Konten dari Pengguna

Kebenaran di Era Post-Truth dan Etika Komunikasi

Amanda Zahra
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30 Oktober 2024 20:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kehidupan sosial dan Etika Komunikasi di Media Sosial https://pixabay.com/photos/mobile-phone-smartphone-keyboard-1917737/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kehidupan sosial dan Etika Komunikasi di Media Sosial https://pixabay.com/photos/mobile-phone-smartphone-keyboard-1917737/
ADVERTISEMENT
Etika dalam komunikasi pada era sekarang sedang menghadapi kepunahan. Kebenaran bukan lagi tentang fakta dan bukti, tetapi tentang siapa yang berbicara paling keras, paling viral, atau paling sesuai dengan apa yang ingin kita percayai. Masalah ini tidak hanya membayakan standar diskusi publik kita, tapi juga dasar-dasar demokrasi dan kohesivitas sosial yang sudah kita bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Media sosial penuh dengan hoaks dan informasi yang kontroversial selama pemilu kemarin. Yang lebih menakutkan lagi, banyak yang menyebarkan informasi tanpa melakukan verifikasi. Di era digital seperti sekarang ini, “share dulu, cek belakangan” telah menjadi slogan.
Konsekuensi dari kurangnya etika komunikasi dalam kehidupan sehari-hari sangatlah signifikan. Konflik politik memaksa keluarga menjadi terpecah belah. Perrdebatan di media sosial yang berubah menjadi serangan pribadi menyebabkan rusaknya pertemanan. Saat ini, fokus percakapan publik bukan pada bekerja sama untuk menemukan solusi, tetapi lebih pada mengidentifikasi cara terbaik untuk “membungkam” sudut pandang orang lain melalui intimidasi dan doxing.
Mengapa penting bagi kita untuk peduli? Karena tanpa etika komunikasi, kita tidak dapat bekerja sama untuk menemukan kebenaran dan mengembangkan pemahaman. Landasan demokrasi kita adalah dialog dan musyawarah, dan ketika debat publik berubah menjadi pertandingan berteriak di ruang gema online, demokrasi menjadi tidak stabil. Bagaimana kita dapat membuat keputusan yang bijak untuk masa depan kita bersama jika kita tidak dapat membedakan fakta dan fiksi?
ADVERTISEMENT
Kita tidak bisa menyalahkan teknologi semata. Media sosial dan algoritma memang memperparah situasi dengan menciptakan ruang gema dan filter bubble, tapi akar masalahnya adalah pada kita para penggunanya. Kitaa yang memilih untuk membagi informasi tanpa verifikasi, kita yang memilih untuk percaya pada narasi yang mengonfirmasi bias kita, dan kita yang sering mengabaikan etika demi “kemenangan” dalam perdebatan online.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, mari mulai dari diri sendiri. Sebelum membagikan informasi, tanyakan: apakah ini faktual? Apakah ini membangun atau merusak? Kedua, latih literasi digital. Belajarlah cara memverifikasi informasi dan kenali tanda-tanda disinformasi. Ketiga, praktikkan dialog yang sehat. Dengarkan pendapat berbeda dengan terbuka, diskusikan dengan santun, dan ingat bahwa tujuan komunikasi bukanlah untuk menang, tapi untuk saling memahami.
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah Indonesia di mana kita bisa berdebat tanpa saling merendahkan, di mana kita mencari kebenaran bersama alih-alih memaksakan "kebenaran" versi kita sendiri. Ini bukan utopia yang mustahil ini adalah visi yang bisa kita wujudkan jika kita mau berkomitmen untuk menyelamatkan etika komunikasi.
Seperti kata filsuf Jürgen Habermas, "Kebenaran tidak dilahirkan atau ditemukan, tapi diciptakan melalui diskusi yang rasional dan etis." Di era post-truth ini, menyelamatkan etika komunikasi bukan lagi sekadar pilihan ini adalah keharusan jika kita ingin mempertahankan kemanusiaan kita di dunia digital.
Amanda Zahra Sofiyani Ashsiddiqie Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.