Konten dari Pengguna

Feminisme Jadi Pendorong Negara Untuk Maju, Cocokkah Diberlakukan di Indonesia?

Zahrah Aulia
Saya adalah pelajar SMA Citra Berkat
9 Desember 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahrah Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: Gambar Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: Gambar Pribadi
ADVERTISEMENT
Feminisme menjadi perbincangan masyarakat dunia saat ini. Hal ini merupakan upaya pengurangan ketidaksetaraan gender yang sudah terjadi dari ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Perempuan menjadi tokoh utama dalam pergerakan feminisme ini. Namun tidak jarang juga laki laki yang memiliki pergerakan feminisme ini.
ADVERTISEMENT
Feminisme tumbuh pada abad 18 di Inggris. Di Indonesia, gerakan feminisme dipelopori oleh R.A Kartini pada masa kolonial Belanda. Gerakan feminisme yang dilakukan R.A Kartini adalah memberikan kesempatan pada perempuan perempuan untuk memiliki hak berpendidikan. R.A Kartini dianggap menjadi seorang yang sangat berjasa bagi negara Indonesia dengan pergerakan yang dilakukan hingga menjadi pahlawan nasional Indonesia. Apakah negara Indonesia sudah menerapkan bentuk feminisme dengan baik?
Saat ini feminisme bukan lagi hanya mengenai hak perempuan untuk berpendidikan. Banyak hak hak lain yang dituntut dalam feminisme seperti hak untuk bekerja, feminisme yang dilaksanakan di Indonesia berjalan kurang baik, masih banyak masyarakat yang terpaku terhadap budaya, agama dan tradisi.
Saat ini, UNDP menilai suatu negara secara ktidakseimbangan gender atau Gender Inequality Index. Berdasarkan GII (Gender Inequality Index), Indonesia berada di peringkat 109 dari 166 negara pada 2022 dengan skor 0,439. GII ini dipertimbangkan berdasarkan tiga dimensi yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. Semakin kecil skor GII maka semakin kecil ketidaksetaraan yang terjadi dengan jangkauan 0 - 1.
ADVERTISEMENT

Pengaruh tradisi, budaya, agama terhadap penerimaan masyarakat mengenai feminisme di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan kultur atau bisa juga disebut sebagai multikultural. Meskipun begitu, pasti banyak sekali budaya budaya dari kultur yang saling bersebrangan dengan nilai nilai yang dianut global. Kultur masyarakat di Indonesia kurang dapat menerima feminisme sebagai panduan untuk mengurangi ketidaksetaraan antar gender. Hal ini terjadi karena banyak sekali budaya di Indonesia yang menganut sistem patriarki. Demikian juga dengan budaya matraki di beberapa suku di Indonesia. Hal ini menjadi penghambat pergerakan feminisme di Indonesia, masyarakat kurang menerima jika perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki laki mengenai pasar tenaga kerja, pemberdayaaan dan kesehatan reproduksi.
Berdasarkan data BPS Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki laki berada di angka 84,26 persen, sedangkan perempuan angka TPAK yang dimiliki adalah 54,52 persen pada 2023. Hal ini menunjukan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang lebih sedikit daripada laki laki dalam pasar tenaga kerja. Upah yang diterima laki laki juga lebih tinggi dari perempuan dengan selisih Rp 810.000 berdasar data (BPS Sakernas Februari 2023).
ADVERTISEMENT
Pemberdayaan terhadap perempuan di Indonesia juga masih minim, banyak sekali masyarakat yang menganggap perempuan tidak memiliki pilihan atau akses di hidupnya untuk berpartisipasi dalam melaksanakan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kekerasan perempuan masih dilaksanakan hingga sekarang, banyak sekali kasus kasus kdrt yang terjadi. Pada data real time KEMENPPA terdapat 24.553 kasus kekerasan, 5.380 laki laki mengalami kekerasan sedangkan 21.264 perempuan mengalami kekerasan (3 Desember 2024). Menurut survei 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan berusia 15-64 tahun yang mengalami kekerasan sepanjang hidupnya berdasarkan data SPHPN Tahun 2021. Pemberdayaan perempuan sebagai keterwakilan legislatif dan pendidikan SMA ke atas juga mencerminkan ketimpangan. BPS mengungkapkan keterwakilan laki-laki di legislatif mencapai 77,86 persen, sedangkan perempuan sebesar 22,14 persen dan pada pendidikan SMA ke atas laki-laki mencapai 42,62 persen sedangkan perempuan mencapai 37,60 persen pada 2023.Hal ini menunjukan minimnya pemberdayaan pada perempuan.
ADVERTISEMENT
Secara kesehatan reproduksi, di Indonesia sendiri berdasarkan data kesehatan reproduksi pada perempuan yaitu secara MTF dan MHPK20. MTF adalah proporsi perempuan berusia 15-49 tahun yang melahirkan anak lahir hidup tidak di fasilitas kesehatan, sedangkan MHPK20 adalah proporsi perempuan berusia 15-49 tahun yang saat melahirkan anak lahir hidup pertama berusia kurang dari 20 tahun. Berdasarkan data BPS 2023 dalam IKG, MTF pada perempuan memiliki nilai 12,6 persen dan nilai MHPK20 sebesar 25,8 persen. Masih banyak perempuan yang kurang mendapatkan fasilitas kesehatan reproduksi dengan baik.
Berdasarkan data di atas, menunjukan bahwa Indonesia belum mamppu untuk menerapkan feminisme dengan baik, masih banyak ketimpangan-ketimpangan dan kurangnya pemenuhan hak yang terjadi. Meskipun begitu, angka GII Indonesia dari tahun ke tahun ini menurun, masyarakat indonesia terutama perempuan sudah banyak menerapkan ideologi atau pergerakan feminisme ini. Banyak perempuan Indonesia yang sadar akan harga dirinya untuk diperlakukan secara adil dan setara. Sebagai perempuan, saya mendukung gerakan feminisme yang dilakukan oleh perempuan-perempuan hebat di seluruh dunia, untuk mencapai keadilan dan kesetaraan di dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT