Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
*Peringatan: Tulisan ini mengandung konten kekerasan yang eksplisit
Awal tahun saya, dibuka dengan membaca berita soal seorang suami yang memutilasi istrinya dan menyimpan potongan jasadnya di teras rumah. Ketika membacanya, saya bahkan masih berada di atas kasur, sambil mengusap mata dengan tangan satunya lagi memegang handphone. Bagaimana saya; perempuan, bisa bahagia memulai tahun yang baru ini?
ADVERTISEMENT
Pada kolom komentar postingan berita di media sosial kumparan seseorang berkata: “Berita mengerikan di awal tahun. Astagfirullah.”
Tidak melihat waktu, setiap hari, perempuan di dunia dibunuh karena kebencian gender. Di pekan pertama 2024 ini, kita bisa melihat bahwa sudah terdapat beberapa pembunuhan perempuan hanya dengan mengetik kata kunci ‘pembunuhan perempuan’; ‘perempuan dibunuh’; ‘perempuan tewas’ lewat mesin pencari. Secara global menurut data UN Women, di 2022, sekitar 48,800 perempuan dan anak perempuan dibunuh oleh pasangan intim mereka atau oleh anggota keluarga lainnya. Ya, perempuan dibunuh karena ia adalah seorang perempuan dan seringkali mereka dibunuh oleh orang terdekatnya.
James Loodewky Tomatala (61), memaksa korban untuk pulang ke rumah ketika korban menghadiri suatu acara di Malang. Sebelumnya korban berhasil melarikan diri dari rumah selama lebih dari lima bulan karena menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Di rumah mereka, James dalam keadaan sadar—terbukti sesuai keterangan polisi, tidak memiliki gangguan jiwa—membunuh istrinya dan melakukan sadisme berlapis kepada korban. Ia membunuh korban, menelanjangi korban, memutilasinya menjadi sepuluh bagian, mencuci potongan tubuh korban, dan meletakkan potongan tubuh korban di teras rumahnya dalam sebuah ember. Itulah yang dilakukan oleh James, sang suami kepada istrinya.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh James, adalah sebuah eskalasi kekerasan dari kekerasan-kekerasan yang sebelumnya ia lakukan kepada korban pada pernikahan mereka. Rumah yang diidamkan menjadi tempat berlindung yang hangat dan aman, tak dimiliki oleh korban KDRT. Sebuah ruang privat bernama rumah itu adalah tempat paling berbahaya karena di sanalah, ia mengalami kekerasan bahkan pembunuhan oleh orang terdekatnya.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh James itu bernama femisida. Diana E.H. Russell, seorang aktivis dan cendekiawan feminis, mempopulerkan istilah femisida yang merujuk kepada pembunuhan misoginis terhadap perempuan. Pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka perempuan ini terjadi dikarenakan adanya kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang ditempatkan sebagai seks kelas kedua dan disubordinasikan akhirnya rentan mengalami kekerasan dan pembunuhan karena memiliki peran, stereotip, diskriminasi, dan norma sosial gender yang merugikannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, banyak pembunuhan kepada perempuan adalah bentuk dari ‘honour killing’ di mana perempuan dianggap pantas untuk dibunuh karena dianggap memiliki aib dan harus dimatikan agar keluarga dapat menjaga nama baik keluarganya. Banyak dari pembunuhan kepada perempuan juga dibenarkan oleh masyarakat kita seperti dikarenakan perempuan tersebut dituduh sudah berselingkuh dan tidak tunduk kepada laki-laki.
Perempuan Mati di Tangan Orang Terdekatnya
Komnas Perempuan menyebutkan bahwa femisida bukanlah kematian sebagaimana umumnya, melainkan produk budaya patriarkis dan misoginis. Femisida adalah pembunuhan yang mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, atau opresi. Meskipun tidak hanya dapat terjadi di ruang privat seperti di dalam rumah, di mana tindakan juga dapat terjadi dalam komunitas maupun negara. Namun, berdasarkan statistik, pelaku biasanya masih berada pada relasi personal seperti keluarga. Secara sadar saya menuliskan kembali kasus pembunuhan oleh James. Sembari mengingatkan bahwa kematian di tangan suami, dengan kondisi direnggut paksa segala kontrol atas hidupnya sendiri adalah risiko yang dimiliki tiap perempuan di dunia patriarki ini. Secara statistik, kasus suami membunuh istri itu tinggi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dan analisis dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), secara global diperkirakan ada 81.100 perempuan dan anak perempuan yang dibunuh dengan sengaja pada tahun 2021. Di mana sebagian besar pembunuhan tersebut bermotif gender dan sebanyak 45.000 dibunuh oleh pasangan intim mereka atau anggota keluarga lainnya. Itu berarti, lebih dari lima perempuan atau anak perempuan dibunuh setiap jamnya oleh salah satu anggota keluarganya sendiri.
