Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Tanggapan Terbuka Pernyataan Menkes di Medsos tentang Profesi Perawat dan Dokter
2 Februari 2023 5:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Naluri kemanusiaan saya menjadi terusik ketika melihat dan mendengar pernyataan Bapak Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin (BGS).
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah potongan video TikTok yang beredar dan menjadi viral (akun @drtonysetiobudi). Beliau menyampaikan narasi singkat tentang perbedaan kasta antara dokter dan perawat.
BGS bahkan menyatakan di akhir video tersebut bahwa (di Indonesia) perawat itu ‘pesuruh’, hampir mirip dengan ‘pembantu’ (Asisten Rumah Tangga)-nya dokter, maksudnya.
Sedangkan di luar negeri, perawat dan dokter itu sama kastanya, bekerja dalam sebuah tim, demikian bunyi pernyataan BGS yang menurut saya pribadi cukup problematik.
Kebetulan saya adalah seorang warga masyarakat biasa, bukan golongan darah biru, dari keluarga pedagang pasar yang berkesempatan sekolah di fakultas kedokteran di Indonesia.
Saat masa remaja, saya pernah tinggal di USA cukup lama di awal tahun 70-an (sebagai siswa program beasiswa program pertukaran pelajar), dalam keluarga angkat yang kebetulan ada yang berprofesi sebagai perawat dan ada yang menjadi guru SMA.
ADVERTISEMENT
Setelah menyelesaikan sekolah dokter di tahun 1983, saya berkesempatan sekolah spesialis, sekaligus menyelesaikan sekolah tingkat S3 di Jepang selama 6 tahun.
Perjalanan hidup selama masa pendidikan serta berkarier sebagai praktisi medis telah memberi saya pengalaman berinteraksi langsung dengan para dokter dan banyak perawat serta profesi lain di bidang kesehatan, baik di Indonesia dan di luar negeri.
Menurut saya, pernyataan BGS terkait perbedaan kasta antara profesi dokter dan perawat tersebut di atas bisa jadi merupakan hal yang wajar, bila hal itu disampaikan 40-50 tahun yang lalu.
Saat periode tahun 1970-1980, pekerjaan perawat di semua RS diisi oleh para nakes paramedis lulusan sekolah pendidikan keperawatan (SPK) yang setingkat dengan SMA, sedangkan para dokter di RS semuanya adalah lulusan FK (setingkat universitas).
ADVERTISEMENT
Meski demikian, tidak mungkin dokter menjalankan profesinya kalau bukan karena hadirnya perawat selaku pelaksana dari semua instruksi pengobatan untuk para pasien. Bahkan pada umumnya perawat jauh lebih terampil dalam beberapa tindakan teknis yang rutin dilakukan seperti memasang infus pada anak, misalnya.
Profesi Keperawatan di Indonesia dan di dunia betul-betul mengalami transformasi dan peningkatan kualitas SDM yang bisa dibilang mengagumkan (bahkan mencengangkan) dalam tiga dekade terakhir ini.
Pada tahun 1980-1990an, para perawat lulusan SPK digantikan oleh adik-adiknya yang lulus dari akademi keperawatan (setingkat D3). Bahkan sejak memasuki abad 21, para perawat lulusan akademi ini secara pelan tapi pasti digantikan oleh mereka yang berpendidikan setingkat S1 ditambah pendidikan profesi ners, setara dengan para dokter lulusan dari Fakultas Kedokteran.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat ini tidak sedikit perawat yang berpendidikan perawat spesialis, S2 sampai S3. Di banyak Universitas, bahkan program studi keperawatan, program studi gizi (dietisian), program studi farmasi, dan program studi dokter ada di fakultas yang sama.
Interaksi yang terbentuk selama pendidikan ini telah membentuk pola pikir para lulusan pelbagai profesi kesehatan tersebut untuk bekerja sama sebagai mitra yang saling membutuhkan, bahkan dibuat terstruktur berupa ‘kolaborasi inter-profesi’ sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para dokter dan perawat.
Saya berasumsi, pernyataan BGS itu bisa saja muncul dari pengalaman pribadinya di masa kecil, sekitar 40-50 tahun lampau, mengingat beliau tidak pernah sekalipun memiliki pengalaman pendidikan maupun karier di lingkungan profesi di fasilitas Kesehatan. Entahlah.
Profesi perawat, profesi guru, dan profesi dokter, serta profesi kesehatan lainnya adalah profesi yang kehadirannya menjadi syarat mutlak terpenuhinya salah satu kewajiban konstitusi negara ini yaitu menghadirkan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan bangsa.
ADVERTISEMENT
Itu adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa saat ini negara belum bisa memberikan penghargaan yang pantas kepada para guru, perawat, dan nakes lainnya dengan gaji dan kesejahteraan yang layak.
Betapa mirisnya kita kalau melihat secara rutin banyaknya guru dan perawat yang bahkan harus demo dan melakukan mogok makan demi menuntut hak untuk bisa hidup layak setara para buruh (bukan profesi) dengan UMR-nya.
Maraknya tuntutan untuk memperoleh hak kesejahteraan para perawat dan guru honorer yang terjadi tiap tahun dan terus berulang ini memperlihatkan bahwa negara ini sebetulnya masih buta dan tuli, bahkan bebal, kalaupun tidak dikatakan sebagai melanggar HAM.
Dalam hal social positioning, kalau kita bandingkan dengan negeri-negeri yang lebih beradab di luar sana, situasi tidak adanya penghargaan (finansial) yang layak khususnya bagi profesi keperawatan dan profesi guru/ pendidik inilah yang tanpa kita sadari menciptakan perbedaan kasta ekonomi di antara profesi-profesi luhur yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih beradab.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, adalah fakta yang tidak terbantah bahwa kementerian kesehatan di bawah BGS merupakan salah satu kepanjangan-tangan negara yang bertanggung jawab atas belum layaknya penghargaan kepada profesi-profesi luhur tersebut.
Atau, mungkin juga tanggung jawab persoalan ini secara “birokrasi” ada di kementerian yang lain misalnya kementerian pertanian atau bahkan kelautan, he he he..
Jadi potongan pernyataan BGS dalam video TikTok di atas tadi cocok dan bahkan menggambarkan peribahasa yang hampir kita lupakan “Buruk Muka Cermin Dipecah-eh Dibelah”.
-----------------
Zainal Muttaqin: Dokter, Praktisi medis, dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip