Konten dari Pengguna

Persoalan Terkait Pengajaran Sastra

Rita Zahara
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Juni 2022 20:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rita Zahara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Pengajaran sastra harus memiliki hasil yang melekat pada diri siswa. Sehingga para siswa dapat menerapkan hasil pengajaran sastra sebagai dasar budi dan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kegiatan bersastra. Agar bisa mencapai pengajaran sastra yang ideal, maka pembelajaran sastra harus didukung oleh berbagai instrumen pendukung. Beberapa instrumen pendukungnya, seperti tersedianya sarana dan prasarana, siswa sebagai komponen subjek pelaksana pembelajaran sastra, dan guru sebagai pengatur dalam menjalankan sebuah proses pembelajaran sastra.
ADVERTISEMENT
Pengajaran sastra memang diakui belum mampu menghasilkan sebuah pencapaian yang maksimal. Pandangan tersebut terbukti dari berbagai pengalaman praktik dan evaluasi terhadap pembelajaran sastra di beberapa sekolah dan tempat pendidikan lainnya. Pengajaran sastra yang dilaksanakan di sekolah dianggap masih belum mencapai substansi serta mampu menanggung misi utamanya, yaitu memberikan pengalaman bersastra seperti apresiasi dan ekspresi kepada para peserta didik. Ketidaktuntasan pembelajaran sastra dalam pengajaran di sekolah terdapat beberapa faktor permasalahannya. Secara umum faktor tersebut yaitu kualitas guru, siswa, dan fasilitasnya. Faktor-faktor tersebut cukup dominan dalam mempengaruhi aktivitas pembelajaran sastra. Dari faktor-faktor tersebut, pengaruh dari persoalan guru dan peserta didik juga menjadi komponen yang mempengaruhi kemampuan mencapai ketuntasan belajar dan apresiasi sebuah sastra.
ADVERTISEMENT
Menurut Ahmad Samin Siregar, selain komponen guru dan komponen sarana pendidikan ada komponen lain yang menurutnya juga turut menghambat dalam upaya meningkatkan tercapainya pengajaran sastra di sekolah yaitu faktor kurikulum. Faktor kurikulum belum otonom karena hanya sekedar ditumpangkan dalam pengajaran bahasa dan masih diorientasikan bagi kepentingan pengajaran bahasa, padahal otonomi pengajaran sastra tersebut merupakan salah satu rekomendasi keputusan Kongres Bahasa Indonesia VII tahun 1998. Menurut beliau, dalam kurikulum tahun 1994 porsi pengajaran sastra hanya tersedia seperenam atau kurang lebih dari 19% dari alokasi keseluruhan waktu pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang tersedia.
Alokasi waktu menurut beliau sangat tidak adil, sebab bagaimana mungkin seorang guru dapat memberikan pengajaran sastra yang sempurna kalau waktunya sangat sedikit. Alokasi yang dibutuhkan untuk pengajaran sastra setidaknya harus disediakan dengan perbandingan 60:40, artinya pengajaran bahasa sebanyak-banyaknya diberikan 60% sedangkan pengajaran sastra diberikan 40% dari jumlah alokasi yang tersedia. Menurut beliau pengajaran sastra seharusnya bukanlah merupakan bagian tambahan atau pelengkap pengajaran sastra. Apabila hal itu terjadi, pengajaran sastra itu tidak akan mencapai tujuannya, pengajaran sastra tentu tidak akan menghasilkan apa-apa, karena yang dipentingkan adalah pengajaran bahasa bukan pengajaran sastra. Seperti dijelaskan dalam Kurikulum Nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2001 atau yang terkenal bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi, dan belajar sastra adalah belajar memahami manusia dan nilai-nilai kemanusiannya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Menurut Ismawati Esti pengajaran sastra di sekolah dilakukan dalam beberapa tingkatan, yaitu tingkat menggemari yang ditandai dengan keterkaitan menggeluti buku-buku sastra yang meliputi buku sastra yang berkaitan dengan teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra bandingan, dan sebagainya. Tingkat menikmati yaitu ditunjukkan dengan sikap menikmati cipta sastra yang dilandasi dengan tumbuhnya pengertian. Tingkat mereaksi yang ditandai dengan sikap memberikan pandangan dan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati melalui kegiatan menulis resensi, terlibat dalam kegiatan sastra, dan keinganan untuk menciptakan karya sastra. Dan tingkat memproduksi yaitu dengan menunjukkan sikap menghasilkan cipta sastra baik secara profesional maupun amatiran.