Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Budaya Patriarki Pada Film Yuni, Membuat Penontonnya Menemukan Kebebasan Sendiri
27 Desember 2022 13:49 WIB
Tulisan dari Zahra Silvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan pernikahan dini menjadi salah satu isu yang menginspirasi cerita film Yuni. Sutradara Kamila Andini menilai film Yuni merepresentasikan self-liberation di tengah persoalan struktur sosial dan tekanan budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Menonton film Yuni, saya menemukan celah jawaban. Sebagai seseorang mahasiswa yang bergabung dalam komunitas film, film ini meyakinkan saya bahwa film ini dapat mejelaskan cara untuk merangsang diskusi dan mendobrak tabu seputar seks, seksualitas, dan relasi kekuasaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bersama Yuni, perempuan Indonesia dapat memproyeksikan realitas mereka sendiri - menegosiasikan ketakutan akan kebebasan individu dan tekanan sosial - sambil membangun mimpi bersama tentang dunia yang lebih ramah perempuan. Bersama Yuni, para perempuan merefleksi dan mengevaluasi kembali ruang hidup mereka, termasuk bagaimana seharusnya, sebagaimana Yuni dan teman-temannya tunjukkan bahwa persaudaraan adalah strategi kekuatan yang ampuh untuk melawan tekanan sosial.
Film ini membingkai fenomena diskriminasi terhadap perempuan akibat budaya patriarki. Salah satunya dalam praktik pendidikan, yang di mana perempuan harus mengikuti adat yang ada. Film Yuni juga mewakilkan suara perempuan dan bahwasannya perempuan juga berhak berpendidikan tinggi dan memiliki kebebasan sendiri.
Dikisahkan film Yuni, menceritakan seorang gadis SMA tingkat akhir yang cukup berprestasi di sekolahnya yang mempunyai impian besar untuk kuliah. Namun jelang kelulusannya, Yuni malah dilamar oleh pria yang telah bekerja namun tak begitu kenal dengan gadis penggemar warna ungu ini, dia menolak lamaran mereka. Penolakan itu memicu gosip tentang mitos bahwa seseorang perempuan yang menolak tiga lamaran tidak akan pernah menikah.
ADVERTISEMENT
Tokoh Yuni dalam film ini merenungi keputusannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Ketika Yuni kemudian bertanya kepada orang tuanya, dia tidak mendapat jawaban maupun solusi. Sebaliknya, dia diminta untuk memilih jalannya sendiri. Hingga pada H Yuni melarikan diri dan bunuh diri.
Diskriminasi terlihat di depan umum pada adegan pertama, di mana sekolah Yuni ingin mengadakan tes keperawanan bagi siswi. Khawatir akan meningkatnya kehamilan di luar nikah, pihak sekolah berencana mengadakan tes keperawanan untuk semua siswa sebagai pengganti pendidikan seks.
Isu seksualitas seperti itu terlihat dalam film ini di mana sekolah yuni memaksa siswa perempuan untuk melakukan tes keperawanan sementara anak laki-laki tidak diharuskan melakukan tes keperawanan. Namun tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di luar rumah, Yuni kerap mendapat sindiran, ejekan atau hinaan yang memaksa dirinya. Sebagai gadis yang tinggal di lingkungan yang masih mengikuti adat ketimuran dan masih menganggap pernikahan dini sebagai hal yang lumrah, dia diminta untuk menikah langsung setelah lulus SMA ketika pria yang baru dikenalnya melamarnya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu jelas bahwa orang-orang di sekitar Yuni mendiskreditkannya yang ingin melanjutkan sekolahnya, mereka berpikir bahwa sekolah tinggi hanya buang-buang waktu bagi perempuan yang nantinya berakhir di dapur, di sumur dan kasur. Serta perempuan wajib dan hrus bisa mencuci pakaian dan memasak. Dengan begitu membuat rasa takut menyelimuti Yuni, di tengah rasa takut yang luar biasa terhadap lingkungan yang mendorong yuni untuk membuat keputusan cepat.
Faktor penyebab diskriminasi sosial yang dialami tokoh perempuan dalam film Yun terbagi menjadi dua bentuk, yaitu domestik dan publik. Faktor penyebab diskriminasi sosial dalam kehidupan rumah tangga adalah faktor gender, sedangkan di ranah publik faktor agama dan faktor sosial adalah faktor. Penggunaan publik masih memiliki faktor kepercayaan dan lapisan sosial. Faktor kepercayaan merupakan faktor fundamental dari diskriminasi. Perempuan harus bertindak sesuai dengan perilaku yang dikonstruksi oleh masyarakat pada umumnya, yaitu perempuan harus patuh, bisa membersihkan rumah, tidak boleh bermain terlalu jauh. jangan keluar setelah jam sembilan malam.
ADVERTISEMENT
Faktor agama juga menjadi salah satu diskriminasi yang dialami Yuni di sekolah. Demi menciptakan lingkungan Islami di sekolahnya, Yuni, penyanyi di band sekolahnya, harus keluar sementara dari grupnya karena dia seorang penyanyi. alat kelaminnya. Sehingga, Yuni terpaksa mengikuti aturan yang membatasi gerak perempuan tersebut. Mereka juga memiliki hak untuk mengekspresikan diri, yang pada akhirnya membunuh potensi karena tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri.
Faktor kelas sosial juga terlihat pada Yuni yang ingin melanjutkan sekolahnya dengan beasiswa, namun para tetangga membenci kenyataan bahwa seorang wanita tidak berguna Ketika sekolah tinggi, karena pekerjaan wanita berakhir di dapur. respons tokoh perempuan dalam film antidiskriminasi karya Yuni terbagi menjadi dua bagian, yaitu penolakan dan penerimaan. Reaksi yang sangat dominan adalah penolakan terhadap tindakan diskriminasi. Ungkapan dari perilaku penolakan ini adalah tindakan verbal dan perilaku kritis terhadap diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Saya tidak setuju bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena dia hanya berkutat di dapur dan mengurus anak seolah-olah menciptakan gambaran takdir perempuan yang dilahirkan. terbatas hanya untuk berakhir di rumah tangga dan melanjutkan keberadaan manusia.
Banyak yang menyerukan pendidikan tinggi bagi perempuan karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Saya juga membaca di suatu tempat bahwa kecerdasan seorang anak sebagian besar diwarisi dari ibunya. Namun jelas bahwa ini bukan satu-satunya alasan mengapa perempuan mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Dalam rumah tangga pun, perempuan harus bisa mengurus ekonomi, menjadi teman bicara pasangannya, memecahkan masalah dan masih banyak lagi. Namun di sisi lain, takdir seorang wanita tidak sebatas menemukan cinta sejati dan hidup bahagia selamanya.
ADVERTISEMENT
Seorang anak perempuan yang ingin membesarkan orang tuanya, atau seorang kakak perempuan yang perlu memastikan adiknya dapat terus menjalani kehidupan yang layak, atau seorang adik perempuan yang ingin membuktikan kepada dunia bahwa dia juga bisa. Dan masih banyak lagi cerita yang belum kita ketahui.
Apakah menikah bukan pilihan? Setiap orang, pria atau wanita, berhak memilih cara hidup dan menemukan kebahagiaan. Dan rumah tangga tidak boleh berdiri dengan satu kaki, dua orang yang telah menjadi satu, saling membantu. Mengurus anak, memasak, pekerjaan rumah tangga, mencari nafkah, bukankah seharusnya keduanya?