Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sepiring Lodeh Tongkol dan Cerita Gangguan Makan
1 Desember 2023 13:42 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Dapur adalah tempat favoritku. Tempat kerja-kerja domestik yang paling kusuka. Dibandingkan harus merapikan kamarku atau mengorganisir laci kecil di atas meja. Aku lebih siap untuk menghabiskan waktu di dapur menyiapkan makanan hajatan untuk dua puluh orang atau lebih.
ADVERTISEMENT
Aku mengenal banyak rempah-rempah. Di pagi atau siang hari, aku akan mengeluarkan satu persatu rempah-rempah yang ada dan kupilah yang cocok untuk menu masakan yang ditentukan. Di kala menstruasi terasa menyakitkan seperti hari ini, aku memutuskan untuk membuat sebuah hidangan comfort food untuk aku dan anakku. Sebuah sayur lodeh modifikasi. Ia yang sudah kukenalkan dengan menu keluarga sejak berusia sembilan bulan sudah familiar dan memakan apa yang kumakan.
Hari ini, aku menyiapkan ikan tongkol yang disajikan dengan kuah lodeh yang ringan dengan sedikit santan segar perasan daging buah kelapa tua. Dilengkapi sayur waluh yang dipotong memanjang tipis serta tempe yang padat dan tahu yang lembut. Cabainya, tak kupotong, tak juga batangnya kucabut agar pedasnya tidak keluar meski sudah dididihkan bersama bahan-bahan yang lain. Maka ketika dimakan, anakku tidak kepedasan dan cabai yang sudah lembut, tinggal kugerus dengan sendok pada piringku untuk mengeluarkan rasa pedasnya.
Kusuirkan daging ikan tongkol ke meja makan anakku. Selagi dia sibuk, aku segera menghabiskan isi piringku ketika masih hangat. Ibu, jarang bisa menikmati makanan hangat di piringnya karena ia harus memastikan semua anggota keluarga makan terlebih dahulu, sebelum ia bisa menyentuh isi piringnya sendiri. Aku belajar untuk egois. Selama kondisinya memungkinkan, aku akan makan makananku selagi hangat. Sebagai orang Asia pada umumnya, aku bisa bertahan hidup dengan disokong makanan hangat dua sampai tiga kali sehari. Selain menghangatkan perutku, ia juga telah menghangatkan hatiku.
ADVERTISEMENT
Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa makan, bisa menjadi aktivitas yang menenangkan seperti saat ini. Sebelumnya, aku takut pada makanan. Beberapa fase hidupku, kuhabiskan untuk membuat diriku lapar. Perempuan dan makanan memang memiliki hubungan yang begitu kompleks. Terlebih bagi perempuan yang memiliki pandangan yang buruk atas tubuhnya. Saat itu, aku menganggap makanan seperti racun yang berbahaya ketika ia masuk ke tubuhku.
Gangguan Makan pada Perempuan
Ada banyak perempuan yang membenci tubuhnya akibat standar kecantikan yang tidak manusiawi hingga terjatuh pada gangguan makan. Pada bukunya berjudul The Beauty Myth, Naomi Wolf memaparkan mengenai hubungan yang kompleks antara perempuan dengan tubuhnya. Bagaimana perempuan terjebak pada mitos kecantikan karena media menggambarkan perempuan ideal dengan berbagai standar yang ketat dan tak masuk akal untuk dapat dicapai semua orang.
ADVERTISEMENT
Hal itu, berdampak pada sulitnya perempuan menerima tubuhnya sendiri; adanya kompetisi antar perempuan yang dibentuk dengan tidak sehat; gangguan makan yang diidap para perempuan. Seperti hubungan perempuan dan tubuhnya yang begitu kompleks, perempuan dan makanan juga memiliki hubungan yang kompleks. Makanan tidak hanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan untuk memenuhi nutrisi tubuh, atau juga sebagai sarana pemberi kenikmatan, ia juga bisa menjadi musuh besar dan sumber ketakutan perempuan. Tak terkecuali terjadi padaku.
Aku mengalami gangguan makan beberapa kali dalam fase hidupku, ketika masih berusia anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Hidup sebagai perempuan yang dituntut untuk memenuhi standar kecantikan tertentu begitu berat dan aku tidak mampu untuk dapat meraihnya. Tubuhku yang dianggap gemuk—padahal tidak—mungkin mengundang si gangguan makan masuk ke dalam hidupku. Ia hadir dalam berbagai bentuk, seperti melaparkan diri hingga memuntahkan diri. Namun, bisa juga dalam bentuk yang lain seperti makan berlebih dan terjatuh pada menyesali diri dan rasa bersalah. Gangguan makan ini membuatku dan banyak perempuan lain akhirnya memiliki hubungan yang buruk terhadap makanan.
