Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Alasan Mengapa Standar Profesi dan Organisasi Profesi Dokter Hanya Ada Satu
30 Juni 2022 22:26 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum memulai karir sebagai dokter yang memberikan pelayanan medis kepada masyarakat, seorang dokter wajib mengangkat sumpah, sebuah janji yang diucapkan bukan saja kepada atasan atau kepada orang lain, tapi sebuah janji atas nama Tuhan (Demi Allah, bagi yang beragama Islam). Lafal pertama dalam sumpah dokter tersebut adalah “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan”, lalu diikuti dengan “saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter”. Bagian penting dalam sumpah dokter antara lain “saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya” dan “saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam”. Sumpah dokter ini ditutup dengan pernyataan “saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya”.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter wajib menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan pasien dengan memberikan pelayanan dan perawatan terbaik dengan penuh tanggungjawab dan dibarengi dengan perilaku etik yang luhur. Dengan sumpah atau janji di hadapan Tuhan ini pun belum menjamin bahwa seorang dokter akan terus-menerus bisa memelihara perilaku profesional dan perilaku etiknya kepada publik.
Baru-baru ini sebuah survei nasional di USA (https://www.thehastingscenter.org/news/hastings-center--report-commentary-helps-catalyze-connecticut-action-against-unconsented-intimate-medical-exams/) membuktikan meluasnya praktik pemeriksaan organ intim pada wanita maupun pria pada pasien yang belum sepenuhnya sadar (pasca operasi misalnya) yang dilakukan tanpa persetujuan pasien tersebut (unconsented intimate medical exams atau UIE). Terbukti nyata bahkan di negara maju yang penuh dengan aturan etik dan hukum terkait praktik kedokteran-pun UIE ini masih bisa terjadi dan diluar jangkauan peraturan yang sudah ada.
ADVERTISEMENT
Mengapa hanya boleh ada satu standar profesi dan satu organisasi profesi dokter?
Pekerjaan dokter memerlukan sejumlah pengetahuan (body of knowledge) sebagai dasar untuk mengenali dan memahami berbagai gejala dan tanda gangguan pada anatomi maupun fungsi organ tubuh yang bisa berbeda pada satu pasien dan pasien lainnya. Dokter dituntut untuk melakukan yang terbaik berdasarkan ilmu dan kemajuan teknologi kedokteran yang ada saat itu. Di Indonesia, dalam rangka mengakomodasi dan menjaga terpenuhinya kepentingan publik terkait layanan kesehatan yang baik diperlukan beberapa prasyarat antara lain standar pendidikan standar kompetensi, dan standar pelayanan. Organisasi profesi atau kolegium bidang ilmu memiliki peran terbesar dan terpenting dalam penyusunan pelbagai standar tersebut sebelum disahkan oleh konsil kedokteran. Selain itu, dalam menjalankan pekerjaan sebagai dokter diperlukan rambu-rambu etik yang disusun oleh organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI).
ADVERTISEMENT
Jadi mudah untuk dipahami bahwa yang disebut sebagai standar (pendidikan, kompetensi, pelayanan, dan etik) hanya boleh ada satu saja. Dengan bahasa yang lain, sebagaimana lazimnya di semua negara di dunia, hanya boleh ada dan harus ada 1 (satu) organisasi profesi yang menaungi dokter dan menyusun berbagai standar tersebut. Tidak terbayangkan amburadulnya layanan kesehatan oleh para dokter, bila ada lebih dari satu standar dan atau lebih dari satu organisasi profesi, karena akan mudah bagi dokter yang melakukan pelanggaran dan mendapatkan sanksi untuk berpindah dari satu organisasi profesi ke satunya lagi dengan standar yang berbeda. Boleh saja ada banyak kelompok atau komunitas dokter seminat seperti yang sekarang banyak terbentuk seperi contohnya Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia, Perkumpulan Dokter Susah Praktik, dll. karena hak dan kebebasan untuk berorganisasi itu dilindungi oleh UUD. Tapi menurut saya, adanya kehendak untuk merevisi UU 29-2004 terkait IDI sebagai Organisasi Profesi (pasal 1 ayat 12, yang juga telah dikuatkan oleh keputusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017) adalah