Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Before, Now & Then Menginspirasi Perempuan dalam Mengambil Keputusan Besar
27 Desember 2022 14:02 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Zahra Silvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan pernikahan dini menjadi salah satu isu yang menginspirasi cerita film Before, Now & Then. Sutradara Kamila Andini yang bercerita tentang bagaimana dari sisi seorang perempuan bertahan dalam peliknya kehidupan.
ADVERTISEMENT
Di film ini Kamila mencoba membuka perspektif bagaimana perempuan harus berani dan kuat dalam hidup. Ia menghadirkan Nana sebagai sosok yang memiliki masalah kompleks namun tetap tegar. Berlatar di negeri Sunda pada tahun 1960-an dan bercerita tentang suasana yang membawa cerita tersebut.
Bukan hanya tentang pakaian atau lokasi cerita, film ini juga memberikan banyak gambaran dan informasi tentang PKI yang populer pada saat itu. Nana (Happy Salma) dan posisi perempuan pada masa itu menunjukkan bahwa dia masih terjebak dalam masyarakat dengan paradigma patriarki yang kuat. Hal ini ditunjukkan secara simbolis dari tindakan Nana sehari-hari.
Dalam film ini, Nana sepertinya hidup hanya untuk melayani suami dan keluarganya. Menjalani rutinitas seperti siklus tanpa akhir dan tetap mengutamakan kebahagiaan orang lain meski hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Film Before, Now, & Then tidak hanya menampilkan drama seorang wanita yang rumah tangganya berantakan dan segala traumanya, tetapi juga 'perjalanan' ke dalam jiwa Nana. Peristiwa buruk seperti kehilangan suami dan ayah, kematian anak pertamanya, dan keguguran berulang kali membuat Nana merasa gagal sebagai perempuan.
Selain itu, kedudukan perempuan pada masa itu ditandai sebagai “hanya” yang bertanggung jawab atas urusan dapur dan mengurus anak. Penderitaan ini, dipadukan dengan berbagai peristiwa menyakitkan yang dialami Nana, ini tentu membuat penonton memahami betapa sedihnya situasi psikologis karakter tersebut.
ADVERTISEMENT
Tampaknya Nana menghadapi ketakutannya dengan merangkulnya, menemukan teman di dalamnya dan perlahan membuka atau membebaskan dirinya dari semua rantai dan ketakutan yang mengikatnya. Lebih dari itu, sisi kemandirian yang lebih luas ini ditunjukkan ketika Nana tidak hanya bebas dari rasa takut dan trauma, tetapi juga dapat menginspirasinya untuk membuat keputusan yang lebih berani.
Budaya patriarki menempatkan perempuan berada dalam posisi “the second seks” atau yang sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya kurang diperhitungkan. Kisah seorang perempuan (Nana) yang melarikan diri dari gerombolan yang ingin menjadikannya istri dan membuatnya kehilangan ayah dan anak.
Dia lalu menjalani hidupnya yang baru bersama seorang menak (bangsawan) Sunda, hingga bersahabat dengan salah satu perempuan simpanan suaminya. perempuan adalah korban zaman yang paling nyata. Meski demikian, di setiap zaman pula, selalu ada sosok perempuan yang tidak pernah sekalipun menjadikan dirinya korban, meskipun tetap tidak lepas dari pengorbanan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, stereotipe “perempuan berakhir di dapur” menjadi salah satu alasan mengapa perempuan sulit untuk berkembang lebih jauh. Saya pikir kesetaraan gender adalah salah satu hak asasi kita. Hak atas kehidupan yang terhormat, tanpa rasa takut dan dirancang secara bebas tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, perempuan juga pada prinsipnya memiliki hak yang sama.
Bahkan dalam rumah tangga, perempuan juga bisa mengatur keuangan, berteman dengan pasangannya, menyelesaikan masalah dan banyak lagi. Namun di sisi lain, takdir seorang perempuan tidak sebatas menemukan cinta sejati dan hidup bahagia. Perempuan juga memiliki kebebasan untuk menjalani hidup mereka sendiri.