ADVERTISEMENT
Pada Buku The Broken Mirror: Understanding and Treating Body Dysmorphic Disorder, Katharine A. Phillips menunjukkan bahwa bagi perempuan yang memiliki pandangan yang buruk atas tubuhnya dan dikondisikan untuk menempatkan nilai dirinya pada penampilannya, ia akhirnya rentan mengalami berbagai masalah psikologis hingga fisik.
Pada bukunya yang lain berjudul Understanding Body Dysmorphic Disorder: an Essential Guide, Katharine menjelaskan betapa seriusnya masalah penyakit mental obsesif pada tubuh di mana, akhirnya penderitanya dapat kesulitan untuk dapat fungsional menjalani kesehariannya dikarenakan tidak bisa berhenti memikirkan soal kekurangan tubuhnya.
Untuk bisa lepas dari si gangguan makan tidak mudah, dibutuhkan banyak pihak yang membantuku. Temanku yang tak selamat, berbisik di telingaku untuk terus bertahan hidup. Kekuatan itu juga berasal dari genggaman tangan yang erat dari orang-orang terdekatku yang juga bertarung dengan musuh yang sama. Juga, sebuah diagnosis polycystic ovary syndrome (PCOS) di usiaku yang ke dua puluh satu.
ADVERTISEMENT
Irisan antar PCOS, Tubuh, dan Makananku
Puncaknya, sejak mengalami masa pubertas, berat badanku menjadi lebih mudah naik dan itu telah menjatuhkanku ke dalam lembah insekuritas. Meski sudah membuat diriku kelaparan dan hanya makan sehari sekali, aku tidak juga menjadi kurus. Perutku tidaklah rata dan pada bagian bawahnya malah menggembung buncit. Setelah melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG) transvaginal dan dikatakan bahwa aku PCOS, rasanya banyak pertanyaan yang terjawab. Selain soal rasa sakit yang kualami setiap mens. Ia juga menjawab banyak hal lainnya. “Oh, rupanya aku memang benar-benar susah kurus;” “aku sudah cukup berusaha selama ini;” “mungkin ini menjelaskan kenapa perut bagian bawahku buncit;” “aku memang berbeda, kenapa harus sama dengan tubuh orang lain?”
ADVERTISEMENT
Penelitian berjudul Body Image Satisfaction and Self-esteem Status Among the Patients with PCOS, peneliti memaparkan bahwa perempuan dengan PCOS memiliki gambaran atas tubuhnya yang lebih buruk. Setelah lebih banyak membaca dan reflektif, aku tidak mau membebani diriku lebih jauh lagi. Mendapatkan diagnosis PCOS akhirnya justru malah mempercepat proses penerimaan diriku karena aku tidak mau membebani tubuhku atas ekspektasi-ekspektasi kecantikan, ketika aku sedang berjuang untuk bisa hidup dengan lebih sejahtera dalam kondisi sakit ini. Meski awalnya, sempat memperburuk gangguan makan karena ada segambreng daftar makanan yang pantang untuk dimakan orang dengan PCOS, yang sangking banyaknya aku sempat berpikir tak ada yang bisa kumakan lagi di dunia ini. Lalu, aku pelan-pelan membangun kebiasaan makan yang baru.
ADVERTISEMENT
Meningkatkan kesadaran diri atas apa yang dikonsumsi; menikmati segala yang masuk ke tubuhku tanpa berpikir hal tersebut dapat membuat tubuhku jelek; mengabaikan standar kecantikan yang memuakkan, telah banyak membantu diriku untuk bisa menikmati makan dan menyelesaikan kisah ini. Isi piringku sekarang sudah habis. Hidangan dengan santan, sempat menjadi ketakutan terbesarku di masa lalu. Membayangkannya masuk ke dalam tubuhku, ia akan berubah menjadi bongkahan besar lemak yang memenuhi perutku. Namun, santan segar yang baru diproses dan tidak dihangatkan kembali berkali-kali adalah kunci dari kualitas masakan santan yang baik dan tetap sehat. Aku meninggalkan rasa bersalahku untuk memakan hidangan favoritku di masa lalu. Semoga kisah kebencian terhadap makanan ini, berhenti sampai di usia dewasa muda saja.
ADVERTISEMENT