sebuah pandangan picik yang didasarkan atas kepentingan sekelompok orang dan bersifat sesaat, tapi akan berdampak pada terjadinya kekacauan dalam layanan publik di bidang kesehatan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan UU 36-2009 tentang kesehatan, dan UU 29-2004 tentang praktik kedokteran, dinyatakan bahwa standar kompetensi adalah batasan kemampuan minimal (pengetahuan, skill, dan sikap professional) yang wajib dikuasai oleh dokter dalam menjalankan kegiatan profesionalnya. Standar-standar ini tentu harus disusun dan dikembangkan oleh organisasi profesi yang menaungi para dokter, sebelum ditetapkan oleh konsil kedokteran. Konsil kedokteran, berdasarkan UU 29-2004, adalah badan otonom, non-struktural, yang bertugas menetapkan standar pendidikan profesi dokter dan memastikan bahwa seorang dokter itu layak dan memenuhi standar kompetensi untuk berpraktik secara profesional. Semua ini penting untuk memastikan bahwa publik memperoleh layanan kesehatan terbaik dan aman dari layanan yang substandar serta praktik-praktik pengobatan yang belum terbukti manfaatnya berdasarkan EBM
Dokter yang telah memenuhi semua persyaratan berdasarkan standar-standar yang telah ditetapkan, akan mendapatkan surat tanda registrasi (STR) dari konsil kedokteran, dan berdasarkan STR ini akan dibuatkan surat ijin praktik (SIP) oleh pemerintah/ dinas kesehatan tingkat kota dan kabupaten. Jadi, anggapan bahwa SIP itu dikeluarkan oleh organisasi profesi atau IDI adalah tidak benar. Adalah wajar bila publik banyak yang salah mengerti seolah-olah IDI-lah yang berwenang menerbitkan SIP, karena seorang Menkumham sendiri juga salah mengerti tentang ini (https://www.suarapemredkalbar.com/read/nasional/30032022/pemerintah-segera-ambil-alih-izin-praktik-dokter-dari-idi).
ADVERTISEMENT
Mengapa diperlukan rekomendasi etik dari IDI Cabang?
Syarat untuk diterbitkannya SIP adalah STR, dan SIP- STR ini memang harus diperbaharui setiap 5 (lima) tahun. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terus mengalami perkembangan yang cepat, dan dokter disebut profesional apabila mampu memberikan yang terbaik sesuai dengan kemajuan iptekdok yang telah diterima dan terbukti bermanfaat sesuai dengan evidence based medicine (EBM). Selain itu dokter juga perlu dievaluasi secara berkelanjutan terkait standar perilaku etiknya dalam menjalankan layanan publik. Pelanggaran etik tidak sama dengan pelanggaran hukum serta tidak bisa dihukum. Banyak sekali bentuk pelanggaran etik seorang dokter yang sulit dipahami oleh masyarakat sekitar, seperti misalnya kasus pemeriksaan organ intim tanpa persetujuan tertulis di USA tadi.
ADVERTISEMENT
Jadi, kepatuhan seorang dokter terhadap perilaku profesional dan perilaku etik hanya bisa diamati dan dinilai oleh peer group ditingkat paling bawah, yaitu IDI cabang, bukan IDI wilayah atau IDI Pusat. Tidak mungkin institusi seperti konsil kedokteran yang hanya ada di Jakarta, maupun pemerintah/ polisi, bahkan masyarakat awam (misal pengurus RT-RW) untuk mengerti dan bisa menilai perilaku etik seorang dokter dalam berpraktik melayani publik. Hal ini menjadi landasan diperlukannya rekomendasi etik dari IDI cabang, serta surat keterangan sehat fisik dan mental, selain STR, untuk pengurusan dan penerbitan SIP oleh dinas kesehatan setempat. Dengan keharusan adanya rekomendasi etik IDI setempat untuk penerbitan SIP ini pun masih terlalu sulit untuk mengawal dan mengawasi perilaku etik para dokter, tidak terbayangkan meluasnya berbagai bentuk pelanggaran etik dalam praktik kedokteran bila kewenangan ini dialihkan kepada masyarakat umum (RT-RW) atau kepolisian, terlebih kepada konsil kedokteran.
ADVERTISEMENT
Kami berharap tulisan singkat ini bisa memberi gambaran bagi masyarakat awam, dan juga bisa menjadi masukan bagi para legislator di negeri ini untuk berpikir bijak dan berpandangan luas dalam upaya memperbaiki sistem layanan kesehatan, dan bukan sekadar mengubah UU untuk kepentingan jangka pendek sekelompok kecil dokter yang kebetulan sedang mendapatkan sanksi etik dari IDI.
Ditulis oleh Zainal Muttaqin, guru besar ilmu kedokteran Universitas Diponegoro Semarang