Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kekerasan Seksual Itu Soal Power Abuse Bukan Nafsu
6 Maret 2024 14:18 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Seorang rektor suatu universitas melakukan kekerasan seksual kepada karyawan kampus; seorang guru pondok pesantren memerkosa satrinya; seorang ketua badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan aktivis melakukan kekerasan seksual ke rekannya; seorang pendeta melecehkan anak-anak; seorang ayah memerkosa anaknya; seorang suami melakukan kekerasan seksual dan membunuh istrinya; beberapa orang senior melakukan perundungan dan melecehkan juniornya. Apa kesamaan dari semua kasus itu? Bukan nafsu yang mendorong mereka untuk melakukan itu semua, persamaannya bahwa di dalam kasus kekerasan seksual ada relasi kuasa yang timpang antara korban dengan pelaku. Namun hingga kini, masyarakat kita masih gemar menempatkan nafsu sebagai kambing hitamnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai penyintas, saya cukup sensitif ketika mendengar komentar menyoal kekerasan seksual dan menyalahkan nafsu yang tak terkontrol. Saya menemukan bahwa hal ini sangat berbahaya. Mengapa hanya mereduksi kekerasan seksual sebagai tindakan tidak bisa menahan nafsu itu berbahaya? Jawabannya adalah hal itu bisa menjerumuskan ke dalam fatalisme; sudah dikuasai takdir dan tak bisa diubah. Padahal kekerasan seksual bukan perkara nafsu tetapi soal relasi kuasa.
Faktanya, nafsu seksual memang ada dalam diri manusia. Faktanya lagi, nafsu dimiliki oleh setiap gender dan seksualitas. Faktanya juga, nafsu tidak dimiliki secara eksklusif dimiliki oleh laki-laki. Namun, mengapa ketika laki-laki melakukan kekerasan seksual, nafsu seringkali menjadi kambing hitam dari perbuatannya?
Menyerahkan kesalahan pada nafsu artinya melepaskan pelaku dari konsekuensi tindakannya. Korban harus terus tunduk kepada fenomena “natural” tersebut dan memaafkan pelaku karena dianggap dilakukan secara tidak sadar dan tidak bisa mengendalikan dirinya. Terlebih ketika korbannya adalah seorang perempuan, ia akan dianggap sebagai sumber dari nafsu tersebut. Nafsu tersebut diletakkan kepada si korban, ialah sosok yang mendorong si pelaku tak bisa mengendalikan dirinya sehingga kekerasan seksual dapat terjadi. Akhirnya, korban disalahkan atas peristiwa yang menimpanya. Korban berakhir pada menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak berdaya. Hal ini merupakan bentuk kekerasan berlapis yang dilakukan masyarakat kita untuk terus melindungi pelaku kekerasan seksual dan menjauhkannya dari konsekuensi atas tindakannya.
ADVERTISEMENT
Dinamika Kekerasan pada Kasus Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun, menurut data dari Stop Street Harassment 81% perempuan dan 43% laki-laki melaporkan mengalami beberapa bentuk pelecehan dan/atau penyerangan seksual dalam hidup mereka. Meski begitu, tingkat fenomena yang terjadi pada perempuan sangat tinggi jika dibandingkan kepada laki-laki. Perlu diketahui bahwa banyak dari laki-laki yang kemungkinan tidak melaporkan ketika terjadi kekerasan seksual. Namun, dalam berbagai penelitian perempuan memang lebih banyak mengalami kekerasan seksual. World Health Organization (WHO) dan UN Women menyebutkan bahwa secara global 1 dari 3 perempuan telah mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya dan itu sebagian besar dilakukan oleh orang terdekatnya.
Hal ini terjadi karena di masyarakat kita perempuan ditempatkan pada seks kelas kedua, yang mana posisi perempuan disubordinatkan dan tubuhnya diobjektifikasi. Adanya penempatan tersebut membawa laki-laki lebih tinggi derajatnya. Pada masyarakat ini, laki-laki mendapatkan banyak hak istimewa di masyarakat patriarki bernama male entitlement seperti yang disampaikan Kate Manne pada How Male Privilege Hurts Woman yang memberikan power; kuasa yang lebih besar di atas perempuan. Bahkan bukan perempuan saja yang menjadi korbannya tetapi kelompok rentan lainnya seperti minoritas gender, minoritas seksual, dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pelaku kekerasan, seperti yang disebutkan di paragraf pertama, seringkali adalah figur dengan otoritas. Maka dengan akumulasi kuasa yang ada—di mana si pelaku adalah seseorang dengan penis dan memiliki otoritas seperti yang saya sampaikan di atas—kekerasan seksual yang sering muncul di layar kaca kita tidak hanya perkara pelibatan nafsu seksual tetapi ada power abuse; penyalahgunaan kekuasaan. Pada artikel berjudul Sexual Harassment: an Abuse of Power disebutkan bahwa kekerasan seksual hampir selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ini tentang seseorang yang mengendalikan atau mengancam individu lain.
"Tie her legs tightly men cannot be trusted even with a dead body," quote pada film biografi Gangubai Kathiawadi (2022). “Ikat kakinya erat-erat, laki-laki tidak bisa dipercaya bahkan dengan mayat,” suruh Gangubai ketika hendak memakamkan jenazah temannya dari rumah bordil.
Kalimat itu mencekat tapi terasa dekat. Di dunia ini, kita bisa menemukan bentuk kekerasan seksual dengan begitu mengerikan bentuknya. Itu terjadi kepada mayat perempuan; terhadap bayi perempuan; terhadap tawanan perempuan di masa krisis. Tak hanya perempuan tapi juga kelompok rentan laki-laki seperti anak laki-laki. Otak kita sampai tidak bisa memproses apa yang terjadi. Sebesar apa nafsu tersebut hingga bisa melakukan hal demikian? Kenikmatan seksual macam apa yang didapat dari orang yang melakukan kekerasan seksual? Di mana letak kenikmatannya ketika tindakan tersebut tak dikehendaki oleh si pemilik tubuh? Meski namanya kekerasan seksual, ia tidak hanya sekedar tindakan yang melibatkan tindakan erotis dan seks seperti penetrasi atau groping. Kekerasan seksual adalah soal penaklukan atas tubuh korbannya. Kekerasan seksual adalah soal perebutan kuasa atas diri korban. Penting untuk memahami soal dinamika kekerasan pada kasus kekerasan seksual agar kita tidak hanya melihat kekerasan seksual sebagai tindakan tidak “bermoral” yang melibatkan tubuh dan nafsu semata.
ADVERTISEMENT
Jelas bahwa kekerasan seksual dan penyalahgunaan kekuasaan ini bisa dilakukan oleh siapapun tak memandang gender dan seksualitasnya karena penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya terjadi karena adanya akumulasi kedua hal tersebut. Ini tidak terbatas pada kekuasaan seksual dan kekuasaan gender tetapi juga atas kekuasaan ras, kekuasaan kelas sosial-ekonomi, kekuasaan sosial-budaya, kekuasaan pada otoritas, dan akumulasi atas padanya. Maka penting untuk bersepakat dan memiliki kesadaran bersama bahwa kekerasan seksual adalah penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini guna menuntut adanya keterbukaan dan transparansi kekuasaan yang memungkinkan kekerasan tersebut terjadi. Harapannya adalah hal ini dapat membuat kasus kekerasan menjadi lebih jernih, minim victim blaming (menyalahkan korban), lepasnya konsekuensi dari si pelaku, dan pencegahan kejadian tersebut secara berulang.
ADVERTISEMENT