Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Daya Pikat Budaya Populer: Mengapa Remaja Mudah Terjebak Konsumerisme?
18 Desember 2024 10:55 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Zahra Nur Aulia Fakhira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya populer memiliki pengaruh besar terhadap pola konsumsi masyarakat, terutama pada remaja. Sebagai kelompok yang sedang mencari jati diri, remaja sangat mudah terpengaruh oleh tren dan simbol status yang ditawarkan oleh budaya populer. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara maju tetapi juga di Indonesia, di mana globalisasi dan media digital mempercepat adopsi budaya populer dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
Budaya Populer dan Identitas Remaja
Menurut Ridaryanthi, remaja berada pada fase di mana mereka mencari pengakuan dari lingkungan sosial mereka. Budaya populer, seperti musik, film, dan fashion, menjadi sarana utama dalam membangun identitas. Misalnya, tren seperti K-pop tidak hanya memengaruhi preferensi musik, tetapi juga gaya hidup, pilihan fashion, dan bahkan cara remaja berbicara (Ridaryanthi, 2020). Remaja yang mengikuti tren ini merasa bahwa mereka lebih "diterima" di lingkungannya.
Peran Media dan Iklan dalam Membentuk Perilaku Konsumsi
Digitalisasi dan media sosial memperkuat budaya konsumsi di kalangan remaja. Menurut Chaney (dikutip dalam Jurnal Telkom University), media sosial menciptakan ruang di mana produk-produk budaya populer dipromosikan melalui citra dan simbol status. Misalnya, penggunaan influencer untuk memasarkan produk tertentu membuat remaja merasa "perlu" membeli barang tersebut agar dianggap relevan secara sosial.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan Semu dan Strategi Kapitalisme
Jean Baudrillard dalam teorinya tentang konsumsi menyatakan bahwa kebutuhan semu (false needs) adalah hasil dari kapitalisme lanjutan. Kebutuhan ini tidak didasarkan pada fungsi barang, tetapi pada makna simbolik yang melekat padanya. Sebagai contoh, merek-merek fashion cepat saji (fast fashion) menggunakan strategi planned obsolescence, yaitu membuat tren cepat usang sehingga konsumen terus membeli produk baru. Hal ini diperkuat oleh temuan di Jurnal Telkom University yang menunjukkan bahwa nilai guna suatu barang sering kali kalah dengan nilai simboliknya, terutama di kalangan remaja (Baudrillard,McKendrick, 2012).
Dampak Psikologis dan Sosial
Ketergantungan pada budaya konsumsi membawa dampak psikologis yang tidak sedikit. Tekanan untuk terus mengikuti tren dapat menyebabkan stres dan rendah diri pada remaja yang tidak mampu memenuhi ekspektasi ini. Selain itu, perilaku konsumtif juga dapat menciptakan kesenjangan sosial di antara kelompok remaja, di mana mereka yang tidak memiliki barang-barang tertentu sering kali dikucilkan. Menurut penelitian yang diterbitkan di E-Journal Universitas Airlangga, budaya populer juga sering kali memengaruhi stereotip gender, di mana atribut maskulinitas atau femininitas dikonstruksi berdasarkan produk yang dikonsumsi (Nilan et al., 2007).
ADVERTISEMENT
Solusi untuk Mengatasi Dampak Konsumerisme
Untuk mengurangi dampak negatif budaya populer, pendidikan kritis menjadi kunci. Orang tua, pendidik, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memberikan pemahaman kepada remaja bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh barang yang dimiliki, tetapi oleh karakter dan kontribusi sosialnya. Selain itu, kebijakan regulasi terhadap iklan yang ditujukan kepada remaja perlu diperketat, sebagaimana diusulkan dalam berbagai literatur tentang konsumerisme dan etika pemasaran.
Referensi
Ridaryanthi. "Pengaruh Media terhadap Konsumsi Budaya Populer di Kalangan Remaja." Jurnal Visi Komunikasi, Universitas Mercu Buana, 2020.
Nilan, Pam et al. "Konstruksi Gender Melalui Konsumsi Budaya Populer." E-Journal Universitas Airlangga, 2007.