Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kontroversi Larangan Study Tour di DKI Jakarta: Siapa yang Salah ?
16 Mei 2024 16:32 WIB
ยท
waktu baca 2 menitTulisan dari Yusuf Nurmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Distik DKI Jakarta mengeluarkan peraturan kontroversial bahwa kegiatan perpisahan atau Study Tour hanya boleh dilakukan di lingkungan sekolah karena berbagai alasan seperti memberatkan dalam segi biaya dan beresiko. Namun, pertanyaan yang muncul Siapa yang salah? Pemerintah yang mencoba meningkatkan kualitas pendidikan atau masyarakat yang menganggap kebijakan ini sebagai penghilangan tradisi?
ADVERTISEMENT
Sejak diumumkan, kebijakan larangan perpisahan dan "study tour" di luar sekolah telah memicu protes dan diskusi di kalangan masyarakat, khususnya di DKI Jakarta. Tradisi perpisahan dan "study tour" di luar sekolah telah lama menjadi bagian yang ditunggu bagi siswa. Namun, pemerintah berpendapat bahwa langkah ini diperlukan untuk meningkatkan konsentrasi siswa dalam belajar dan memperbaiki kualitas pendidikan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa larangan ini bertujuan untuk memaksimalkan waktu belajar di dalam kelas dan mengurangi gangguan yang dapat mengganggu fokus siswa. Dengan meningkatkan efisiensi waktu pembelajaran, diharapkan prestasi akademik siswa akan meningkat secara signifikan. Selain itu, pemerintah berpendapat bahwa kebijakan ini sejalan dengan upaya meningkatkan standar pendidikan di DKI Jakarta.
Di sisi lain, ada beberapa masyarakat yang menentang kebijakan ini. Mereka melihat perpisahan dan "study tour" sebagai bagian penting dari pengalaman pendidikan siswa, yang membantu memperluas wawasan mereka, memperkuat ikatan sosial, dan memberikan pengalaman belajar yang praktis di luar lingkungan kelas. Larangan ini dianggap sebagai penghilangan tradisi dan pembatasan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa.
ADVERTISEMENT
Dalam melihat kedua perspektif ini, ada pertanyaan etis yang muncul. Seberapa jauh pemerintah dapat mengatur pengalaman pendidikan siswa? Apakah peningkatan kualitas pendidikan harus dicapai dengan mengorbankan aspek sosial dan praktis dari pendidikan? Dan seberapa pentingnya tradisi dalam konteks pendidikan?
Dalam menghadapi perdebatan ini, ada panggilan untuk mencari solusi yang seimbang. Mungkin ada cara untuk mempertahankan manfaat dari perpisahan dan "study tour" sambil tetap meningkatkan fokus pada pembelajaran di dalam kelas. Integrasi kunjungan lapangan ke dalam kurikulum, penyelenggaraan perpisahan di dalam sekolah dengan kegiatan bermanfaat, atau pengembangan model perjalanan pendidikan yang lebih terfokus bisa menjadi alternatif.
Kontroversi larangan perpisahan dan "study tour" di DKI Jakarta memperlihatkan konflik antara upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai sosial dalam pendidikan. Meskipun mungkin tidak ada jawaban yang mudah, penting untuk terus berdiskusi dan mencari solusi yang memperhitungkan kedua perspektif ini. Karena pada akhirnya, tujuan utama haruslah memberikan pendidikan yang bermutu dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT