Ia menginginkan kita menciptakan dunia yang serupa dan kemudian mengumumkannya ke dunia. Tak peduli delusional atau tidak.
Lalu kita—termasuk juga saya— masih heran dengan munculnya sekian macam peristiwa atau pernyataan absurd di sekitar kita. Taruhlah soal Sunda Empire, Keraton Agung Sejagat, Negara Rakyat Nusantara, dan semacamnya. Atau pernyataan semacam sepakbola Inggris tak sesuai dengan jati diri bangsa dan mengapa harus membahas buaya Afrika sementara ada buaya Indonesia yang tak kalah menariknya. Atau ramai pernyataan tentang azab Tuhan setiap kali ada bencana alam maupun bencana yang disebabkan olah manusia.
ADVERTISEMENT
Menyampaikan hal absurd secara terbuka dan mengumumkannya ke publik dibutuhkan sebuah keberanian di luar batas kenormalan. Harus ada ketidakmampuan untuk mengerti antara keyakinan dan delusi. Harus ada ketidakmampuan untuk membedakan yang nyata dan angan-angan.
Lalu kita pikir hal-hal semacam di atas tak ada hubungannya dengan dunia media sosial sama sekali yang begitu mendominasi hidup ini.
Fuck me dead, kalau kata orang Inggris sana.