Pada kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan pasangan intim—seperti yang dilakukan James kepada pasangannya—penelitian dari Griffith University berjudul Intimate Femicide: The Role of Coercive Control, mengidentifikasi sebagai perebutan kekuasaan atas diri pasangannya. Di mana si laki-laki berusaha untuk merampas otonomi diri si perempuan, sedangkan si perempuan berjuang untuk mempertahankan kebebasannya.
ADVERTISEMENT
Perempuan Korban Pasif?
Pada kolom komentar kasus femisida, sering ditemukan berbagai bentuk victim blaming; upaya menyalahkan korban, serta pencarian alasan mengapa korban pantas mendapatkan perlakukan tersebut sehingga korban dibebankan tanggung jawab atas perbuatan pelaku. Tak sedikit juga menempatkan korban pada posisi yang ‘bodoh’ dan pasif karena tidak berhasil menyelamatkan hidupnya. Namun, dalam penelitian Brittany E. Hayes berjudul Women’s Resistance Strategies in Abusive Relationships, bukti menunjukkan bahwa sebagian besar dari perempuan bukanlah korban yang pasif. Meski pada media perempuan seringkali digambarkan sebagai korban pasif dan menerima stereotip yang tak berdaya, perempuan seringkali menunjukkan kekuatan dan resiliensi pada kasus kekerasan. Seringkali, perempuan mengadopsi strategi untuk memaksimalkan keselamatan mereka dan anak-anak mereka.
Meskipun banyak dari perempuan memang kesulitan untuk lepas dari cengkraman pelaku dan akhirnya terus kembali pada pelaku kekerasan terhadapnya. Tetapi perlu diingat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus yang kompleks. Post-separation abuse atau KDRT yang berlanjut setelah korban meninggalkan pasangannya nyata, bahkan dapat menyebabkan kematian korban.
ADVERTISEMENT
Tanpa melihat perempuan sebagai manusia yang utuh, yang memiliki kehidupannya sendiri, dan segala nilai yang ada pada dirinya, akan mudah bagi kita untuk hanya melihat perempuan yang mati di tangan laki-laki sebagai sebuah nama yang kini tak bernyawa. Tanpa empati kepada kasus femisida dan kekerasan terhadap perempuan, akan mudah untuk kita hanya melihat perempuan sebagai korban yang sepenuhnya tak berdaya bahkan menyalahkannya atas kekerasan yang dialaminya. Dengan mudahnya juga kita dan melalui media-media, menempatkan pelaku bukan sebagai subjek yang aktif dalam kekerasan terhadap perempuan dan pembunuhan. Meski berat bagi saya menuliskan secara eksplisit kasus pembunuhan yang dilakukan oleh James, tapi tetap saya lakukan agar kita menyadari apa yang dilakukannya terhadap korbannya. James adalah pembunuh dan ia membunuh istrinya dengan keji.
Apa yang dipikirkan pelaku ketika memperlakukan tubuh korban dengan sadisnya? Dalam kasus femisida, Komnas Perempuan menemukan pola yang sama terjadi, yakni adanya sadisme berlapis pada tubuh korbannya. Penelanjangan korban, adalah tindak dari pelucutan martabat korban. Mutilasi—tidak hanya dilihat sebagai upaya menghilangkan jejak pembunuhan—ia juga upaya untuk merusak dan menghancurkan martabat korban.
ADVERTISEMENT
Kasus femisida adalah sebuah upaya, sebuah kiat-kiat lelaki mengontrol, mengambil kuasa, dan menghancurkan diri perempuan; gender perempuan. Di dunia dengan maskulinitas toxic, hal ini akan terus berulang terjadi.
Di dalam setiap keluhan teman perempuan lajang yang tak kunjung menemukan jodohnya; di dalam setiap harapan teman perempuan lajang yang ingin segera menikah; di dalam setiap kelegaan yang ditampilkan oleh perempuan atas status lajangnya—dan tak lupa pada tiap rasa cukup dalam hidupnya—saya menyisipkan ucapan selamat. Ucapan tersebut mungkin akan terdengar seperti: “selamat, kamu terhindar dari dimutilasi suami yang sinting.”
Pada tiap kabar lajangnya seorang perempuan, saya mengembuskan napas kelegaan karena ia satu langkah lebih jauh dari dipukuli oleh suaminya. Pada tiap harapan seorang perempuan lajang yang ingin segera menikah, ikut juga harapan untuk ia tetap melajang daripada jatuh kepada tangan laki-laki misoginis yang akan menghancurkan jiwa dan tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Isu kekerasan dalam pacaran; isu kekerasan dalam rumah tangga; isu femisida adalah isu semua perempuan karena di dunia patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang rentan, semua perempuan berisiko mengalaminya.